Duty of care merupakan perwujudan pertanggungjawaban hukum rumah sakit sebagai sebuah institusi atas pelayanan yang baik dan wajar dalam bidang medis.
Pada dasarnya, rumah sakit bertanggung jawab terhadap tiga hal yaitu: (a) Tanggung jawab yang berhubungan dengan duty of care, (b) Tanggung jawab terhadap sarana dan prasarana, dan (c) Tanggung jawab terhadap personalia. Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (Undang-Undang Kesehatan), personalia rumah sakit ini diterjemahkan sebagai Sumber Daya Manusia (SDM) Kesehatan, yang meliputi tenaga medis, tenaga kesehatan, dan tenaga pendukung/penunjang kesehatan.
Duty of care rumah sakit dapat diartikan sebagai kewajiban rumah sakit untuk memberikan pelayanan yang baik dan wajar dalam bidang medis. Pada awalnya, pertanggungjawaban rumah sakit (duty of care), secara khusus diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Undang-Undang Rumah Sakit) yang menyatakan setiap rumah sakit berkewajiban untuk memberikan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit.
Sedangkan, kewajiban dokter yang berdinas di rumah sakit dalam melaksanakan tugasnya (duty of care), secara khusus diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU Praktik Kedokteran) yang menyatakan bahwa setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran atau kedokteran gigi wajib menyelenggarakan kendali mutu dan kendali biaya.
Dalam perkembangannya, duty of care semakin dipertegas dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Undang-Undang Kesehatan mengamanahkan setiap rumah sakit harus menyelenggarakan tata kelola rumah sakit dan tata kelola klinis yang baik (Pasal 184 (4) UU Kesehatan). Tata kelola rumah sakit yang baik adalah penerapan fungsi manajemen rumah sakit yang berdasarkan prinsip tranparansi, akuntabilitas, independensi, responsibilitas, kesetaraan, dan kewajaran. Sedangkan, tata kelola klinis yang baik adalah penerapan fungsi manajemen klinis yang meliputi kepemimpinan klinis, audit klinis, data klinis, risiko klinis berbasis bukti, peningkatan kinerja, pengelolaan keluhan, mekanisme monitor hasil pelayanan, pengembangan profesional, dan akreditasi rumah sakit (Penjelasan Pasal 184 (4) UU Kesehatan).
Dalam rangka mewujudkan duty of care, UU Kesehatan mewajibkan kepada rumah sakit untuk: memberikan informasi yang benar tentang pelayanan rumah sakit kepada masyarakat (Pasal 189 (1) (a) UU Kesehatan); memberikan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminatif, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit (Pasal 189 (1) (b) UU Kesehatan); memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan kemampuan pelayanannya (Pasal 189 (1) (c) UU Kesehatan); membuat, melaksanakan, dan menjaga standar mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit sebagai acuan dalam melayani pasien (Pasal 189 (1) (g) UU Kesehatan); menyelenggarakan rekam medis (Pasal 189 (1) (h) UU Kesehatan); melaksanakan sistem rujukan (Pasal 189 (1) (j) UU Kesehatan); menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan standar profesi dan etika serta ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 189 (1) (k) UU Kesehatan); memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai hak dan kewajiban pasien (Pasal 189 (1) (l) UU Kesehatan); menghormati dan melindungi hak-hak pasien (Pasal 189 (1) (m) UU Kesehatan); serta menyusun dan melaksanakan peraturan internal rumah sakit (Pasal 189 (1) (r) UU Kesehatan).
Meskipun dokter yang bekerja di rumah sakit statusnya bukan karyawan atau pegawai dari rumah sakit (dokter tetap atau dokter penuh waktu atau dokter purna waktu), rumah sakit tetap harus bertanggung jawab terhadap dokter yang dipekerjakannya, apapun status dokternya (baik dokter tetap maupun dokter tidak tetap). Hal ini karena rumah sakit sebagai sebuah institusi telah melakukan mekanisme seleksi bagi dokter yang akan bekerja di rumah sakit. Di lain pihak, pasien tidak mempunyai referensi atas kualitas dari dokter yang bekerja di rumah sakit. Intinya, pasien datang ke rumah sakit untuk mengakses pelayanan kesehatan dan pelayanan medis yang disediakan oleh rumah sakit karena pasien percaya dengan kualitas rumah sakit, termasuk kualitas dari dokter yang bekerja di rumah sakit tersebut. Rumah sakit berwenang menegakkan standar kualitas pelayanan medis (duty of care) melalui seleksi bagi dokter yang akan bekerja di rumah sakit (kredensial) dan pemantauan secara berkala terhadap kinerja dokter melalui komite medik rumah sakit maupun proses rekredensial.
Semakin menguatnya tanggung jawab hukum rumah sakit sebagai sebuah institusi, disebabkan beberapa hal, diantaranya: Pertama, masyarakat memandang rumah sakit sebagai entitas yang kompleks yaitu sebuah entitas yang bertanggung jawab atas pelayanan medis dan pelayanan kesehatan yang diberikannya. Kedua, rumah sakit adalah institusi yang wajib memantau dan mengontrol kinerja dokter yang berpraktik di rumah sakit. Setiap hari, rumah sakit mempunyai kesempatan untuk memantau dan mengamati praktik SDM Kesehatan (khususnya dokter) di rumah sakit.
Rumah sakit dapat mengadopsi dan menerapkan prosedur untuk mendeteksi atau mengantisipasi potensi masalah yang timbul dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan serta pelayanan medisnya melalui sistem manajemen risiko. Rumah sakit memantau dan memastikan kualitas dokter yang berpraktik di rumah sakit melalui mekanisme kredensial dan rekredensial. Ketiga, tanggung jawab rumah sakit untuk memikul kerugian yang diderita oleh pasiennya akibat dari kelalaian SDM Kesehatan (khususnya dokter) di rumah sakit akan menciptakan insentif bagi rumah sakit untuk menjamin kompetensi SDM Kesehatan (khususnya dokter) yang bekerja di rumah sakit.
Tanggung jawab rumah sakit terhadap penerapan duty of care melahirkan beberapa kewajiban yang sifatnya langsung dibebankan kepada rumah sakit, diantaranya: (1) kewajiban bagi rumah sakit untuk menyelenggarakan perawatan secara aman, wajar dan bermutu serta kewajiban bagi rumah sakit untuk menyediakan sarana prasarana (fasilitas) yang memadai. Rumah sakit wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menyelenggarakan pelayanannya dan mengelola serta memanfaatkan sistem pelayanan kesehatan serta pelayanan medisnya secara profesional (Good Clinical Governance); (2) kewajiban bagi rumah sakit untuk melakukan seleksi terhadap SDM Kesehatan (khususnya dokter) yang akan bekerja atau berpraktik di rumah sakit. Artinya, hanya dokter yang berkompetenlah yang diperkenankan dan diberikan izin untuk berpraktik di rumah sakit; (3) kewajiban bagi rumah sakit untuk memantau, mengawasi dan membimbing SDM Kesehatan yang bekerja di rumah sakit, khususnya dokter; dan (4) kewajiban bagi rumah sakit untuk merumuskan, mengadopsi dan menegakkan peraturan internal yang diterapkan serta ditegakkan di dalam rumah sakit, diantaranya Hospital by Laws, Medical Staff by Laws, Good Clinical Governance.
Beberapa kelalaian rumah sakit yang terkait dengan pelaksanaan duty of care terdapat dalam Putusan Pengadilan Nomor 381/Pid.B/2014/PN.Tk; Putusan Pengadilan Nomor 569/Pdt.G/2013/PN.Jkt.Pst; Putusan Pengadilan Nomor 577/Pdt/G/2011/PN.Jkt.Bar; Putusan Pengadilan Nomor 08/PDT/ 2013/PT.DKI; dan Putusan Kasasi Nomor 779 K/Pdt/2014.
Dalam pertanggungjawaban perdata berdasarkan duty of care, rumah sakit dapat dijadikan sebagai pihak yang langsung digugat oleh pasien berdasarkan Perbuatan Melawan Hukum (onrechtmatige daad). Misalnya, Putusan Pengadilan Nomor 38/Pdt.G/2016/PNBna jo. Putusan Pengadilan Nomor 111/PDT/2017/PT BNA jo. Putusan Kasasi Nomor 2921 K/Pdt/2018. Putusan tersebut merupakan contoh PMH (onrechtmatige daad) yang dilakukan rumah sakit di unit gawat darurat dengan modus terbukti telah melakukan pembiaran terhadap pasien selama 8 jam. Sehingga rumah sakit sebagai institusi dihukum untuk membayar ganti rugi karena PMH.
Potensi permasalahan yang sering muncul terkait pertanggungjawaban hukum rumah sakit dalam duty of care adalah mengenai penanganan pasien gawat darurat, baik dalam prosedur dan tata laksana penanganannya di unit gawat darurat rumah sakit maupun dalam prosedur dan tata laksana rujukan yang dilakukan oleh rumah sakit. Beberapa putusan pengadilan terkait pelaksanaan duty of care di unit gawat darurat rumah sakit terdapat dalam Putusan Pengadilan Nomor 97/Pdt.G/2013/PN.Plg; Putusan Pengadilan Nomor 85/PDT/2014/PT.PLG; Putusan Pengadilan Nomor 569/Pdt.G/2013/PN.Jkt.Pst; Putusan Pengadilan Nomor 72/Pdt.G/2021/PN Pms; Putusan Pengadilan Nomor 38/Pdt.G/2016/PN Bna; Putusan Pengadilan Nomor 111/PDT/2010/PT BNA; dan Putusan Pengadilan Nomor 779/Pdt.G/2021/PN Tng.
Mempertimbangkan berbagai putusan pengadilan terkait duty of care di unit gawat darurat rumah sakit ada beberapa hal yang perlu dikaji. Salah satunya, prosedur dan tata laksana penanganan pasien gawat darurat yang perlu diperhatikan adalah kondisi psikologis pasien dan/atau keluarga pasien. Artinya, sebagai person (atau manusia) mereka sudah tidak utuh lagi secara psikis. Ada perasaan khawatir yang terkadang tidak terkendali mengenai kondisi gawat darurat yang sedang dihadapi. Karena itu, sedikitnya ada 3 hal yang harus diperhatikan oleh dokter dan rumah sakit pada saat menangani pasien gawat darurat. Pertama, memperhatikan riwayat penyakit dan hasil observasi atau pemeriksaan laboratorium terkait dengan kondisi kesehatan pasien seteliti mungkin. Kedua, permintaan persetujuan untuk sebuah tindakan (informed consent) berdasarkan tata laksana kegawatdaruratan.
Dalam menghadapi pasien dan/atau keluarganya, informed consent memegang peranan utama karena mayoritas dari sengketa medis yang terjadi, titik pangkalnya adalah dari informed consent. Ketiga, terkait dengan infrastruktur unit gawat darurat dan ketersediaan SDM Kesehatan di unit gawat darurat, rumah sakit harus memastikan ketersediaan infrastruktur dalam keadaan baik dan layak. Artinya, rumah sakit tidak cukup hanya menugaskan dokter umum sebagai dokter jaga di unit gawat darurat rumah sakit. Namun, rumah sakit harus memastikan kualitas dokter melalui mekanisme kredensial dan rekredensial serta pemberian pelatihan tambahan bagi dokter yang bertugas di unit gawat darurat rumah sakit.
Duty of care memberikan kewenangan pada rumah sakit untuk menjalankan prosedur agar menjamin mutu penyelenggaraan duty of care. Prosedur yang diterapkan oleh rumah sakit dapat berupa, sebuah mekanisme, misalnya mekanisme kredensial, rekredensial, alur kerja serta beban kerja (misalnya adalah job description dan alur kerja bagi SDM Kesehatan), audit kinerja dan audit medis, maupun akreditasi. Prosedur yang diterapkan rumah sakit untuk menjamin mutu penyelenggaraan duty of care dapat juga berupa pembentukan badan atau unit, misalnya Komite Etik dan Hukum Rumah Sakit, Komite Medis, Komite Keperawatan, Dewan Pengawas Rumah Sakit. Duty of care merupakan perwujudan pertanggungjawaban hukum rumah sakit sebagai sebuah institusi. Duty of care merupakan implementasi pertanggungjawaban hukum rumah sakit terhadap dirinya sendiri.
Sumber:

