FHUI Gagas Pembentukan Asosiasi Perbandingan Hukum Indonesia
Pertemuan Asosiasi Perbandingan Hukum Indonesia nantinya akan fokus pada pembahasan kurikulum akademik di masing-masing fakultas hukum seluruh Indonesia.
Civitas akademika fakultas Hukum seluruh Indonesia bakal menggelar acara pembentukan Indonesian Association of Comparative Law (Asosiasi Perbandingan Hukum Indonesia) pada 12-13 April 2015 di Hotel Santika Depok. Acara ini yang digagas Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) itu dihadiri dekan atau utusan fakultas hukum dari berbagai universitas negeri dan swasta di seluruh Indonesia.
“Kami selaku inisiator dari FHUI bermaksud mengundang dekan-dekan maupun dosen-dosen perbandingan hukum fakultas hukum se-Indonesia. Acara ini dibuka pada Minggu (12/4) malam,” ujar penggagas acara tersebut, Dekan FHUI Prof Topo Santoso melalui sambungan telepon kepada hukumonline, Sabtu (11/4).
Topo menerangkan acara ini digagas lantaran Indonesia masih jauh tertinggal dengan kebanyakan negara lain yang sudah membentuk asosiasi perbandingan hukum cukup lama. Bahkan, asosiasi perbandingan hukum di negara lain sudah memiliki jurnal dan agenda rutin mengadakan konferensi internasional perbandingan hukum. Hasilnya, menjadi tambahan informasi signifikan dalam upaya pengembangan hukum di negara tersebut.
Terkait misi yang akan diusung, Topo belum memberikan pandangan. Pasalnya, pertemuan kali pertama yang mengundang dekan maupun dosen hukum seluruh Indonesia hanya mentargetkan pembentukan Asosiasi tersebut. Setelah itu, Asosiasi Perbandingan Hukum ini terbentuk berikut kepengurusannya, nanti bakal dirumuskan misi dan visi serta program kerja.
Boleh jadi, kata Topo, program kerja Asosiasi ini menentukan konferensi nasional perbandingan hukum rutin setahun atau dua tahun sekali. Selain itu, dalam program kerjanya akan menerbitkan jurnal perbandingan hukum yang bakal menjadi informasi perkembangan hukum di Indonesia. “Sebab, perbandingan hukum sangat perlu untuk pengembangan ilmu di negara kita,” lanjutnya.
Namun yang pasti, kata Topo, pertemuan Asosiasi Perbandingan Hukum Indonesia nantinya akan fokus pada pembahasan kurikulum akademik di masing-masing fakultas hukum seluruh Indonesia. Sebab, cabang disiplin ilmu hukum terbilang cukup luas, mulai hukum pidana, perdata, hingga hukum tata negara.
Menurutnya, kajian Asosiasi Perbandingan Hukum Indonesia tidak dirancang untuk menyikapi perkembangan hukum yang bersifat praktis, tetapi kajian-kajian yang bersifat ilmiah dan akademis. Misalnya, Asosiasi perbandingan hukum Indonesia tak bersifat reaksioner terhadap praktik hukum atau perseteruan antar lembaga hukum yang ada.
“Jadi sifatnya tidak reaksioner terhadap praktik hukum di Indonesia, lalu disikapi. Ini sifatnya pengembangan akademik perbandingan hukum, lalu membentuk kerja sama dengan fakultas-fakultas hukum yang mengajarkan mata kuliah perbandingan hukum,” tegasnya.
Dia menambahkan acara ini mengundang sekitar 30 dekan maupun utusan dari berbagai fakultas hukum dari berbagai universitas seluruh Indonesia yang sudah menyatakan kesediannya untuk hadir. Dia berharap setelah dideklarasikan dan terbentuk kepengurusan, pertemuan selanjutnya dapat dihadiri lebih banyak dekan maupun utusan fakultas hukum seluruh Indonesia.
“Sebetulnya ini (30 dekan bersedia hadir, red) sudah bagus sekali, karena ini baru pertama kali diinisiasi. Kalau sudah terbentuk, baru dibuat acara yang lebih besar dan bersifat nasional,” imbuhnya.
Mixed system
Sementara salah satu peserta acara pembentukan Asosiasi Perbandingan Hukum yang juga Dekan FH Unhas Prof Farida Patitingi mengatakan salah satu agenda utama acara ini adalah pembentukan komunitas Asosiasi Perbandingan Hukum Indonesia. Acara yang digagas FHUI ini diarahkan pada pengkajian sistem hukum di berbagai negara dan pengembangannya di Indonesia yang diarahkan pada standar kurikulum di setiap fakultas hukum.
“Sistem hukum di Indonesia ini kan lebih banyak dipengaruhi sistem hukum Belanda dan Eropa (civil law system), meski kita punya sistem hukum yang asli yakni hukum adat,” ujar Farida saat dihubungi hukumonline, Sabtu (11/4).
Namun, dia memandang selama ini sistem hukum di Indonesia masih menganut mixed system (sistem campuran) antara civil law system dan common law system. Sebab, dalam perkembangannya kedua sistem hukum itu diterapkan dalam praktik, terutama ketika hakim dalam memutus perkara melakukan penemuan hukum yang diikuti hakim berikutnya (asas preseden).
Misalnya, kasus terbaru dapat dilihat dalam putusan praperadilan Komjen (Pol) Budi Gunawan (BG) oleh Hakim Sarpin Rizaldi yang telah menyatakan penetapan tersangka termasuk objek praperadilan.
“Kalau kita menganut civil law system (murni), seharusnya permohonan praperadilan BG ditolak. Akibatnya, putusan ini dijadikan dasar tersangka (korupsi) lain, seperti Suryadharma Ali untuk mengajukan praperadilan, meskipun akhirnya ditolak. Sebab, kita sebenarnya tidak menganut asas preseden seperti di Amerika Serikat dan Inggris,” ujarnya menjelaskan.
Dia berharap dalam pertemuan ini juga disepakati ketegasan sistem hukum yang sebenarnya dianut di Indonesia agar tidak menimbulkan kegamangan dalam masyarakat. “Mungkin Asosiasi ini akan melakukan kajian komprehensif sebagai masukan dalam rangka penelitian dan pengembangan kurikulum dan bahan materi perkuliahan di law school,” harapnya.
“Nantinya, mungkin Asosiasi ini akan menyusun Anggaran Dasar, kemudian akan ditentukan bagaimana organisasi ini dijalankan ke depannya.”
Dari Hukum Online Senin, 13 April 2015