Tantangan Reformasi Kejaksaan
Oleh Choky Ramadhan
Ketua Harian MaPPI FHUI (Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia)
Pada 22 Juli 2005, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh menggagas agenda pembaruan Kejaksaan. Gagasan itu menjadi tunas Reformasi Birokrasi Kejaksaan. Setelah 11 tahun kemudian, masih banyak catatan dan belum memenuhi harapan publik.
Sejak saat itu dan hingga kini, publik tetap mengharapkan jaksa yang profesional dan berintegritas dalam menangani perkara. Harapan publik kembali pupus paska tertangkapnya jaksa di Jawa Barat. Ironisnya, jaksa korup itu sedang menangani perkara korupsi.
Sebanyak 812 pengaduan disampaikan ke Komisi Kejaksaan juga karena perilaku tercela, indisipliner, dan tidak profesional di tahun 2015. Skandal penjualan barang bukti sebesar Rp. 5 miliar di NTT sebagai contoh rendahnya profesionalitas jaksa.
Setelah lebih dari satu dekade, reformasi belum dapat membangun birokrasi yang bersih, efisien, efektif, produktif, transparan, akuntabel, dan melayani masyarakat. Beberapa permasalahan dan tantangan yang mengganjal berikut perlu mendapat perhatian khusus dari Jaksa Agung yang genap 2 tahun menjabat pada 20 November 2016.
Mutasi dan Promosi
Mutasi dan promosi di Kejaksaan selalu menjadi sorotan baik di internal maupun publik. Selama setahun terakhir, pemberitaan mengenai carut marutnya pelaksanaan mutasi promosi di Kejaksaan kembali muncul.
Salah satu contohnya penempatan jaksa yang aktif di KPK, Yudi Kristiana, pada struktural Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Kejaksaan menjadi tanda tanya publik. Terlebih jika didasarkan pada prestasi Yudi mengungkap perkara korupsi yang besar, dan masa aktifnya di KPK yang masih 2 tahun lagi.
Sebagai produk Reformasi Birokrasi Kejaksaan, Peraturan Jaksa Agung No. 49 tahun 2011 tentang Pengembangan Karir Pegawai Kejaksaan masih memiliki celah (loopholes) yang memberikan diskresi kepada pimpinan untuk melakukan mutasi dan promosi secara subyektif.
Salah satunya, mutasi-promosi harus berdasarkan “prestasi dan penilaian kinerja”. Jaksa Agung diamanatkan menetapkan aturan penilaian kinerja. Akan tetapi, Jaksa Agung belum menjalankan amanat dengan menerbitkan aturan terkait penilaian kinerja lebih. Oleh karenanya, acuan prestasi dan peniliaian kinerja menjadi kurang akuntabel.
Penilaian kinerja yang terukur dan obyektif merupakan elemen penting reformasi birokrasi. Indeks penilaian kinerja jaksa (IPKJ) sayangnya belum optimal digunakan saat ini sehingga pemberian penghargaan dan sanksi dirasa belum adil.
Selain itu, Peraturan Jaksa Agung (PERJA) terkait pengelolaan pegawai juga memberikan diskresi Pejabat Pembina Kepegawaian untuk mengecualikan segala persyaratan dalam mutasi dan promosi. Pejabat yang dimaksud ialah Jaksa Agung, Wakil Jaksa Agung, dan Pejabat eselon I di Kejaksaan.
Peraturan kepegawaian Kejaksaan sudah saatnya diganti dengan meningkatkan transparansi dan akuntablitas. Dengan demikian, Kejaksaan dapat memperoleh sumber daya manusia yang profesional, kompeten, sekaligus berintegritas tinggi.
Pengawasan
Potensi korupsi semakin kecil ketika pengawasan ditingkatkan. Formula itu telah menjadi resep dasar pencegahan korupsi. Dengan terungkapnya berbagai skandal korupsi jaksa, pengawasan Kejaksaan perlu berbenah diri.
Pengawasan harus dilakukan dengan melibatkan institusi lain seperti Komisi Kejaksaan, Ombudsman, atau KPK. Menggandeng institusi lain dapat mengembalikan kepercayaan publik terhadap pengawasan internal Kejaksaan.
Publik kembali ragu dan tidak percaya ketika tim pengawas internal memeriksa jaksa di Jawa Barat yang terjerat korupsi. Tim itu justru sekedar mengklarifikasi skandal korupsi dan belum melakukan bersih-bersih menyeluruh.
Tim tersebut seharusnya meningkatkan pengawasan internal yang melekat pada pimpinan satuan kerja. Pengawasan melekat harus dapat mencegah dan menindak secara dini jaksa tidak berintegritas. Terendusnya jaksa nakal oleh institusi luar seperti KPK mengindikasikan kurang optimalnya kerja pengawasan melekat.
Berdasarkan peraturan di Kejaksaan, tim pengawasan internal juga dapat menyidik dugaan korupsi jaksa. Akan tetapi, tim tersebut ironisnya enggan menggunakan kewenangannya untuk menyidik rekan satu korps. Kondisi ini membuat KPK turut serta dalam menyeret jaksa nakal dan menjeratnya dengan pasal korupsi.
Kejaksaan dan Komisi Kejaksaan juga belum sepenuhnya berkolaborasi menindak jaksa nakal. Majelis Kehormatan Jaksa bentukan kedua institusi tersebut jarang sekali memeriksa jaksa nakal. Hal itu berbeda dengan Majelis Kehormatan Hakim bentukan Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY).
Institusi Ombdusman juga perlu diajak untuk memastikan tidak adanya maladministrasi dan pelayanan yang buruk. Sedangkan KPK seharusnya jadi mitra strategis mencegah dan mencegah dan menindak korupsi. Selain itu, Komisi Kejaksaan mutlak perlu terlibat dalam penegakan etik jaksa.
Solusi jangka pendek, Jaksa Agung perlu menunjuk Wakil Jaksa Agung definitif. Posisi ini sangat krusial karena sebagai ketua tim pengarah reformasi Kejaksaan. Orang yang reformis diperlukan untuk merencanakan, melaksanakan, dan mengawasi reformasi di tubuh Adhyaksa.
Pemilihan pejabat tersebut merupakan momen krusial reformasi birokrasi Kejaksaan untuk mematuhi UU Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Aturan ini membuka peluang pihak eksternal Kejaksaan menduduki jabatan tertinggi kedua Kejaksaan. Tantangan lelang jabatan lainnya adalah pembentukan tim seleksi yang beranggotakan tidak hanya internal Kejaksaan.
Setelah 2 tahun menjabat belum menjalankan UU ASN sepenuhnya, Jaksa Agung diharapkan melaksanakan lelang jabatan sebagian besar jabatan struktural dengan mempriortiaskan transparansi dan akuntabilitas sesuai prinsip utama reformasi birokrasi.
Opini ini di juga diterbitkan di Harian Jawa Pos (Rabu, 16 November 2016).