Namanya Novela Nawipa. Secara umum, kesaksiannya dalam sengketa Pemilihan Presiden 2014 di Mahkamah Konstitusi mendatangkan banyak reaksi, positif maupun negatif. Pernyataannya di atas, yang mungkin tidak ia sadari, merupakan kesaksian terpenting dengan makna yang dalam. Sayangnya kesaksian yang ini justru luput dari perhatian kita.
Prabowo-Hatta sebagai pemohon dalam sengketa pilpres mengajukannya sebagai saksi mandat tingkat TPS Kampung Awaputu. Dengan dialek yang kental, ia menjawab secara tegas dan penuh keyakinan setiap pertanyaan Hakim Konstitusi. Ketika salah dalam menjawab, ia berdalih bahwa ia hanyalah manusia yang bisa silap.
Media massa mencatat bahwa kesaksiannya membawa suasana berbeda. Ada yang menganggap kesaksiannya sebagai dagelan belaka. Ada juga yang yang menilainya sebagai usaha buang-buang waktu dari pemohon agar energi Hakim Konstitusi terkuras.
Atensi kita pun segera tertuju untuk mencari tahu latar belakangnya. Ada yang simpati, tapi banyak juga yang antipati. Secara politik ia partisan. Ia mengenyam pendidikan tinggi, dan celik informasi. Fakta ini tertuju untuk meruntuhkan kredibilitas Novela sebagai saksi, yang menurut penuturannya “dari gunung”.
Terkait pemeriksaan saksi, baik Novela maupun saksi-saksi pemohon lainnya, ada satu hal yang perlu kita sadari. Salah satu prinsip utama dalam hukum acara, yakni aturan dalam bersengketa di pengadilan, adalah klaim atau dalil harus terbukti. Prinsip ini berlaku untuk semua jenis sengketa, termasuk sidang pencurian ayam. Pemohon mengklaim ada kecurangan secara terstruktur, sistematis, dan masif dalam pilpres. Untuk membuktikan klaim tersebut, mereka mengajukan saksi. Persidangan akan menyaksikan apakah klaim pemohon didukung oleh bukti yang sah atau tidak.
Secara hukum tidak ada yang salah dengan kesaksian Novela. Apakah pemohon membuang-buang waktu? Mungkin, tapi undang-undang memberikan mereka hak untuk memprotes pelaksanaan pilpres ke MK. Apakah Novela, dan saksi pemohon lainnya, pantas bersaksi? Undang-undang memperbolehkannya, dan terbukti MK memanggil mereka.
Apakah kesaksian Novela, dan saksi lainnya, benar? Mahkamah Konstitusi yang sepenuhnya berhak menilai itu. Yang jelas, prinsip utama dalam bersaksi adalah menyatakan apa yang ia lihat, dengar, dan alami sendiri. Kecuali diminta oleh hakim, saksi tidak boleh beropini.
Lalu bagaimana bila ternyata Novela telah berbohong? Anggota Komisi Pemilihan Umum Provinsi Papua, Beatrick Wanane, membantah kesaksian Novela bahwa di Paniai tidak ada pilpres, dan menyatakan terdapat suara sah: 7.662 untuk Prabowo dan 82.970 untuk Jokowi. Jika Novela bersaksi dusta, seperti saran mantan Hakim Konstitusi Harjono, KPU dapat melapor ke kepolisian. Masalah selesai.
Selain bersaksi untuk kepentingan pemohon, Novela sesungguhnya memberikan kesaksian lain untuk kita semua. Kesaksian Novela ini menunjukkan dengan gamblang dua hal.
Pertama, ketidakberwibawaan Hakim Konstitusi. Berwibawa adalah karakter multak yang harus dimiliki oleh Hakim Konstitusi. Undang-undang MK menyatakan Hakim Konstitusi adalah “negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan”. “Hakim Konstitusi harus bersikap penuh wibawa dan bermartabat (dignity)”, demikian penerapan dari prinsip ketujuh Sapta Karsa Hutama (kode etik Hakim Konstitusi), yakni Kearifan dan Kebijaksanaan. Namun, terlepas dari itu, kewibawaan Hakim Konstitusi adalah tumpuan dari keseluruhan proses persidangan.
Ketua MK, Hamdan Zoelva, tidak menyimak dengan baik jawaban Novela. Ini nyata dari rangkaian pertanyaannya yang tidak relevan setelah jawaban Novela di awal. Rangkaian jawaban Novela membuat Ketua MK kehilangan kata-kata, dan beliau pun mengakhiri pemeriksaan sambil terkekeh.
Suara tergelak Hakim Konstitusi, Patrialis Akbar, jelas terdengar sebelum beliau memulai giliran. Kembali Novela membuat Hakim Konstitusi tidak berkutik. Seperti halnya Ketua MK, beliau hanya bisa melontarkan pertanyaan-pertanyaan sempit.
Melanjutkan suasana santai yang tercipta, Wakil Ketua MK, Arief Hidayat, bertanya. Namun, pertanyaan-pertanyaan beliau tidak mendapatkan jawaban seharusnya dari Novela. Beliau pun memilih menyudahi pemeriksaan. Dengan terbahak-bahak beliau berkata, “Saya bisa kacau ini kalau saya teruskan.” Entah apa maksud pernyataan beliau, tapi Novela menanggapinya dengan tepat, “Bapak kacau, saya lebih kacau pak.”
Dari perspektif hukum, kekacauan jelas terlihat. Novela tampil sebagai bintang, bukan karena bobot kesaksiannya, tapi karena ia yang justru menguasai proses pemeriksaan. Ia jungkir-balikkan kewibawaan persidangan yang demikian penting itu. Bukannya berusaha mengendalikan Novela, Hakim Konstitusi memilih menyudahi pemeriksaan. Bukannya berusaha menertibkan Novela, Hakim Konstitusi malah terkekeh dan terbahak-bahak.
Sulit untuk kita temukan kewibawaan di sini. Oleh karena itu, Novela benar jika Hakim Konstitusi kacau dalam berperilaku, maka ia, yang orang biasa, tidak salah untuk perilaku lebih kacau. Tidak pelak publik menilai pemeriksaan ini sebagai dagelan belaka. Dalam dagelan ini, Novela menjadi sang protagonis, dan Hakim Konstitusi aktor pendukung. Ia tampil sesuai tuntutan skenario (baca: pertanyaan yang diajukan Hakim Konstitusi). Hasil akhirnya adalah penampilan jenaka. Apakah ada fakta hukum yang terbukti? Wallahualam.
Dalam seni pertunjukan, penonton (baca: publik) umumnya mengasosiasikan diri dengan protagonis. Oleh karena itu, Novela adalah alter ego kita. Penilaian publik tentang pemeriksaan ini sebenarnya menggambarkan pandangan kita akan MK. Sialnya ini bukan lakon hiburan, tapi peristiwa serius menyangkut masa depan bangsa. Tragisnya, justru Hakim Konstitusi yang telah tidak menjalankan peran seharusnya.
Terlepas dari gelak tawa Hakim Konstitusi, Novela menutup pemeriksaan dengan mengatakan, “Terima kasih Yang Mulia.” Amboi ia masih meninggikan posisi mereka. Sejatinya ini adalah pengharapan kita juga akan peran mulia hakim dalam menegakkan hukum.
Kedua, kerinduan akan terwujudnya negara hukum. Secara sederhana “negara hukum” adalah negara yang menjadikan hukum sebagai sarana keharmonisan hidup bersama. “Negara Indonesia berdasar atas hukum (Rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtsstaat).” Demikian bunyi Penjelasan tentang Undang-Undang Dasar Negara 1945 (Naskah Asli).
Dari perspektif negara hukum, penyelesaian sengketa pilpres ke MK adalah suatu langkah penting yang harus kita sambut baik. Tambahan lagi, sejauh ini kekhawatiran akan kerusuhan terkait pilpres tidak terbukti. Sebenarnya sekarang tengah berlangsung pendidikan politik dan hukum yang penting untuk Indonesia.
Sebagai bangsa kita belajar menyelesaikan masalah, bukan memendam masalah. Menyelesaikan sengketa dengan otak, bukan otot; dengan dasar hukum, bukan dasar kasihan; secara terbuka untuk publik, bukan bisik-bisik di ruang tertutup.
Setelah 69 tahun merdeka, kita masih terus belajar untuk menjadi negara hukum. Dalam proses belajar, wajar terjadi banyak kesalahan. Gerutu sana-sini tidak soal, asal kita mau belajar dari kesalahan, dan memperbaiki diri di kesempatan berikutnya.
Novela telah bersaksi. Persidangan di MK harus kita lihat dalam konteks usaha mewujudkan negara hukum. Masyarakat dan penegak hukum harus mengambil peran yang benar. Persepsi publik atas kesaksian Novela menggambarkan pandangan kita tentang MK dan ke(tidakber)wibawaannya. Inilah tantangan kita: “Yang Mulia keruan, Indonesia lebih keruan”.
Yu Un Oppusunggu
Dosen FH UI
Dari Selasar.com Selasa, 19 Agustus 2014