Pemilihan umum legislatif (pileg) usai sudah dilaksanakan. Saat ini penghitungan suara oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) mulai dilakukan. Lembaga survei telah melakukan quick count dan mengindikasikan siapa yang memenangi pileg dan berapa perolehan masing-masing partai.
Kini seluruh partai politik pun melakukan manuver menghadapi pemilihan presiden (pilpres). Mereka mengusung dan memunculkan figur yang akan menjadi calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Mereka ingin memastikan calon yang mereka usung akan memenangkan pilpres atau memastikan agar partainya masuk dalam kabinet.
Saat ini segala sesuatu masih cair dan semua masih berhitung atas sejumlah kemungkinan. Kecuali PDI-P yang selama sepuluh tahun terakhir konsisten menjadi partai oposisi, kemungkinan partai politik yang menjadi oposisi adalah partai yang tidak diajak oleh pemenang pilpres dalam pemerintahan.
Tradisi partai oposisi dan partai berkuasa masih belum terbentuk di Indonesia. Masalah utama karena platform dan ideologi partai politik sangat tidak terlihat jelas.
Memang dalam kampanye setiap partai akan mengkritik dan menyalahkan kebijakan partai yang berkuasa. Ini bukan pengecualian terhadap partai politik yang diajak berkoalisi. Untuk mendulang suara, mereka pun mengkritik partai berkuasa.
Oleh karena itu, praktik demokrasi di Indonesia masih belum dalam tahap demokrasi untuk memilih platform ataupun ideologi. Kebijakan yang dibuat dan dijalankan meski berbeda partai politik akan sama dari satu pemerintahan ke pemerintahan lainnya. Perbedaan signifikan dan jelas tidak akan terlihat.
Demokrasi di Indonesia masih dalam tahap memilih figur yang menjadi penguasa. Pemilu berbasis figur inilah yang kemudian memunculkan fenomena “Asal Bukan”. Asal Bukan Jokowi (ABJ), Asal Bukan Prabowo (ABP), Asal Bukan Ical (ABI) Asal Bukan Wiranto (ABW) dan seterusnya.
Fenomena ini bukan sesuatu yang baru. Dalam berbagai pemilihan kerap fenomena ini muncul. Pemilihan untuk kepala daerah, jabatan di pemerintahan dan universitas. Fenomena Asal Bukan akan mengeksploitasi kelemahan dan kekurangan dari figur daripada kekuatan dan kelebihannya.
Serangan Pribadi
Pemilihan figur yang diusung oleh partai pesaing pun akan didasarkan pada fenomena Asal Bukan yang bisa ‘dibeli’ oleh pemilih. Repotnya fenomena Asal Bukan kerap didasarkan pada informasi-informasi yang belum tentu benar atas figur.
Demokrasi seperti ini yang memunculkan serangan pribadi terhadap tokoh yang diusung. Mulai dari serangan yang bersifat SARA hingga kelemahan yang tidak terverifikasi kebenarannya.
Serangan yang dilancarkan pun tidak dilakukan secara terbuka melalui media massa ataupun dalam kampanye. Serangan dilakukan secara tertutup melalui sosial media.
Bila ada serangan yang bersifat terbuka maka dilakukan dalam bentuk sindiran. Sindiran pun dilakukan secara umum sehingga mudah untuk dielakkan seolah tidak ditujukan pada figur tertentu. Tidak dapat dipungkiri mencari Presiden dan Wapres bagaikan mencari malaikat. Setiap figur yang diusung harus siap untuk ditelanjangi dan diserang dari segala aspek.
Namun, bila serangan dilakukan terhadap pribadi melalui sosial media, bagaimana meluruskan dan membantahnya? Terlebih lagi kerap serangan melalui media sosial tidak diketahui siapa yang memulai.
Saat ini pemilih pemula dan swing voters adalah mereka yang melek teknologi. Mereka terbiasa dengan berbagai sosial media. Bila serangan atas pribadi yang didasarkan pada fenomena Asal Bukan dilakukan melalui sosial media, pemilih penentu akan memilih figur yang memimpin Indonesia berdasarkan informasi yang menyesatkan.
Lalu apakah adil memperlakukan dan menghukum tokoh yang diusung menjadi Presiden dan Wapres melalui sosial media atas fenomena Asal Bukan?
Bahkan, menjadi pertanyaan besar apakah demokrasi Indonesia didasarkan pada serangan pribadi melalui media sosial? Jawabannya tentu tidak. Di sinilah pentingnya partai politik memiliki platform dan ideologi yang jelas.
Bahkan partai politik, anggota dan simpatisannya harus bisa menahan diri untuk tidak melakukan serangan yang berbasis Asal Bukan terhadap tokoh pesaingnya melalui sosial media.
Hikmahanto Juwana
Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Dari Suara Pembaruan Senin, 14 April 2014