Kamis, 25 September 2014
BEM FHUI bekerjasama dengan Lembaga kajian dan Keilmuan (LK2) FHUI mengadakan Diskusi Publik yang mengangkat tema “Polemik RUU Pemilukada” Kamis, 25 September 2014. Acara dimulai pada Pukul 14.20 bertempat di ruang SnT, Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Acara menghadirkan 4 narasumber yakni:
- Fajri Nursyamsi S.H. (Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI);
- Bono Budi Priambodo S.H., M.Sc. (Pakar Hukum Administrasi Negara)
- Sri Budi Eko Wardani (Ketua Puskapol FISIP UI)
- Kevin Farrera Lutfiano (Mahasiswa FHUI Program Kekhususan Hukum Tata Negara)
Keempat narasumber tersebut memaparkan pandangan mereka tentang pemilihan kepala daerah dari perspektif displin ilmu masing-masing. Pembicara pertama, Bono Priambodo mengatakan beliau tidak mempermaslahkan apakah pemilihan kepala daerah akan dilakukan secara langsung atau melalui DPRD, menurutnya keduannya sama-sama demokratis, dan apabila ditinjau dari sejarah bangsa Indonesia, pendiri bangsa kita menghendaki kedaulatan rakyat yang dipimpin dengan hikmat dan Kebijaksanaan dalam bingkai Permusyawaratan dan perwakilan.
Pembicara kedua, Fajri Nursyamsi juga berpendapat senada. Bahwa pada dasarnya yang menjadi pokok permasalahn yang perlu dipahami adalah bentuk demokrasi yang berbeda, satu dilakukan secara langsung dan satu lagi menggunakan konsep perwakilan. Selain itu, pemilihan Kepala Daerah melalui sistem perwakilan juga merupakan perwujudan dari konsep negara kesatuan yang saat ini dianut oleh Indonesia. Sehingga secara konseptual, bentuk pemilihan langsung maupun perwakilan sejatinya tidak mengkhianati semangat demokrasi di Indonesia.
Pembicara ketiga, Sri Budi EkoWardani memberikan pendapat berbeda. Ketua Puskapol FISIP UI tersebut menjelaskan bahwa mekanisme pemilihan kepala daerah harusnya tidak hanya dipandang sebagai suatu konsep, tapi juga sistem yang dijalankan. Dan sangat riskan rasanya jika kondisi anggota DPRD yang ada di tiap daerah saat ini yang cenderung buruk dipaksakan untuk memilih Kepala Daerah yang konskekuensinya adalah kepentingan rakyat yang tidak terakomodasi. Turut menjadi kekhawatiran adalah kemungkinan menurunnya jumlah kepala daerah yang membawa pembaharuan di daerah yang dipimpinnya yang pembicara yakini akan lebih mudah dicari dalam sistem pemilihan langsung.
Kesimpulan dari diskusi ini berkelindan dengan apa yang sering disampaikan almarhum Satjipto Rahardjo, “Hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.” Sudah selayaknya setiap pembentukan hukum di dalam negeri, termasuk pembentukan RUU Pilkada ini, memerhatikan pula aspek filosofis dan historis sehingga menciptakan sebuah produk hukum yang berkualitas dan berpihak kepada rakyat.