Sabtu, 14 Maret 2015
Pembentukan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI (UU Kejaksaan) didorong oleh adanya semangat reformasi. Pada masa itu, terdapat keinginan untuk merevisi Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan RI. Menurut Yusril Ihza Mahendra, saat terjadinya proses pembentukan UU Kejaksaan, banyak dari kalangan akademisi, aktivis LSM yang berkeinginan agar lembaga-lembaga penegak hukum menjadi independen. Setelah dibentuk, salah satu perubahan penting di dalam UU Kejaksaan adalah dijaminnya kemerdekaan lembaga Kejaksaan dalam melaksanakan fungsinya sebagai pentuntut umum. Setelah hampir sepuluh tahun UU Kejaksaan berlaku, terdapat rencana untuk memperbarui kembali Undang-Undang tersebut karena sudah tidak sesuai dengan kondisi ideal yang diharapkan melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) Kejaksaan.
Setelah 10 tahun pengundangan UU Kejaksaan, Kejaksaan RI mengalami beberapa perkembangan dan permasalahan. Pertama yang menyangkut tentang independensi Kejaksaan masih menjadi perdebatan karena kedudukannya yang berada di bawah Presiden. Muncul kekhawatiran apakah akan adanya intervensi terhadap Kejaksaan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai penuntut umum meskipun independensi Kejaksaan telah dijamin di dalam Undang-Undang Kejaksaan. Di dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kejaksaan, independensi Kejaksaan juga rawan akan adanya intervensi dari lembaga legistlatif ketika menjalankan kewenangan deponeering.
Kedua, pembahasan mengenai tugas dan wewenang Kejaksaan. Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan dipertegas kembali bahwa Kejaksaan merupakan lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan di bidang penuntutan. Undang-undang tersebut juga mengatur kewenangan Kejaksaan dalam melakukan penyelidikan untuk tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang. Hingga saat ini Kejaksaan diberikan kewenangan dalam menyelidiki tindak pidana khusus Hak Asasi Manusia (HAM) dan korupsi, di mana pelaksanaannya selalu mendapat sorotan dari masyarakat terutama LSM HAM dan anti-korupsi.
Ketiga dalam hal pengawasan Kejaksaan perlu dilihat bagaimana kinerja pengawasan Kejaksaan dalam mengawasi prilaku Jaksa. Dalam laporan Kejaksaan di tahun 2013, disebutkan Kejaksaan Agung melalui bidang pengawasan telah menjatuhkan sanksi terhadap 98 Jaksa yang melanggar kode etik, dimana 62 di antaranya terkena hukuman sedang dan berat. Selain itu, masih terdapat Jaksa-Jaksa yang terjerat praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), diantaranya Jaksa Cirus Sinaga, Jaksa Urip Tri Gunawan, Jaksa Dwi Seno Wijanarko, Jaksa Burdju, Jaksa Cecep dan terakhir tertangkapnya Kepala Kejaksaan Negeri Praya Subri yang ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dengan banyaknya jumlah pelanggaran yang dilakukan oleh Jaksa maka perlu dilihat sejauh mana kinerja pengawasan internal Jaksa terhadap kinerja dan prilaku Jaksa, apalagi setelah adanya UU No. 16 Tahun 2004 dibentuknya lembaga pengawasan eksternal dalam mengawasi prilaku Jaksa yaitu Komisi Kejaksaan. Pembentukan lembaga Komisi Kejaksaan menjadi suatu harapan baru agar sistem pengawasan Jaksa bisa lebih independen karena berada di luar struktur Kejaksaan.
Keempat pelaksanaan Reformasi Birokrasi Kejaksaan yang sangat berkaitan erat dengan status Jaksa di dalam UU Kejaksaan. Paska diundangkannya UU Kejaksaan, Kejaksaan melakukan program reformasi birokrasi yang beberapa diantaraya terfokus pada manajemen dan pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDM), seperti struktur keorganisasian, rekruitmen, mutasi, penilaian kinerja atau promosi. Status Jaksa saat ini merupakan Pegawai Negeri Sipil (PNS), namun ke depannya akan berubah seiring diberlakukannya peraturan baru yaitu UU No. 4 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Perubahan regulasi tersebut tentunya mempengaruhi pelaksanaan Reformasi Birokrasi Kejaksaan selanjutnya.
Melihat berbagai perkembangan dan tantangan tersebut, maka Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI-FHUI) akan menyusun buku berjudul “Bunga Rampai tentang Kejaksaan RI” yang isinya merupakan kompilasi tulisan terpilih. Buku tersebut berisikan evaluasi, gagasan, dan/atau rekomendasi terhadap Kejaksaan paska 10 tahun diundangkannya UU Kejaksaan yang diharapkan dapat digunakan sebagai referensi ilmiah pemangku kebijakan di antara aparat penegak hukum, akademisi, peneliti, LSM, instansi pemerintah serta DPR. Secara spesifik buku ini diharapkan juga dapat memberikan rekomendasi pada pembahasan RUU Kejaksaan. MaPPI-FHUI akan melakukan seleksi terhadap tulisan-tulisan yang akan dimasukkan ke dalam buku melalui kegiatan Call for Paper dan pada akhir kegiatan akan diselenggarakan bedah buku yang telah disusun.
Info selengkapnya silahkan kunjungi situsweb MAPPI-FHUI