Rumah sakit adalah adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang mempunyai posisi inti dalam pelayanan kesehatan dan medis. Hal ini tercermin dari adanya peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur mengenai rumah sakit, yaitu Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Rumah Sakit menyatakan bahwa, “Kepala Rumah Sakit harus seorang tenaga medis yang mempunyai kemampuan dan keahlian di bidang perumahsakitan”.
Ketentuan ini dipertegas oleh Pasal 10 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 971/Menkes/Per/XI/2009 tentang Standar Kompetensi Pejabat Struktural Kesehatan yang menyatakan bahwa, “Direktur Rumah Sakit harus seorang tenaga medis yang mempunyai kemampuan dan keahlian di bidang perumahsakitan.” Di dalam ketentuan tersebut diatur bahwa Direktur Rumah Sakit didampingi oleh beberapa Wakil Direktur yang meliputi Wakil Direktur yang membidangi Pelayanan Medis Rumah Sakit, Wakil Direktur Administrasi Umum, Wakil Direktur Keuangan, Wakil Direktur Sumber Daya Manusia, Wakil Direktur Pendidikan.
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Rumah Sakit dan Peraturan Menteri Kesehatan tersebut, dapat ditafsirkan bahwa yang dimaksud dengan Kepala Rumah Sakit dan Direktur Rumah Sakit adalah Direktur Utama Rumah Sakit (atau biasa disebut sebagai CEO – Chief Executive Officer). Intinya, Direktur Utama Rumah Sakit harus seorang tenaga medis atau dokter.
Apakah ketentuan ini bersifat mutlak dan masih relevan dengan kondisi saat ini? Tentunya, hal ini dapat ditinjau berdasarkan perkembangan perumahsakitan di dunia dan perkembangan serta kebutuhan layanan perumahsakitan di Indonesia. Terkait dengan perkembangan perumahsakitan di dunia, minimal terdapat tiga negara yang masuk dalam kategori pelayanan kesehatan terbaik di tingkat Asia Tenggara atau dunia dan dapat dijadikan sebagai pembanding. Ketiga negara tersebut adalah Malaysia, Australia dan Jerman.
Berdasarkan survey Health Ranking Web of Hospital oleh Hospital Webometrics, Malaysia adalah salah satu negara yang memiliki 18 dari 100 rumah sakit terbaik di Asia Tenggara. Pada tahun 2020 Malaysia kembali berhasil mendapatkan penghargaan International Medical Travel Journal (IMTJ) Medical Travel Awards. Penghargaan ini didapatkan Malaysia setelah sukses mendapatkan pangsa pasar terbesar di Asia Tenggara sebesar 1,5 miliar ringgit.
Manajemen rumah sakit, khususnya rumah sakit swasta terorganisir dengan baik. Penerima lisensi rumah sakit swasta yang ditentukan oleh Menteri, harus membentuk Dewan Manajemen di mana dua anggotanya berasal dari Komite Penasihat Medis. Komite Penasihat Medis beranggotakan dokter yang terdaftar dan mewakili dokter yang berpraktik di rumah sakit tersebut untuk memberi nasihat kepada pengurus rumah sakit. Contohnya adalah susunan kepengurusan Mount Miriam Cancer Hospital di Penang, Malaysia yang terdiri dari enam orang anggota. Dari enam orang tersebut, terdapat dua anggota yang merupakan dokter. Sementara empat lainnya berasal dari latar belakang non-kesehatan. Di Malaysia, tidak ada peraturan yang menegaskan bahwa Direktur Utama Rumah Sakit harus dokter.
Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Newsweek, tujuh rumah sakit di Australia berhasil masuk Top 200 Global Best Hospital 2021. Metode penilaiannya didasarkan oleh tiga aspek yaitu, rekomendasi dari medical experts (doctor, hospital manage, health care professionals, etc), hasil survey pasien, dan KPIs medical hospital. Rumah sakit di Australia, dipimpin oleh Dewan Pengurus yang berjumlah lima orang atau lebih dan ditunjuk oleh Gubernur dengan pemberitahuan melalui surat kabar atas rekomendasi dari Menteri. Sekurang-kurangnya satu orang anggota Dewan Pengurus Rumah Sakit adalah dokter. Contohnya adalah Dewan Pengurus The Royal Melbourne Hospital, Australia yang tersusun dari 10 orang dengan berbagai macam latar belakang. Dari 10 anggota dewan tersebut, terdapat dua orang dokter. Selebihnya, berasal dari latar belakang yang beragam yaitu ekonomi, akuntansi, hukum, manajemen, dan teknik. Di Australia, tidak ada peraturan yang menegaskan bahwa Direktur Utama Rumah Sakit harus dokter.
Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Newsweek, Jerman berhasil masuk dalam Top 200 Best Hospital 2021, bahkan salah satu rumah sakitnya ada yang menempati urutan ke-6 terbaik di dunia. Manajemen rumah sakit di Jerman terdiri dari Komite Eksekutif dan Komite Penasihat. Komite Eksekutif terdiri dari “troika yang meliputi Direktur Medis, Perwakilan Perawat, dan Kepala Administrasi Rumah Sakit. Komite Penasihat terdiri dari dokter senior. Direktur Utama Rumah Sakit, posisinya di atas “troika“ dan seringkali diisi oleh orang yang tidak memiliki latar belakang medis.
Dalam sebuah survey yang dilakukan oleh Bär pada tahun 2008, ditemukan bahwa dari 13 rumah sakit swasta yang berorientasi profit, hanya satu yang dipimpin oleh Direktur Utama yang merupakan dokter dan terdapat sembilan rumah sakit yang dipimpin oleh Direktur Utama berlatar belakang ekonomi. Saat ini, mayoritas rumah sakit di Jerman dipimpin oleh Direktur Utama dari profesi non-kesehatan, terutama ekonom dengan spesialisasi manajemen rumah sakit. Contohnya adalah manajemen University Hospital and Faculty of Medicine Tübingen beranggotakan lima orang, terdiri dari tiga orang dokter dan dua orang dari latar belakang ekonomi. Di Jerman, tidak ada peraturan yang menegaskan bahwa Direktur Utama Rumah Sakit harus merupakan dokter.
Berdasarkan praktik pengelolaan rumah sakit di ketiga negara tersebut, ternyata Direktur Utama Rumah Sakit tidak mutlak dokter. Namun, dibutuhkan Direktur Utama yang memahami manajerial dan bisnis rumah sakit.
Di Indonesia, paradigma pelayanan kesehatan telah berkembang dan mengarah ke sektor bisnis. Hal ini berlaku juga bagi rumah sakit. Tonggak awalnya adalah dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 84 Tahun 1992 yang memungkinkan rumah sakit dikelola oleh Perseroan Terbatas. Ketentuan ini kemudian diperkokoh dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 tentang Pemilikan Saham dalam Perusahaan yang Didirikan dalam Rangka Penanaman Modal Asing. Peraturan Pemerintah ini memungkinkan investor asing untuk ikut ambil bagian mengelola rumah sakit dalam bentuk Perseroan Terbatas Penanaman Modal Asing. Namun, tidak seperti bentuk Perseroan Terbatas pada umumnya yang hanya berorientasi profit, rumah sakit harus melaksanakan fungsi sosial. Hal ini dibuktikan dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 378/MENKES/PER/V/1993 tentang Pelaksanaan Fungsi Sosial Rumah Sakit Swasta.
Rumah sakit merupakan organisasi yang kompleks karena terdiri dari beraneka ragam profesi dan menampung berbagai permasalahan terkait dengan pasien sebagai penerima pelayanan kesehatan, di mana karakteristik pasien adalah sangat majemuk. Oleh karena itu, kualitas yang baik dari manajemen rumah sakit merupakan hal yang mutlak karena menjadi jantung penggerak pelayanan kesehatannya dan Direktur Utama berfungsi sebagai dirigen atau konduktor agar orkestrasi dalam manajemen terjalin dengan padu serta dinamis.
Kondisi ini disadari oleh Pemerintah dan kemudian dituangkan di dalam Pasal 10 ayat (2) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 971/Menkes/Per/XI/2009 tentang Standar Kompetensi Pejabat Struktural Kesehatan yang mensyaratkan Direktur Utama Rumah Sakit harus memahami Kepemimpinan, Kewirausahaan, Rencana Strategis Bisnis, Rencana Aksi Strategis, Rencana Implementasi dan Rencana Tahunan, Tatakelola Rumah Sakit, Standar Pelayanan Minimal, Sistem Akuntabilitas, Sistem Remunerasi Rumah Sakit, Pengelolaan Sumber Daya Manusia. Intinya, Direktur Utama Rumah Sakit tidak hanya seseorang yang profesional dan memahami bisnis rumah sakit, tetapi juga merupakan enterpreneurship. Namun, dalam kenyataannya, ketentuan tersebut direduksi dengan persyaratan yang mewajibkan bahwa Direktur Utama Rumah Sakit adalah dokter. Hal ini, tentunya menimbulkan beberapa implikasi hukum.
Implikasi hukum yang pertama adalah jabatan Direktur Utama Rumah Sakit yang hanya diperuntukkan bagi dokter berpotensi tidak selaras dengan amanah konstitusi dalam Pasal 28D ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa:
(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
(2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Penjaminan hak yang tertuang dalam konstitusi tersebut memberikan mandat kepada Negara dan manfaat kepada rakyat. Mandat dijalankan oleh Pemerintah melalui pemberian perlindungan dan perlakuan yang adil di hadapan hukum (equality before the law) dan kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk meniti karier hingga puncak. Dalam hal ini, seharusnya Pemerintah mempertimbangkan untuk memberikan akses seluasnya terhadap posisi jabatan Direktur Utama Rumah Sakit bagi pihak yang berkompeten, baik dokter maupun bukan dokter. Dalam tataran yang lebih tinggi di sektor Pemerintahan, jabatan Menteri Kesehatan Republik Indonesia saat ini diemban oleh Ir. Budi Gunadi Sadikin, CHFC, CLU, yang bukan berasal dari tenaga medis atau dokter, tetapi merupakan teknokrat dan profesional korporasi.
Implikasi hukum berikutnya, pembatasan jabatan Direktur Utama Rumah Sakit hanya bagi dokter berpotensi menimbulkan adanya sekat-sekat profesi yang berpotensi ditafsirkan sebagai monopoli jabatan dan diskriminasi terhadap profesi lainnya. Salah satu profesi yang cukup terdampak adalah perawat. Berdasarkan data Badan PPSDM Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, perawat merupakan tenaga kesehatan dengan jumlah terbesar di Indonesia, yaitu berjumlah 376.136 orang (data per 31 Desember 2019). Dalam pelaksanaan tugasnya, seringkali perawat dituntut untuk memahami pola pelayanan rumah sakit dari hulu hingga ke hilir. Oleh karena itu, sudah selayaknya apabila perawat menjadi salah satu profesi yang diberikan kesempatan menjadi Direktur Utama Rumah Sakit.
Implikasi hukum selanjutnya, pembatasan jabatan Direktur Utama Rumah Sakit hanya bagi dokter berpotensi menghambat masuknya investasi asing dalam pengelolaan rumah sakit karena pola manajemen rumah sakit yang diterapkan di Indonesia berbeda dengan pola manajemen rumah sakit yang diterapkan di beberapa negara dengan sistem kesehatan terbaik.
Direktur Utama atau Chief Executive Officer Rumah Sakit merupakan jabatan strategis dalam manajemen rumah sakit. Oleh karena itu, dibutuhkan sosok profesional yang memahami manajemen rumah sakit dan berjiwa enterpreneurship sebagai pucuk pimpinan manajemen rumah sakit. Direktur Utama Rumah Sakit harus mampu menyeimbangkan antara orientasi profit dan fungsi sosial dalam pengelolaan rumah sakit. Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit yang membatasi jabatan Direktur Utama Rumah Sakit hanya bagi dokter, sudah saatnya ditinjau ulang. Hal ini mempertimbangkan perkembangan layanan kesehatan di dunia dan di Indonesia.