"VOX POPULI VOX DEI" Suara Rakyat adalah Suara Tuhan.

Fenomena Mati Kesepian dalam Kesendirian Oleh Heru Susetyo, S.H., LL.M., Ph.D

Fakultas Hukum Universitas Indonesia > Berita > Fenomena Mati Kesepian dalam Kesendirian Oleh Heru Susetyo, S.H., LL.M., Ph.D

SEORANG lansia berinisial CW (74) ditemukan meninggal dunia dalam keadaan membengkak di rumahnya Jalan Singgalang, Kecamatan Cimanggis, Depok, Jawa Barat, Sabtu (13/1/2024) (Kompas, 15/1/2024).

Di usia senjanya, CW tinggal sendirian dan tidak pernah bersosialisasi dengan tetangga. Ia baru ditemukan saat salah satu keluarganya datang mengunjungi.

Di daerah Pisangan, Ciputat Timur, Tangerang Selatan, seorang dokter berinisial Z (65) ditemukan tak bernyawa di rumahnya pada Kamis (11/1/2024) siang. Jasad korban ditemukan dalam keadaan membusuk.

Korban diperkirakan sudah sekitar lima hari meninggal karena sudah mengeluarkan aroma bau tidak sedap. Korban tinggal seorang diri di rumah yang tidak terurus milik kakaknya.

Ketua RT setempat melihat korban terakhir dua bulan sebelumnya dan korban diketahui memiliki riwayat sakit kronis (Kompas.com, 12/01/2024).

Di Bojonggede, Kabupaten Bogor, seorang pria lansia berinisial TGH (60) meninggal ‘sendirian’ di dalam kamar mandi di rumahnya pada Juni 2022. Jenazah korban baru diketahui setelah warga mencium aroma busuk dari rumahnya.

Warga mendatangi rumah tersebut dan menemukan TGH di dalam rumah seorang diri terduduk di dalam kamar mandi. (Detik.com, 22/06/2022).

Di Kemayoran, Jakarta Pusat, seorang wanita lanjut usia (lansia) ditemukan meninggal seorang diri dalam keadaan terbujur kaku di kontrakan. Lansia yang berusia 61 tahun tersebut ditemukan meninggal pada Selasa (13/7/2021) sekitar pukul 15.00 WIB (news.indozone.id, 14/07/ 2021).

Lansia tersebut diduga meninggal dunia sejak dua hari sebelumnya karena sakit. Di detik-detik menghembuskan nafas terakhirnya, tak ada sanak keluarga yang menemani.

Di Jepang fenomena ini dikenal dengan nama ‘kodokushi’. Di Korea Selatan dengan istilah ‘godoksa’. Bahasa Inggris-nya adalah ‘lonely death’.

Sementara, belum ada istilah yang tepat dalam Bahasa Indonesia, selain mati kesepian dalam kesendirian.

Mati kesepian dalam kesendirian menjadi fenomena menyedihkan belakangan ini. Terutama di negeri Asia Timur seperti Jepang dan Korea Selatan.

Kondisi ini umumnya terjadi pada orang tua yang kematiannya sering tidak diketahui selama berhari-hari atau jangka waktu yang lebih lama.

Berdasarkan laporan Korea Herald, saat ini ada hampir sepertiga rumah tangga yang hanya terdiri dari satu orang di Korea Selatan. Mereka tergolong kelompok paling rentan mengalami mati kesepian.

Menurut Badan Statistik Korea, jumlah rumah tangga dengan anggota keluarga tunggal atau satu orang melonjak dari 5,39 juta pada 2016 menjadi 6,64 juta pada 2021.

Penyebabnya tercatat antara lain pensiun dini, perceraian, kesehatan yang memburuk dan pengangguran kaum muda yang lebih tinggi (cnnindonesia.com, 17/10/2022).

Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan bersama Institut Kesehatan dan Sosial Korea Selatan melakukan survei terhadap 9.471 rumah tangga yang dihuni satu orang saja untuk melihat seberapa tinggi jumlah orang di Korea Selatan yang berisiko mengalami ‘godoksa’ atau mati kesepian.

Hal ini dilakukan setelah melihat makin tingginya jumlah orang yang tinggal sendiri dalam satu rumah.

Temuan tersebut mengungkapkan 78,8 persen orang yang tinggal sendirian berisiko mengalami mati kesepian. Hal tersebut berarti sekitar 4 dari 5 warga yang hidup sendiri di Korsel berisiko mati kesepian (Detik.com, 30/01/2024).

Survei tersebut menilai kemungkinan kematian karena kesepian berdasarkan lima kriteria, yakni akumulasi perasaan gagal dan kehilangan, kesepian dalam kehidupan sehari-hari, tingkat isolasi sosial, penghentian layanan kesejahteraan, dan tingkat perpindahan rumah atau pekerjaan.

Sementara itu, di Jepang kodokushi menjadi masalah yang terus berkembang. Di Jepang, 27,7 persen dari populasi berusia lebih dari 65 tahun dan banyak orang menyerah mencari pasangan hidup di usia paruh baya. Para ahli menyatakan, kombinasi antara budaya Jepang yang unik, sosial, dan faktor demografi bergabung menjadi masalah serius. Tak ada angka resmi terkait kodokushi, tetapi kebanyakan ahli meyakini 30.000 orang mati dalam kesendirian per tahun (Kompas.com, 30/11/ 2017).

Dalam tiga dekade terakhir, Jepang menghadapi pangsa rumah tangga penghuni tunggal yang tumbuh lebih dari dua kali lipat menjadi 14,5 persen dari total populasi.

Kenaikan tersebut terutama didorong pria berusia 50-an dan wanita berusia 80-an atau lebih. Para pakar meyakini, banyak pria khawatir untuk menetap dan memulai berkeluarga.

Selain itu, lebih banyak wanita memasuki dunia kerja merasa tidak membutuhkan suami untuk mencukupi kebutuhan mereka.

Satu dari empat pria Jepang berusia 50 tahun tidak pernah menikah. Pada 2030, angka tersebut diperkirakan naik menjadi satu dari tiga pria.

Sebanyak 15 persen lansia di Jepang hidup dalam kesendirian. Mereka bahkan hanya berbincang satu kali dalam sepekan.

Angka itu lebih tinggi dari jumlah lansia yang hidup sendiri di Swedia, Amerika Serikat, dan Jerman yang berkisar 6-8 persen (Kompas.com, 30/11/ 2017).

Bagaimana dunia memandang kesendirian? Pada Januari 2018, Inggris menunjuk Menteri Kesepian (loneliness) pertama di dunia.

Selain itu, Jepang membentuk departemen pemerintahan baru untuk mengambil tindakan melawan kesendirian dan isolasi pada Februari 2021.

Kedua negara tersebut mengakui kesendirian sebagai masalah sosial, bukan masalah individu, dan mulai mengambil keputusan untuk mengatasi kesendirian di tingkat pemerintahan.

Pemerintah Korea juga telah melahirkan “Undang-undang Pencegahan dan Penanganan Kematian karena Kesepian” sejak 1 April 2021, yang bertujuan mencegah kematian karena kesepian dan meningkatkan kesejahteraan di tingkat nasional.

Oleh karena itu, pemerintah Korea harus menetapkan setiap lima tahun rencana dasar untuk pencegahan kematian karena kesepian dan mengidentifikasi status terkini dengan melakukan survei dan menganalisis statistik.

Penyebab “Lonely Death”

Shin Jun-Seo (the Argus, 18/04/ 2022), menyebutkan bahwa beberapa sebab kematian dalam kesepian antara lain karena hidup yang terisolasi dan meningkatnya pertumbuhan rumah tangga (household) dengan satu orang saja anggotanya.

Menurut Kantor Statistik Nasional Korea Selatan, pada 2019, jumlah rumah tangga dengan satu orang di Korea adalah 6,14 juta, dengan tiga dari 10 rumah tangga merupakan rumah tangga dengan satu orang. Selain itu, kaum muda merupakan bagian terbesar dari rumah tangga yang hanya dihuni satu orang.

Statistik juga menunjukkan bahwa rumah tangga dengan satu orang lebih cenderung muncul sebagai populasi yang kesepian dan miskin dibandingkan dengan keluarga lajang yang kaya dan mewah.

Penyebab lain dari kematian dalam sepi bisa terjadi karena faktor internal maupun eksternal. Ubedilah Badrun (Kompas.com, 15/1/2024) menyebutkan bahwa dari faktor internal, biasanya dipicu oleh individunya yang sedang sakit yang tidak ingin diketahui orang lain, atau karena depresi tidak menerima derita yang dialaminya.

Dari faktor eksternal, contohnya adalah tekanan kehidupan sosial ekonomi yang sangat berat membuat dirinya depresi dan memilih jalan menyerah dengan menutup diri dari kehidupan sosialnya.

Faktor eksternal yang sangat berbahaya adalah ketika masyarakat sekitarnya juga hidup dalam situasi yang sama-sama asosial.

Mereka adalah masyarakat yang individualistik atau masyarakat yang tidak guyub, tidak saling peduli, tidak saling mengenal secara dekat satu sama lain, atau masyarakat yang tidak memiliki kohesifitas sosial yang sehat.

Mencegah “Lonely Death”

Pertama adalah manusia membutuhkan sentuhan. Baik sentuhan fisik, sentuhan psikis maupun sentuhan sosial.

Sentuhan sangat penting untuk perkembangan sosial dan emosional manusia. Sentuhan dapat memfasilitasi komunikasi dan meningkatkan kenyamanan di akhir hidup.

Individu dan masyarakat yang saling berinteraksi sosial sedikit banyak meningkatkan kohesi sosial dan berkontribusi kepada pengurangan isolasi sosial. Maka, peran keluarga dan keberfungsian keluarga menjadi amat signifikan, Boleh jadi individu memilih hidup melajang seumur hidup atau hidup terpisah dari anak-anak dan keluarga besarnya.

Namun keluarga harus tetap berfungsi walau terpisah jarak dan tempat. Diperlukan ikatan keluarga (family bonding) yang baik dan keberfungsian keluarga sebagai pranata cinta kasih dan saling peduli antarsesama anggotanya.

Masyarakat dan invididu juga memiliki kewajiban untuk mencegah kematian akibat kesepian. Termasuk juga harusnya memiliki kehidupan bertetangga (neigbourhood) yang sehat dan saling peduli. Hal yang semakin sulit terjadi di kota-kota besar di Indonesia.

Karena, berfungsinya lembaga Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW), dan institusi sosial lainnya seperti Karang Taruna, Arisan Warga, PKK, Remaja Masjid, Majelis Taklim (atau kelompok sosial keagamaan lainnya) adalah suatu prasyarat untuk meminimalkan keterasingan sosial individu dan mencegah risiko kematian dalam kesepian.

Karena sekali lagi, manusia adalah makhluk sosial yang memerlukan interaksi. Komunikasi via internet ataupun telepon selular saja tak akan dapat menggantikan kebutuhan tersebut.

Sumber : https://www.kompas.com/stori/read/2024/02/14/095305979/fenomena-mati-kesepian-dalam-kesendirian

About the author

➖ Kampus UI Depok Jl. Prof. Mr. Djokosoetono, Kampus FHUI Gedung A Depok 16424, Jawa Barat Telepon (021) 7270003, 7863288 Faks (021) 7270052. E-mail: humas-fh@ui.ac.id & lawschool@ui.ac.id ... ➖ Kampus UI Salemba Gedung IASTH Lt. 2, Jl. Salemba Raya No.4, Jakarta 10430 Tel : (021) 31909008 Faks : (021) 39899148
Humas FH UI