Diguncang Peristiwa Mei 1998
Setelah lama menjadi aktivis, Firliana Purwanti terjun ke politik.
Ingin memperbaiki nasib pekerja rumah tangga.
Firliana Purwanti. TEMPO/M Taufan Rengganis
PERLU waktu satu tahun bagi Firliana Purwanti untuk memantapkan hatinya menjadi kandidat anggota parlemen. Pengalamannya sebagai kader Partai Demokrat selama nyaris satu dasawarsa rupanya tak cukup ampuh untuk meneguhkan niatnya bertarung memperebutkan kursi Dewan Perwakilan Rakyat di Senayan.
Keyakinan Firliana sekejap muncul, tapi sejurus kemudian sirna. “Awalnya gue mutusin gak nyaleg,” katanya di Jakarta, Rabu pekan lalu. Namun, ketika masalah Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PRT) muncul, dia menimbang ulang keputusannya. Rancangan aturan untuk melindungi jutaan pekerja rumah tangga itu mangkrak sejak diusulkan 15 tahun silam.
Bagi Firliana, pengesahan rancangan undang-undang itu target utamanya sebagai pegiat hak asasi perempuan. “RUU PPRT my biggest passion,” ucapnya. Menurut perempuan berambut pendek ini, wanita tidak akan pernah lepas dari kemiskinan selama negara tidak hadir melindungi pekerja rumah tangga, yang nyaris semuanya kaum Hawa. “Pekerjaan apa pun yang informal tidak punya jaring pengaman sosial. Kalau lu bisa mengesahkan rancangan itu, dalam seketika kemiskinan berkurang.”
Keinginan menggeber rancangan undang-undang itulah yang mendorong Firliana terjun ke politik praktis. Sebab, upayanya mengadvokasi rancangan itu sejak zaman sebagai aktivis sampai menjadi kader partai tidak mujarab. Rancangan peraturan itu tak kunjung masuk program legislasi nasional untuk segera dibahas parlemen. “Kayaknya memang harus gue sendiri yang masuk (DPR),” ucapnya, terbahak-bahak.
Isu perempuan telah lama menjadi perhatian Firliana. Jauh sebelum bergabung dengan Partai Demokrat, perempuan kelahiran Jakarta, 3 Juli 1977, ini telah malang-melintang di dunia aktivisme perempuan. Selepas lulus dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada 2001, dia berkarier sebagai peneliti di Pusat Kajian Wanita dan Gender di almamaternya.
Firliana banyak meneliti persoalan yang membelit perempuan, termasuk kaitan peredaran narkotik dengan perdagangan perempuan. Menurut dia, hingga kini hasil penelitiannya itu masih dijadikan acuan oleh Badan Narkotika Nasional. Lembaga bantuan hukum masyarakat juga kerap merujuk risetnya untuk memberikan pembelaan hukum kepada kurir-kurir perempuan yang dijebak bandar narkotik. Ia bahkan pernah menulis buku tentang orgasme berjudul The ‘O’ Project.
Firliana juga terlibat dalam gerakan advokasi bersama para aktivis perempuan lain selama 2003-2004. Mereka ketika itu mendatangi DPR untuk mendukung Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Turun ke jalan untuk berunjuk rasa juga pernah dilakoninya saat memprotes wacana pelarangan mengenakan rok mini di kawasan gedung DPR dan menolak poligami.
Firliana mendalami pemahaman tentang isu perempuan saat mendapat beasiswa untuk kuliah magister hukum bidang hak asasi manusia di Universiteit Utrecht, Belanda, pada 2004. Sepulang dari Negeri Kincir Angin, ia bergabung dengan Hivos Asia Tenggara. Di lembaga donor internasional inilah ia terlibat dalam berbagai program pemberdayaan perempuan.
Sekretaris Nasional Perempuan Mahardhika Mutiara Ika Pratiwi mengatakan Firliana turut membidani kelahiran Sekolah Feminis untuk Kaum Muda. “Kami bikin Sekolah Feminis yang kemudian didukung Hivos,” ujar Ika. Sejak 2009, sekolah yang mengajarkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan itu telah diselenggarakan di Yogyakarta, Makassar, dan Ternate. Alumnusnya ratusan orang dari kalangan mahasiswa dan organisasi kemasyarakatan.
Direktur Eksekutif Kapal Perempuan Misiyah menyebutkan organisasinya juga pernah bersinggungan dengan Firliana saat mengkaji masalah perdagangan perempuan dalam perdagangan narkotik. “Hubungan donor dan funding,” kata Misiyah. Firliana tak menampik informasi tentang uluran tangannya selama di Hivos. Lewat lembaga donor itulah dia berkesempatan terus peduli terhadap isu perempuan. “Gue waktu itu punya sedikit otoritas untuk nentuin organisasi mana yang bisa didukung,” tuturnya.
Saat bekerja di Hivos, Firliana juga berhubungan dengan Rumpun Tjoet Njak Dien, organisasi pendidikan dan advokasi pekerja rumah tangga di Yogyakarta. “Mereka cukup berhasil mengadvokasi, sampai ada peraturan daerah untuk perlindungan pekerja rumah tangga,” katanya. Hubungan ini terus dijaga saat Firliana masuk ke Partai Demokrat pada 2010 dan setahun kemudian mundur dari Hivos.
Selama menjadi kader Demokrat, Firliana menjembatani Rumpun Tjoet Njak Dien dengan partainya di DPR. Rumpun saat itu telah membentuk Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga untuk menyokong RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT). Partai Demokrat turut mendukung rancangan tersebut. “Kalau mau mengatasi kemiskinan, lu mesti menangani kemiskinan perempuan. Salah satunya dengan mengurus PRT,” ucapnya.
Firliana Purwanti (kedua kiri) dalam diskusi “Pengabaian Negara Atas Identitas Gender
dan Orientasi Seksual sebagai Hak Asasi Manusia” di Jakarta, April 2011. TEMPO/M Taufan Rengganis
Ketertarikan Firliana terhadap isu hak asasi manusia bermula pada era Orde Baru. Dia masih duduk di bangku sekolah menengah atas di Valley High School, Albuquerque, New Mexico, Amerika Serikat, pada 1995, saat membaca sebuah buku yang membetot perhatiannya. Buku berjudul Night karangan Eliezer Wiesel, peraih Hadiah Nobel Perdamaian, itu mengisahkan Holocaust.
Firliana, yang saat itu mengikuti program pertukaran pelajar Sekolah Menengah Atas Negeri 68 Jakarta, terperenyak mengetahui kekejaman Nazi Jerman membantai jutaan orang Yahudi yang dikisahkan Wiesel, penyintas tragedi tersebut. “Masih SMA dan terekspos cerita penyiksaan dan penghapusan satu ras tertentu itu buat gue luar biasa dan sangat berpengaruh,” tuturnya.
Tiga tahun kemudian, Orde Baru sendiri yang mengagetkan Firliana lewat tragedi pemerkosaan massal saat reformasi. Firliana masih kuliah di Universitas Indonesia saat ia membaca laporan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan tentang pelanggaran hak asasi manusia dalam peristiwa tersebut. “Gue benar-benar kaget. Ternyata negara gue melakukan hal seperti yang gue baca waktu SMA,” ujarnya.
Tragedi pemerkosaan Mei 1998 membuat mata Firliana terbelalak. Perbincangannya dengan aktivis perempuan dan hak asasi manusia, Nursyahbani Katjasungkana, tentang peristiwa itu telah mengubah pemikirannya. “Titik balik gue adalah pemerkosaan massal Mei 1998. Sejak itu, gue gak pernah berpaling dari isu perempuan,” kata Firliana.
Firliana Purwanti (kedua kiri) dalam diskusi “Pengabaian Negara Atas Identitas Gender dan Orientasi Seksual sebagai Hak Asasi Manusia” di Jakarta, April 2011. TEMPO/M Taufan Rengganis
Namun tidak mudah bagi Firliana untuk menggeluti politik praktis. Meski begitu, ia mendapat dukungan penuh dari kolega sekaligus mentor politiknya di Partai Demokrat, Erma Suryani Ranik. “Saya bilang, jangan terlalu banyak teori. Berjuang untuk rakyat menjadi seorang legislator bisa membawa perubahan,” ucap Erma.
Erma merekomendasikan Firliana maju dari daerah pemilihan Kalimantan Barat II, yang baru dibentuk dalam pemilihan umum tahun ini. Dukungan Erma bukan tanpa persiapan. Perempuan 43 tahun yang menjabat Wakil Ketua Komisi Hukum DPR ini kandidat inkumben dari daerah pemilihan Kalimantan Barat. Sejak setahun lalu, ia telah mengajak Firliana mengikuti kegiatannya saat bertemu dengan konstituen. Ini dilakukan agar Firliana mengenal permasalahan di lapangan.
Menurut Erma, daerah pemilihan Firliana cukup unik. Tiga dari lima kabupaten di sana—Kapuas Hulu, Sanggau, dan Sintang—adalah kawasan perbatasan. Ketiganya masih masuk kategori daerah tertinggal. “Isu-isu kesehatan, pendidikan, dan banyak isu lain sangat melekat dengan isu perempuan. Firli bisa masuk di sini,” ujarnya.
Firliana kini menghadapi tugas berat. Apalagi dia satu-satunya dari empat kader Demokrat di daerah pemilihan yang “diimpor” dari Jakarta. “Saya lihat balihonya, katanya dia aktivis perempuan. Tapi saya belum kenal,” kata Arsinah, Direktur Anak Bangsa, lembaga swadaya masyarakat di Kecamatan Entikong, Sanggau.
Tapi Firliana pantang surut. Apalagi perempuan yang bekerja di Kedutaan Besar Selandia Baru sejak 2011 ini bertugas mengurusi program peningkatan kapasitas kader perempuan di partainya. “Gue harus nyobain politik praktis biar gue punya otoritas untuk ngomong politikus perempuan beneran itu seperti apa,” ujar Firliana.
Edisi : 9 Maret 2019
Firliana Purwanti. TEMPO/M Taufan Rengganis
Laporan Khusus
Sumber : https://majalah.tempo.co/read/157259/diguncang-peristiwa-mei-1998?read=true