SEPANJANG 2022 menjadi tahun penuh hiruk pikuk bagi pemilu dan demokrasi Indonesia. Di tahun ini isu penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden berembus kencang. Pengusungnya adalah sejumlah menteri di kabinet Jokowi yang di antaranya merupakan ketua umum dan pucuk pimpinan partai berpengaruh.
Jika pada 2021 hal itu sebatas wacana yang dikemas malu-malu, pada 2022 para pendukungnya makin terbuka dan terang-terangan bersikap. Demi menunda pemilu, berbagai alasan mereka kemukakan. Mulai untuk menjaga kondusivitas politik, mempertahankan pertumbuhan ekonomi, biaya besar pemilu yang akan membebani keuangan negara, hingga pemulihan dari pandemi Covid-19. Meskipun belakangan Presiden Jokowi menyatakan tunduk pada konstitusi dan meminta penundaan pemilu tak disuarakan lagi.
Pada akhirnya, 2022 pula yang menjadi penanda dimulainya rangkaian persiapan Pemilu 2024. Di awal tahun, seleksi KPU dan Bawaslu periode 2022–2027 tuntas dilaksanakan. Mengantarkan tujuh orang anggota KPU dan lima orang anggota Bawaslu. Mereka mengemban tugas melaksanakan Pemilu Serentak 2024. Pemilu satu hari terbesar di dunia (the biggest one-day elections in the world). Di tahun yang sama, meski berbeda bulan, juga akan diselenggarakan pilkada nasional di seluruh wilayah Indonesia.
Rentetan Kontroversi
Bila kita tengok ke belakang, seleksi penyelenggara pemilu tersebut tak terlepas dari rentetan kontroversi. Misalnya, nama-nama anggota dan bahkan ketua terpilih yang bocor sebelum uji kepatutan dan kelayakan ternyata sama persis dengan hasil yang diumumkan Komisi II DPR. Hal itu menjadi keprihatinan tersendiri mengingat penunjukan ketua dan anggota lembaga penyelenggara pemilu oleh aktor partisan (termasuk eksekutif dan legislatif) secara signifikan melemahkan independensi lembaga penyelenggara pemilu secara de facto (Toby James dkk, 2018).
Terlepas dari kontroversi seleksi, tahapan Pemilu 2024 resmi dimulai meskipun diawali tarik-ulur penentuan jadwal antara KPU, DPR, dan pemerintah. Sejarah mencatat, baru kali pertama penentuan jadwal pemilu begitu rumit dengan diwarnai tarik-menarik menyangkut lama durasi kampanye. Jadwal pemilu yang merupakan otoritas KPU kemudian menjadi keputusan politik yang pengumumannya dilakukan ketua DPR di gedung parlemen. Masa kampanye diputuskan selama 75 hari, jauh lebih pendek dibandingkan Pemilu 2019 yang berlangsung 6 bulan 3 minggu.
Di tengah dinamika tersebut, tahapan pemilu diluncurkan KPU pada 14 Juni 2022 dan termutakhir KPU telah pula menetapkan 17 partai politik peserta pemilu di tingkat nasional dan 6 partai politik lokal di Aceh yang akan berkontestasi pada Pemilu 2024. Serta saat ini masih tersisa Partai Ummat yang tengah berkutat dengan verifikasi ulang sebagai buah putusan sengketa proses yang mereka ajukan ke Bawaslu.
Tahapan verifikasi partai politik menjadi peserta pemilu juga diwarnai aroma tak sedap terkait adanya dugaan kecurangan dan manipulasi data dalam prosesnya. Tidak main-main, dugaan tersebut ditengarai melibatkan penyelenggara pemilu secara struktural di mana perintah justru diduga datang dari pimpinan KPU di tingkat nasional.
Dugaan pun berujung pengaduan pelanggaran kode etik ke DKPP dan pelaporan pelanggaran administrasi pemilu ke Bawaslu daerah oleh anggota koalisi masyarakat sipil kawal pemilu bersih. Anehnya, berbagai dugaan pelanggaran tersebut tidak ditemukan oleh Bawaslu dalam kerja-kerja pengawasan yang mereka lakukan. Bahkan, setelah kasus ramai menyeruak ke ruang publik, Bawaslu terkesan hanya menunggu datangnya laporan. Mereka tidak tergerak untuk mengambil langkah proaktif menindaklanjutinya sebagai temuan pengawasan pemilu yang notabene merupakan bagian dari kewenangan mereka.
Tahun 2022 juga dilalui dengan entakan luar biasa ketika hakim sekaligus Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Aswanto dicopot secara inkonstitusional oleh DPR. Kekuasaan kehakiman yang merdeka diposisikan sebagai perpanjangan tangan parlemen. Sehingga hakim konstitusi bisa diberhentikan sepihak ketika dianggap tak lagi sejalan dengan kepentingan parlemen. Situasi tersebut merupakan alarm bagi keadilan Pemilu 2024 mengingat MK adalah puncak penyelesaian masalah hukum pemilu, khususnya yang berkaitan dengan perselisihan hasil perolehan suara dan kursi para peserta pemilu.
Tak ayal, dinamika 2022 menyisakan kekhawatiran dan keraguan terhadap kredibilitas Pemilu 2024. Pertama, kekhawatiran Pemilu 2024 akan terus mendapatkan upaya penggagalan dan tidak bisa terselenggara sesuai jadwal karena pihak-pihak yang menginginkan penundaan pemilu akan memanfaatkan narasi kecurangan sebagai basis menunda pemilu.
Kedua, keraguan (meskipun) pemilu bisa terselenggara, pemilu berintegritas sulit diwujudkan karena pemilu jadi sebatas rutinitas dengan praktik kecurangan yang terbiarkan dalam pelaksanaannya. Tentu hal itu jadi dilema besar bagi masa depan pemilu dan demokrasi Indonesia.
Padahal, pemilu sudah seharusnya terlaksana satu paket sebagaimana kehendak Pasal 22E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, yaitu secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Pemilu yang periodik dan murni (periodic and genuine elections) bukan opsional, melainkan tujuan solid yang harus diwujudkan menyeluruh. Hal yang juga ditegaskan dalam Pasal 21 ayat (3) Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia bahwa kehendak rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah serta kehendak ini harus dinyatakan dalam pemilihan umum yang dilaksanakan secara berkala dan murni.
Tahun Konsolidasi
Tahun 2023 akan jadi tahun bagi tahapan-tahapan pemilu krusial, antara lain penataan daerah pemilihan (dapil); pencalonan anggota DPR, DPRD, presiden, dan wakil presiden; penetapan daftar pemilih tetap (DPT); serta dimulainya masa kampanye. Kontroversi akan terus berlanjut, terutama menyongsong pencalonan presiden dan wakil presiden yang baru akan berlangsung pertengahan Oktober 2023. Berbagai gejolak bisa muncul terkait siapa yang akan mendapatkan tiket partai atau gabungan partai sebagai calon di Pilpres 2024.
Riuh rendah soal lapor-melapor kampanye di luar jadwal akan terus meramaikan masa-masa menuju waktu kampanye yang resminya baru dimulai pada 28 November 2023. Hilir mudik survei elektabilitas dipastikan terus meramaikan 2023. Hal yang semestinya diimbangi tanggung jawab pendidikan politik secara berkesinambungan dan solid oleh partai politik maupun kandidat. Sehingga orientasi pemilih bukan hanya merujuk figur, tapi juga gagasan dan program sebagai pertimbangan utama dalam membuat keputusan pada pemberian suara 14 Februari 2024 kelak.
Tantangan mengawal dan memastikan Pemilu 2024 berlangsung tepat waktu dengan terpenuhinya asas pemilu bebas, adil, dan demokratis masih jadi pekerjaan rumah besar yang menuntut ketahanan stamina rakyat Indonesia. Jalan terjal yang harus dilalui agar demokrasi tak jatuh terjerembap berujung penyesalan. Oleh karena itu, 2023 harus jadi tahun berbenah dan konsolidasi yang lebih kuat bagi para pendukung konstitusionalisme dan demokrasi konstitusional. Tetap siaga dan waspada.
(*) TITI ANGGRAINI, Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Pengajar Pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI)