Diskusi Publik “Quo Vadis RUU Perampasan Aset” di FH UI: Pembuktian Terbalik, Safeguards Hukum Acara, dan Perlindungan Pihak Ketiga Jadi Sorotan

Fakultas Hukum Universitas Indonesia > Berita > Diskusi Publik “Quo Vadis RUU Perampasan Aset” di FH UI: Pembuktian Terbalik, Safeguards Hukum Acara, dan Perlindungan Pihak Ketiga Jadi Sorotan

Depok, Kamis, 23 Oktober 2025 — Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI) bekerja sama dengan Bidang Studi Hukum Pidana Fakultas Hukum UI, Djokosoetono Research Center, ILUNI FH UI, dan Pascasarjana FH UI menyelenggarakan Diskusi Publik bertajuk “Quo Vadis RUU Perampasan Aset” di Ruang Multimedia S&T, Fakultas Hukum UI. Seluruh pembicara tampil dalam satu sesi yang dimoderatori oleh Kaylanitha Syailendra.

Mengawali acara, Wakil Dekan I FH UI, Dr. Endah Hartati, S.H., M.H., menegaskan mandat moral kampus dalam pembentukan hukum nasional. “Sebagai lembaga pendidikan hukum tertua di tanah air, Fakultas Hukum UI memiliki tanggung jawab moral dan intelektual untuk terus berperan aktif dalam memberikan sumbangsih terhadap pembentukan hukum nasional,” ujarnya.

Ia menambahkan, “Tema diskusi hari ini lahir dari keprihatinan dan optimisme akademik terhadap dinamika pembentukan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset yang tengah menjadi perhatian publik. Kita semua memahami bahwa kejahatan ekonomi dan tindak pidana korupsi telah menimbulkan kerugian besar bagi negara dan masyarakat. Upaya pengembalian aset hasil kejahatan merupakan bagian penting dari strategi pemberantasan korupsi dan pemulihan integritas sistem hukum.”

Dalam sesi diskusi, Ketua PPATK 2011–2016, Dr. Muhammad Yusuf, S.H., M.M.  menyoroti desain pengaturan illicit enrichment dan arah pembuktian dalam perampasan ase. “Ini persoalan pidana. Jika konsepnya ditarik ke perdata, jaksa akan kesulitan membuktikan,” kata Yusuf. Ia mendorong pilihan pendekatan pidana dengan pembuktian terbalik, seraya menilai rezim pengembalian aset semestinya tidak hanya menyasar korupsi, melainkan kejahatan lain yang relevan. “Negara punya hak untuk membela diri terhadap penambahan kekayaan yang tidak wajar. Pengaturan yang kuat sejalan dengan praktik dan konvensi internasional,” tegasnya.

Dari perspektif tata kelola ekonomi, Direktur Hukum dan Regulasi PPATK, Dr. Muhammad Novian, S.H., M.H. menilai RUU Perampasan Aset mampu memperkuat kepercayaan pasar. “Iklim investasi akan semakin percaya bila Indonesia berhasil mengesahkan RUU Perampasan Aset ini. Indonesia akan dikatakan konsisten sebagai tempat investasi yang bersih,” tutur Novian. Ia menggarisbawahi pentingnya perlindungan pihak ketiga beritikad baik, terutama pada kasus aset tercampur antara harta sah dan hasil kejahatan. “Mekanisme verifikasi dan keberatan pihak ketiga perlu jelas agar tidak menimbulkan ketidakpastian,” tambahnya.

Aspek akuntabilitas hukum acara menjadi perhatian Deputi Direktur ICJR, Maidina Rahmawati, S.H., LL.M. Ia menekankan bahwa fondasi hukum acara harus tegas sebelum RUU berjalan. “Aturan hukum acaranya harus akuntabel terlebih dahulu. Misalnya pada kondisi pelaku melarikan diri, definisi dan prosedurnya belum jelas. Ini akan berdampak pada penegakan perampasan aset ke depan,” ujar Maidina. Ia mengingatkan pentingnya safeguards hukum acara pidana, kejelasan status perkara pada tahap penyidikan, serta detail kewenangan Jaksa Agung dalam pengalihan atau pengelolaan aset. “Secara hukum acara masih banyak kekurangan. Mekanisme pengalihan aset perlu diatur rinci agar akuntabel,” tegasnya.

Dari sisi perumusan norma, Ganjar Laksmana Bonaprapta, S.H., M.H. (Tim Perumus RUU Perampasan Aset; Dosen Hukum Pidana FH UI) membedakan perampasan aset sebagai pidana tambahan yang sudah dikenal dengan gagasan perampasan aset tanpa harus menunggu adanya putusan atas tindak pidana tertentu. “Pertanyaannya perampasan aset atau perampasan aset tindak pidana. Kalau pidana tambahan, KUHP sudah mengatur meski ada tantangan. Ide RUU ini menempatkan perampasan sebagai instrumen yang tidak selalu bergantung pada pembuktian tindak pidana spesifik,” jelas Ganjar. Ia merangkum tiga kata kunci rancangan: “kekayaan yang tidak sesuai dengan profil, asal-usul kekayaan yang tidak jelas, dan pembuktian terbalik.”

Sebagai penanggap dari kalangan kampus, Sultan Rambe, S.H. (Mahasiswa Magister Ilmu Hukum, Peminatan Hukum dan Sistem Peradilan Pidana FH UI, Angkatan 2024) mengusulkan penekanan pada kerangka asset recovery yang utuh. “Seharusnya orientasinya pemulihan aset, bukan semata perampasan. Asset recovery mencakup penelusuran, pengamanan, pemeliharaan, perampasan, sampai pengembalian,” kata Sultan. Ia juga mengkritisi ambang batas minimal Rp100.000.000 dalam draf RUU. “Ambang batas itu berpotensi menghambat pemulihan aset bernilai kecil. Sebaiknya dihapus atau direvisi agar semua aset hasil kejahatan dapat dipulihkan,” ujarnya.

Diskusi publik ini merangkum enam isu kunci. Pertama, desain hukum acara yang jelas dan akuntabel, terutama definisi situasi khusus seperti pelaku yang kabur atau tidak diketahui keberadaannya, standar pembuktian perampasan aset, dan urutan proses agar tidak menimbulkan celah. Kedua, perlindungan pihak ketiga beritikad baik melalui mekanisme keberatan dan verifikasi kepemilikan yang transparan, termasuk pada aset campuran. Ketiga, pembuktian terbalik serta cakupan lintas kejahatan yang tidak terbatas pada korupsi. Keempat, kewenangan pengelolaan dan eksekusi aset oleh penuntut umum, termasuk pengalihan aset oleh Jaksa Agung, yang menuntut prosedur detail dan akuntabel. Kelima, orientasi pemulihan aset yang menyeluruh, menempatkan perampasan sebagai salah satu tahapan di dalam siklus asset recovery. Keenam, dampak ekonomi dan investasi melalui kepastian hukum yang memperkuat pencegahan pencucian uang dan meningkatkan daya saing Indonesia.

About the author

➖ Kampus UI Depok Jl. Prof. Mr. Djokosoetono, Kampus FHUI Gedung A Depok 16424, Jawa Barat Telepon (021) 7270003, 7863288 Faks (021) 7270052. E-mail: humas-fh@ui.ac.id & lawschool@ui.ac.id ... ➖ Kampus UI Salemba Gedung IASTH Lt. 2, Jl. Salemba Raya No.4, Jakarta 10430 Tel : (021) 31909008 Faks : (021) 39899148