"VOX POPULI VOX DEI" Suara Rakyat adalah Suara Tuhan.

Demokrasi Perlahan Mati, tetapi Kita Masih Ongkang-ongkang Kaki Oleh Daniel Winarta

Fakultas Hukum Universitas Indonesia > Berita > Demokrasi Perlahan Mati, tetapi Kita Masih Ongkang-ongkang Kaki Oleh Daniel Winarta

Demokrasi dikikis secara perlahan dan sering kali tak kita rasakan. Demokrasi perlahan mati, tetapi kita tak menyadari.

Hari-hari ini kita melihat demokrasi tengah memakan dirinya sendiri. Di saat bersamaan, menurut Survei Litbang Kompas, kepuasan terhadap kinerja pemerintahan Presiden Joko Widodo naik menjadi 75,6 persen. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Tom Ginsburg dalam tulisannya ”Democratic Backsliding and the Rule of Law” menyatakan, demokrasi itu terkikis perlahan, bukan ujug-ujug hancur ditelan bumi. Setidaknya terdapat lima faktor utama bagi terkikisnya demokrasi. Pertama, usulan amandemen konstitusi untuk mengonsolidasikan kekuasaan. Kedua, pelemahan terhadap sistem check and balances dari cabang kekuasaan lainnya.

Ketiga, merusak negara hukum dan institusi pelindung negara hukum dengan melakukan konsolidasi kekuasaan di eksekutif. Keempat, adanya degradasi ruang publik dengan menipulasi informasi serta melakukan kontrol terhadap pers dan akademisi. Kelima, yang terakhir, dan terjadi baru-baru ini, memanipulasi pemilu.

Kelima tahap tersebut bisa terjadi berbarengan ataupun terpisah-pisah. Apakah pengikisan demokrasi terjadi di Indonesia?

Pertama, masih lekat pada ingatan kita bagaimana pada 2022, kisruh mengenai wacana amandemen konstitusi terkait masa jabatan presiden yang digaungkan oleh dua menteri Jokowi, yaitu Luhut Binsar Pandjaitan dan Airlangga Hartanto. Jokowi pun tidak menolak, ia menilai bahwa usulan penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden adalah bagian dari demokrasi. Benarkah demikian?

Kedua, oknum-oknum perusak demokrasi akan menghancurkan konsep check and balances. Caranya ialah dengan merusak konsep pengawasan dari cabang kekuasaan yudisial. Pada September 2022, Hakim Aswanto dicopot dari jabatannya sebagai Hakim Mahkamah Konstitusi (MK).

Pencopotan ini dilakukan menindaklanjuti hasil rapat Komisi III DPR yang menyatakan bahwa penggantian Aswanto disebabkan oleh kinerjanya yang mengecewakan kendati sering menganulir produk undang-undang, misalnya Undang-Undang Cipta Kerja yang beliau nyatakan inkonstitusional bersyarat. Pencopotan dan penggantian Aswanto dengan Guntur Hamzah juga dilakukan secara melawan hukum karena tidak sesuai prosedur dan tidak transparan serta partisipatif sebagaimana diamanatkan UU MK.

Ketiga, merusak negara hukum dan institusi penjaganya. Institusi utama penopang negara hukum adalah lembaga penegak hukum. Melalui Revisi UU KPK pada 2019, misalnya, KPK dilemahkan. Menjelang Pemilu 2024, KPK dijadikan alat bagi kekuasaan untuk melakukan intervensi guna menakut-nakuti lawan politik.

Beberapa kepala daerah yang sempat diperiksa KPK menjelang Pemilu 2024 langsung beralih mendeklarasikan dukungan kepada Prabowo-Gibran dalam perhelatan Pemilu 2024. Belum lagi upaya-upaya mencegat oposisi dengan kasus hukum, sebagaimana Ketua KPK yang dikabarkan ”memaksakan” kasus Formula E. Penegakan hukum di Indonesia sudah sering kali menjadi alat bagi penguasa untuk mengontrol lawan politik.

Keempat, degradasi ruang publik. Mitos seperti bahwa Presiden adalah netral jelas-jelas adalah upaya penguasa untuk menguasai ruang publik dengan kebenaran versi penguasa. Bahkan kini, adanya RUU Penyiaran yang melarang jurnalisme investigasi serta pasal-pasal karet dalam UU ITE secara nyata berniat membutakan masyarakat dari kebenaran yang dihasilkan melalui produk-produk pers. Kebebasan pers diberangus.

Menjelang Pemilu 2024, KPK dijadikan alat bagi kekuasaan untuk melakukan intervensi guna menakut-nakuti lawan politik.

Akademisi juga diberi beban luar biasa oleh pemerintah perihal administratif. Karenanya, akademisi berada dalam genggaman kekuasaan pemerintah. Misalnya saja melalui kebijakan pemilihan rektor pada perguruan tinggi negeri yang suara tersebesarnya ditentukan pemerintah.

Terakhir, memanipulasi pemilu. Kecurangan pemilu bisa kita lihat dari berbagai aspek. Bagaimana terdapat intervensi kekuasaan pada Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyebabkan MK mengubah aturan batas usia capres/cawapres yang memungkinkan Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres pada Pilpres 2024 dan akhirnya memenangkan Pilpres 2024.

Dalam putusan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) oleh Mahkamah Konstitusi terdapat tiga dissenting opinion yang memberi kita petunjuk mengenai bagaimana ada kecurangan yang menjadi catatan. Putusan PHPU ini menjadi bukti bahwa terdapat catatan terhadap berjalannya Pilpres 2024, misalnya berkenaan dengan politisasi pembagian bantuan sosial serta adanya ketidaknetralan aparat penegak hukum dan penyelenggara negara.

Demokrasi telah dikikis. Pemilu, MK sebagai bagian dari peradilan, dan lembaga penegak hukum adalah bagian dari instrumen demokrasi, yang fungsinya adalah menjaga demokrasi sebagai bagian yang integral dari negara hukum. Namun, melalui mekanisme demokrasilah, rezim yang despotik meneguhkan kekuasaan dan mengikis demokrasi secara perlahan-lahan. Inilah yang disebut paradoks demokrasi. Prosesnya sering kali tidak kita rasakan. Karena itu, hal ini disebut pengikisan. Demokrasi perlahan mati, tetapi kita masih ongkang-ongkang kaki.

Tidak heran, Socrates sudah mengkritik demokrasi sejak ribuan tahun lalu. Mengibaratkan dengan suatu kapal yang ingin menuju tujuan tertentu, demokrasi berarti memilih kapten kapal. Bukan kapten yang kompeten yang akan terpilih, melainkan ia yang populer, persuasif, dan menjanjikan ”hal baik” kepada penumpang, makan siang gratis misalnya.

Itu bukan sepenuhnya salah penumpang kapal. Sebab, untuk mengetahui apa itu kompetensi yang harus dimiliki oleh kapten kapal, mereka harus tahu setidaknya bagaimana kapal bekerja. Artinya, demokrasi dengan tingkat kesadaran masyarakat yang rendah dan abai terhadap ilmu pengetahuan akan hancur dengan sendirinya.

Churchill juga mengkritik, ia menganggap bahwa cara terbaik untuk membuat argumen menolak demokrasi adalah dengan bercakap-cakap lima menit bersama pemilih mayoritas. Artinya, demokrasi tanpa proses pendidikan politik kewargaan sama dengan kesia-siaan.

Lalu kita harus apa? Jane Addams mengungkapkan, ”The cure for the ills of democracy is more democracy.” Obat untuk demokrasi yang sakit adalah lebih banyak demokrasi. Salah satu langkah sederhana untuk menghalau ini adalah membuat kehidupan ini menjadi demokratis.

Churchill pernah pula mengatakan, ”Democracy is the worst form of goverment – except for all those other forms that have been tries.” Maka, solusinya bukan berpindah pada bentuk lain. Sebab, sekalipun bentuk pemerintahan paling buruk, demokrasi tetap lebih baik dari sistem lain yang pernah atau akan dicoba.

Jadi, barangkali kita sebagai rakyat perlu mentransformasikan diri dan mengingat nilai-nilai republik dengan tetap dijaga oleh hukum res publica, yaitu kepentingan publik. Maka, dengan semangat ini, kesadaran sosial bahwa republik ini adalah milik bersama menjadi penting untuk menjaga demokrasi. Hal ini penting untuk menjadikan demokrasi tidak berubah dan memunculkan tirani.

Daniel WinartaMahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Sumber: https://www.kompas.id/baca/opini/2024/07/05/demokrasi-perlahan-mati-tetapi-kita-masih-ongkang-ongkang-kaki

About the author

➖ Kampus UI Depok Jl. Prof. Mr. Djokosoetono, Kampus FHUI Gedung A Depok 16424, Jawa Barat Telepon (021) 7270003, 7863288 Faks (021) 7270052. E-mail: humas-fh@ui.ac.id & lawschool@ui.ac.id ... ➖ Kampus UI Salemba Gedung IASTH Lt. 2, Jl. Salemba Raya No.4, Jakarta 10430 Tel : (021) 31909008 Faks : (021) 39899148
Humas FH UI