Perang di Gaza antara warga Palestina—yang diinisiasi oleh serangan HAMAS— melawan Israel sejak 7 Oktober 2023 bukan sekedar perang fisik yang mengakibatkan amat banyak korban jiwa. Perang ini juga perang urat syaraf di bidang politik dan hukum.
Salah satu perang dalam hukum adalah gugatan Afrika Selatan terhadap Israel untuk tuduhan genosida ke Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ). ICJ pun telah menjatuhkan putusan sela (interim ruling) pada 26 Januari 2023. Isinya memang belum menyatakan Israel telah melakukan genosida dan tidak memerintahkan gencatan senjata. Namun, putusan sela ini menerima legal standing Afrika Selatan. ICJ juga memerintahkan Israel mencegah terjadinya genosida di Gaza, Palestina serta kooperatif pada misi dan bantuan kemanusiaan.
Mengadili perkara genosida, baik secara nasional maupun internasional, memang tidak mudah. Kejahatan genosida adalah kejahatan HAM yang berat (grave breaches of human rights), kejahatan amat serius (most serious crime), dan seringkali bersifat lintas negara. Telah cukup banyak kasus genosida atau serupa genosida yang pernah bahkan masih terjadi di dunia. Sebut saja kasus holocaust bangsa Yahudi di era Perang Dunia II, kasus pembunuhan massal warga sipil di Kamboja oleh Khmer Merah era Pol Pot (1975-1979), pembantaian warga sipil di Bosnia Herzegovina oleh milisi Serbia (1995), atau peristiwa baku bunuh antarsuku di Rwanda (Hutu vs. Tutsi) yang menelan korban nyaris satu juta jiwa (1994). Di Indonesia sendiri pernah juga terjadi kasus pembantaian massal antarsuku yang serupa genosida seperti di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah antara tahun 1996-2000.
Secara sederhana, genosida sering dimaknai sebagai pembantaian massal atau pemusnahan kelompok-kelompok etnis secara masif. Tidak terlalu salah, meski kurang lengkap juga. Alasannya karena kejahatan genosida tak hanya mencakup pembantaian massal.
Pasal 2 Konvensi Genosida tahun 1948 (berlaku sejak tahun 1950) mendefinisikan genosida sebagai setiap tindakan berikut yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian, suatu kelompok bangsa, etnis, ras atau agama, seperti: (a) Membunuh anggota kelompok; (b) Menyebabkan kerugian fisik atau mental yang serius terhadap anggota kelompok; (c) Dengan sengaja menimbulkan kondisi kehidupan kelompok yang diperkirakan akan mengakibatkan kemusnahan fisik seluruhnya atau sebagian; (d) Menerapkan tindakan yang dimaksudkan untuk mencegah kelahiran di dalam kelompok; dan (e ) Memindahkan secara paksa anak satu kelompok ke kelompok lain.
Definisi genosida yang hampir sama disebut dalam Pasal 6 Statuta Roma tahun 1998 yang melahirkan International Criminal Court (Mahkamah Pidana Internasional), Pasal 4 Statuta International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia tahun 1993, dan Pasal 2 Statuta International Criminal Tribunal for Rwanda tahun 1994.
Indonesia juga memiliki pengaturan tentang genosida. Pasal 8 UU No.26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa kejahatan genosida sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara: a. membunuh anggota kelompok; b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok; c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya; d. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau e. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Kompleksitas Mengadili Genosida
Kendati mudah mendefinisikannya—bahkan rumusannya hanya copy-paste secara eksplisit dalam sejumlah statuta internasional—, mengadili kasus-kasus genosida tidak semudah itu.
Kesulitan pertama adalah ketika pelaku atau terduga pelakunya entitas negara. Negara sangat bisa menjadi pelaku kejahatan. Namun, pada saat bersamaan negara juga mengendalikan badan-badan peradilan dan fungsi yudikatif. Kecuali rezim yang berkuasa mengalami pergantian dan penggantinya berani mengadili pendahulunya, sering kali negara tak tersentuh dalam perkara genosida.
Kesulitan kedua adalah ketika pelakunya kelompok-kelompok massa yang membantai secara masif kelompok lainnya. Begitu masifnya sehingga sukar ditemukan siapa penggerak, siapa penanggungjawab, siapa provokator, dan siapa yang sekadar ikut-ikutan. Sering kali jumlah warga sipil yang melakukan kekerasan berkelompok ini begitu banyak dan sporadis.
Kesulitan ketiga adalah menentukan apakah unsur-unsur delik (element of crimes) telah terpenuhi untuk menyebut suatu kejahatan sebagai genosida. Misalnya dalam membuktikan apakah ada unsur niat (mens rea) untuk membantai (intent to destroy) seluruh atau sebagian kelompok.
Kesulitan keempat adalah ketika menggunakan mekanisme mahkamah atau hukum internasional untuk mendakwa genosida di suatu negara. Yurisdiksi dari mahkamah adalah tergantung kepesertaan negara yang bersangkutan dalam statuta/konvensi terkait. Misalnya apakah negara yang bersangkutan menjadi negara peserta (state party) atas Genocide Convention 1948 ataupun Rome Statute 1998 yang memiliki yurisdiksi mengadili kasus genosida.
Erin Blakemore (2022) menyebutkan bahwa secara teknis PBB hanya dapat menjatuhkan hukuman terhadap genosida ketika negara yang berpartisipasi belum memenuhi kewajibannya untuk mengadili sendiri kejahatan itu. Akibatnya, genosida dapat diadili di berbagai tempat dan oleh entitas yang berbeda. Beberapa pakar hukum berpendapat bahwa definisi genosida tidak cukup untuk mencegah orang melakukan kejahatan. Kesulitan pembuktian juga membuat jaksa penuntut jarang sekali mengajukan kasus genosida.
Kesulitan kelima adalah lemahnya posisi hukum internasional dibandingkan dengan politik internasional dan hukum nasional. Hikmahanto Juwana (hukumonline.com, 14 Juni 2023) menyebutkan bahwa basis hukum internasional masih soal siapa yang kuat dia yang menang. Keinginan banyak orang agar hukum internasional harus punya “gigi” supaya lebih kuat ternyata tidak bisa terpenuhi. Sifat alami dari hukum internasional masih berbasis pada kesepakatan antarnegara. Sifatnya tidak hirarkis dan dalam masyarakat internasional tidak ada lembaga yang lebih tinggi daripada (kedaulatan) negara. Suatu negara dalam konteks hukum internasional memang memegang satu suara, misalnya dalam Majelis Umum PBB. Faktanya, suara yang dimiliki suatu negara adidaya dengan negara lainnya jelas akan berbeda. Oleh karena itu, berlaku hukum rimba yaitu siapa yang kuat dia yang menang.
Kesulitan keenam adalah kendala geografis. Pemenuhan prosedur peradilan, tidak kooperatifnya negara asal pelaku/tersangka pelaku, dan tantangan kelembagaan serta perbedaan sistem hukum.
Richard Decker dan Elise Keppler (2004) menyebutkan bahwa penuntutan kejahatan HAM yang serius—terlepas apakah kasusnya diadili di pengadilan nasional atau internasional—adalah sebuah proses yang kompleks dan mahal. Kasus-kasus seperti ini memerlukan strategi penuntutan yang canggih. Pengadilan harus mematuhi standar HAM internasional untuk memastikan legitimasi dan kredibilitasnya.
Kasus-kasus yang dibawa ke pengadilan pidana internasional sering kali diadili jauh dari tempat kejadian perkara sehingga kurang dapat diakses oleh para korban. Acapkali negara tempat kejahatan terjadi malah melindungi tersangka pelaku genosida, menentang penuntutan, menolak kerja sama, bahkan mempersulit perolehan barang bukti (Decker & Keppler, 2004).
Pengadilan pidana internasional juga menghadapi tantangan kelembagaan yang unik. Menyatukan hakim, jaksa, dan personel pengadilan lainnya dari latar belakang dan budaya hukum yang berbeda sangat tidak mudah. Mendamaikan tradisi civil law dan common law yang dipahami para hakim dari negara berbeda menjadi tantangan tersendiri (Decker & Keppler, 2004).
Genosida Israel atas Palestina
Israel telah meratifikasi Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide (Konvensi Genosida) sejak tahun 1950. Jadi, konvensi ini berlaku beserta konsekuensi hukum—baik dalam kaitannya dengan genosida yang dilakukan oleh warga negara atau terjadi di wilayahnya atau bahkan bisa terjadi di wilayah pendudukan Palestin—yang menyertainya. Kewajiban utama Israel atas dasar konvensi ini adalah tidak melakukan genosida. Israel juga bertanggung jawab mencegah dan menghukum orang yang melakukan genosida dengan memberlakukan undang-undang yang tepat dan menegakkannya (Virzana, 2024).
Israel sebenarnya telah memiliki Undang-Undang Genosida Israel 1950 serta mengintegrasikannya ke dalam Ordonansi KUHP Israel. Telah ada kasus Eichmann di hadapan Pengadilan Distrik Yerusalem untuk genosida Pada tahun 1961-1962. Eichmann dijatuhi hukuman mati karena genosida terhadap orang Yahudi selama era holocaust Nazi. Ini berarti Israel benar-benar memiliki hukum dan kemampuan untuk menegakkan hukum tentang genosida (Virzana, 2024).
Cara sederhana untuk melihat niat genosida dari Israel ini adalah dengan memeriksa actus reus kejahatan yang dibuktikan melalui berbagai contoh. Israel telah melakukan pembunuhan sewenang-wenang dan penghancuran Gaza sejak eskalasi pada 7 Oktober 2023. Tidak ada tanda-tanda berhenti dari Israel. Netanyahu bahkan menantang bahwa kasus yang dibawa Afrika Selatan ke ICJ tidak akan menghentikannya. Sudah ada lebih dari 27 ribu korban tewas dan sekitar 66.000 korban luka-luka sampai Januari 2024. Anak-anak dan perempuan termasuk di antara korban. Israel sejak Oktober 2023 juga telah melakukan blokade atau hukuman kolektif tanpa pandang bulu terhadap seluruh penduduk Gaza, Palestina. Tidak ada makanan, air, dan listrik, serta merampas segala kebutuhan mereka. Serangan itu juga merugikan reproduksi wanita hingga banyak dari mereka meminum pil penunda menstruasi. Bayi juga telah menjadi korban dengan fasilitas minimal untuk mereka di rumah sakit (Virzana, 2024).
Tidak salah lagi bahwa hampir semua—jika tidak semua—tindakan yang disebutkan dalam konvensi genosida terpenuhi. Israel telah membawa kehancuran pada kondisi kehidupan seluruh penduduk dengan menjatuhkan hukuman kolektif. Ini juga mempengaruhi kesehatan reproduksi perempuan dan menyerang anak-anak yang tidak bersalah.
*)Heru Susetyo, S.H., LL.M., M.Ag., Ph.D., Dosen Hukum dan HAM FHUI.