Saat ini menjadi dosen bukanlah profesi idaman bagi orang pandai di Indonesia dan inilah malapetaka masa depan. Dosen menjadi obyek kebijakan yang terus berganti dan merugikannya karena intinya adalah penundukan dosen.
Cita-cita pendiri bangsa, seperti Mr Soepomo, agar universitas tidak tunduk kepada jawatan pemerintah, supaya bisa mengembangkan kepak sayapnya mengembalikan zaman keemasan Sriwijaya sebagai pusat pengetahuan mancanegara, telah diingkari.
Kebijakan terakhir yang meresahkan adalah Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 1 Tahun 2023 tentang jabatan fungsional dan angka kredit. Alasannya, beban kerja dosen harus ditambah supaya terintegrasi dengan organisasi. Apakah dosen selama ini tidak bekerja untuk organisasi? Kalau tidak, lalu untuk siapa?
Tugas utama dosen hari ini adalah melakukan kegiatan administratif pemerintahan. Ia wajib melaporkan kegiatannya setiap semester, dilampiri bukti dokumen, diunggah dalam aplikasi yang disediakan pemerintah, dan aplikasinya pun berganti-ganti. Pemenuhan capaian kuantitatif semata itu akan menentukan apakah tunjangan dosen tetap dibayar atau dihentikan.
Menjadikan dosen sebagai manusia birokrasi tak ubahnya menempatkan dosen sebagai buruh. Padahal, secara filosofis, universitas adalah lembaga khusus karena tugasnya memproduksi ilmu pengetahuan, tidak bisa disamakan dengan lembaga politik ataupun bisnis korporasi, dan harus terbebas dari kepentingan kekuasaan dan uang.
Menjadikan dosen sebagai buruh pemerintah melalui berbagai kebijakan sungguh merendahkan martabat dosen. Bahkan, ada universitas yang mewajibkan absen finger print. Apakah mereka tidak paham bahwa dosen bekerja tidak seperti pekerja kantor biasa, yang bisa beristirahat begitu sampai di rumah? Para dosen bekerja terus dan berpikir sepanjang 24 jam tentang persiapan kuliah, penelitian, dan publikasi yang sedang ditulisnya.
Universitas adalah gerakan moral. Dosen juga berkewajiban mengembangkan kebudayaan yang tak bisa dilepaskan dari keilmuan. Kebudayaan tidak sebatas seni, tetapi esensinya adalah sistem berpikir, sistem berpengetahuan agar manusia bisa bertahan menghadapi lingkungan alam, berelasi dengan manusia lain, dan hari ini berhadapan dengan teknologi kecerdasan buatan yang sangat masif dampaknya bagi kehidupan manusia. Maka, dosen berkewajiban turut memecahkan masalah berat dalam masyarakat. Ketika dosen bersuara mengkritik berbagai pihak yang diindikasi merusak nilai kemanusiaan, dan lingkungan hidup, ia tidak sedang berpolitik, tetapi melakukan kewajibannya sebagai bagian dari gerakan moral.
Kebijakan pendidikan tinggi berlaku seragam di seluruh Indonesia. Abai terhadap keberagaman geografis, ketimpangan sosial ekonomi wilayah universitas. Padahal, setiap universitas lahir dari kesejarahan, konteks geografi, struktur sosial budaya masyarakatnya masing-masing. Tampaknya demi penyeragaman dan memudahkan kontrol atas 4.500 universitas di seluruh Tanah Air, diberlakukan kebijakan yang sama persis.
Akibatnya, tidak lahir universitas sebagai center of excellence bidang-bidang ilmu yang khas dan kontekstual. Seharusnya universitas di Papua dan Kalimantan bisa jadi pusat pengembangan bidang-bidang kehutanan, perkebunan, atau universitas di Maluku dalam bidang kelautan dan perikanan yang hebat.
Akibat penyeragaman standardisasi, ilmuwan di banyak daerah tak bisa mempromosikan local knowledge masing-masing. Mereka bahkan harus bersaing dengan ilmuwan di Jawa. Tak heran, di wilayah Papua sebesar itu jumlah profesor bisa dihitung dengan jari, demikian pula di daerah lain. Secara ilmu pengetahuan, keadaan ini sudah merontokkan ketahanan wilayah Indonesia.
Menjadikan dosen sebagai manusia birokrasi tak ubahnya menempatkan dosen sebagai buruh.
Salah tafsir otonomi
Dosen juga menjadi obyek dari dampak kesalahan tafsir tentang universitas yang dilegalisasi dalam kebijakan. Terkait soal otonomi universitas, hari ini 21 universitas besar di Indonesia diberi status badan hukum otonom. Namun, otonomi ditafsirkan berbeda dengan gagasan pendiri bangsa, yang adalah kebebasan akademik sebagai roh para ilmuwan, ditopang tata kelola universitas yang baik. Pemerintah tidak mengintervensi, tetapi mendukung dan mendanai.
Kenyataannya, kebijakan otonomi universitas mengharuskan universitas mandiri secara finansial dan negara mengurangi subsidi. Ia harus bisa mendanai penyelenggaraan pendidikan (berkualitas) yang mahal, memiliki dan membayar dosen sendiri dengan semakin berkurangnya dosen berstatus aparatur sipil negara (ASN). Akibatnya, pendanaan universitas sangat tergantung uang kuliah mahasiswa berkisar 70-80 persen. Lalu, universitas menerima mahasiswa sebanyak-banyaknya dengan pertambahan jumlah dosen yang minim.
Universitas kehilangan arah. Umumnya universitas di Indonesia termasuk yang berstatus otonom, tetap menjadi teaching university. Sementara penilaian pemerintah terhadap universitas ditetapkan berdasarkan kemampuan menjadikan diri sebagai world class research university, meraih peringkat papan atas dunia. Para rektor sekadar menjalankan kontrak kinerja dengan Mendikbudristek, mengerahkan segala cara melalui dekan, selanjutnya menekan dosen untuk mengajar mahasiswa yang semakin banyak, sambil menghasilkan publikasi internasional setara negara-negara yang pendidikan tingginya diurus baik.
Apakah dampak meningkatnya artikel jurnal terakreditasi Scopus bagi bangsa ini? Apakah ada korelasinya dengan kemajuan masyarakat, tumbuhnya bela rasa di antara sesama anak bangsa, dan juga tumbuhnya inovasi budaya yang mengesankan?
Hari ini megaskandal korupsi, pembunuhan, dan kekerasan keji, termasuk terhadap perempuan dan anak, penipuan masif dana masyarakat, pengabaian kerusakan akibat perubahan iklim, dan perang politik identitas di kalangan elite politik terus terjadi.
Di mana para ilmuwan?
Defisit guru besar
Universitas kita kekurangan guru besar. Hanya ada 5.576 atau 2,3 persen guru besar di antara 236.255 dosen berstatus ASN dan sebanyak 83.881 (35,5 persen) dosen tidak punya jabatan fungsional (Kemenristekdikti, 2021). Padahal, guru besar adalah orang paling bertanggung jawab sebagai pemegang tenure keilmuan. Bersama dengan kolega muda dan mahasiswa pascasarjana, guru besar bertanggung jawab melakukan riset, publikasi, dan mencari dana penelitian, yang semuanya itu bertujuan membesarkan universitasnya.
Banyak program studi, khususnya ilmu sosial-humaniora, tidak memiliki guru besar sejak lama. Ilmu pengetahuan mati ketika guru besarnya pensiun. Kekurangan guru besar dan lektor kepala ini dapat diartikan kurang tersedianya dana riset dengan jumlah memadai dan mudah diakses.
Dana riset umumnya hanya cukup untuk riset-riset kecil dan berjangka pendek. Hampir tidak ada basic research, yang berkesinambungan dan didanai cukup, karena temuan riset yang satu membutuhkan riset berikutnya untuk bisa menghasilkan temuan berdampak. Dengan keadaan ini, tidak akan pernah lahir peraih Nobel dari Indonesia.
Banyak program studi, khususnya ilmu sosial-humaniora, tidak memiliki guru besar sejak lama.
Persoalan kekurangan guru besar yang tidak terpecahkan diatasi dengan kebijakan memudahkan pemberian guru besar kehormatan. Tampak tidak dipahami bahwa tugas utama guru besar adalah mengajar. Kegurubesaran “cuma“ jabatan akademik dalam ilmu tertentu, bukan gelar akademik tertinggi (doctorship), dan akan berakhir ketika penyandangnya pensiun.
Melalui gelar profesor kehormatan, seseorang yang tidak mengajar, tidak pernah riset dan menulis disertasi, bisa menjadi guru besar. Namun, yang memanfaatkan justru para pejabat publik, politikus, dan bukan periset, budayawan, atau ilmuwan di luar universitas.
Sementara itu, ribuan dosen yang sudah mengabdi puluhan tahun, mengajar semakin banyak kelas dan mahasiswa, terbatas kesempatannya untuk riset dan membaca buku, akhirnya sulit untuk menjadi guru besar atau naik pangkat menjadi lektor kepala.
Minim kolaborasi
Kelemahan umum universitas di Indonesia adalah ketiadaan kolaborasi dengan industri. Akibatnya, sumber dana memang cuma dari masyarakat (uang kuliah). Tidak pernah terjadi hubungan triple Helix, apalagi N Helix yang saling menguntungkan dengan industri, pemerintah, dan berbagai elemen masyarakat luas. Bahkan industri, korporasi pemerintah (BUMN), mendirikan universitasnya sendiri.
Tampaknya pendidikan tinggi dianggap sebagai lahan bisnis (semata), terlihat dari iklan pencarian mahasiswa yang kadang menyesatkan publik.
Jumlah universitas di Indonesia yang sekitar 4.500 sungguh besar secara kuantitas, tetapi tidak menjadi center of excellence rujukan terdepan tertentu dalam bidang sains, teknologi, dan kebudayaan, termasuk karena ketidakmampuan berkolaborasi. Padahal, saat ini di negara maju para ilmuwan tidak hanya ada di universitas, tetapi juga di berbagai industri, rumah sakit, berbagai lembaga riset di pemerintahan ataupun masyarakat. Disadari betul bahwa hubungan N Helix adalah kekuatan dahsyat bagi kemajuan negara dan masyarakat.
Kebijakan seperti Permenpan dan RB No 1/2023 dan berbagai kebijakan lain terkait pendidikan tinggi di Indonesia tidak akan melahirkan ilmuwan kelas dunia. Sudah terbukti telah terjadi defisit guru besar sejak lama serta sangat sedikit temuan spektakuler dalam sains, teknologi, dan kebudayaan.
Para ilmuwan Indonesia teralienasi dari karya-karyanya sendiri karena tak memiliki roh kebebasan akademik dalam bekerja, kecuali sekadar memenuhi kewajiban administratif pemerintah. Sungguh diperlukan reformasi besar pendidikan tinggi yang berbasis partisipasi komunitas ilmiah dan identifikasi kebutuhan masyarakat masa depan.
Sulistyowati IriantoGuru Besar Antropologi Hukum, FHUI
Sumber: https://www.kompas.id/baca/opini/2023/04/12/buruh-dosen?status=sukses_login&status_login=login