"VOX POPULI VOX DEI" Suara Rakyat adalah Suara Tuhan.

Birokrasi Patronase dan Kasus Brigadir Joshua Oleh Aristo Pangaribuan, S.H., LL.M., Ph.D

Fakultas Hukum Universitas Indonesia > Berita > Birokrasi Patronase dan Kasus Brigadir Joshua Oleh Aristo Pangaribuan, S.H., LL.M., Ph.D

Kasus penembakan Brigadir Joshua Hutabarat (Brigadir J) telah menyita perhatian publik selama dua bulan ini. Kepolisian sedang berusaha keras menyelesaikan perkara ini dan mengembalikan legitimasi institusinya di mata publik, seperti yang diminta berulang kali oleh Presiden.

Hingga artikel ini ditulis, setidaknya lima orang sudah menjadi tersangka dan tidak kurang sebanyak 83 polisi diperiksa karena terindikasi menghalangi penyidikan kasus dugaan pembunuhan berencana tersebut.

Terlepas dari kerja keras polisi untuk mengungkap peristiwa ini, ada satu pertanyaan fundamental yang tidak boleh terlupakan. Bagaimana bisa sistem birokrasi kepolisian tidak mampu mencegah peristiwa pembunuhan sekaligus rekayasa kasus yang terjadi di dalam institusinya? Terlebih lagi, seluruh rangkaian peristiwa dirancang oleh seorang jenderal yang memegang kuasa atas penegakan etika profesi.

Pengungkapan kasus ini tentu penting. Akan tetapi, peristiwa ini haruslah menjadi momentum untuk melakukan perbaikan sistemik terhadap institusi kepolisian.

Mengakarnya praktik birokrasi patronase di organisasi kepolisian (sebagaimana juga ditemukan di institusi lain) memungkinkan peristiwa seperti ini terjadi. Budaya birokrasi patronase, atau sistem birokrasi ”persaudaraan” yang mendominasi pengisian jabatan-jabatan strategis, telah menjadi bagian dari kultur kerja kepolisian (occupational culture).

Penggunaan kekuasaan sehari-hari berjalan di atas platform relasi patronase antara sang patron dengan kliennya. Jaringan patronase tersebut dibangun berdasarkan konsep ”utang-budi” yang melibatkan sisi emosional seorang manusia.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/H-rVz4zvDx5EM7wK1SgwRJbTP4E=/1024x932/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2020%2F01%2F16%2F20200116-Opini-7_web_86436055_1579185436_jpg.jpg

Konsep birokrasi macam ini mempunyai sejarah yang panjang di dalam kultur masyarakat Indonesia. Puncak birokrasi patronase di republik ini terjadi di zaman Orde Baru, dengan konsep ”bapakisme”-nya, di mana Soeharto menjadi ”bapak” untuk semua pihak. Loyalitas terhadap sang bapak menjadi hal yang paling utama dalam menjalankan birokrasi pemerintahan.

Baker (2012) dalam disertasi etnografi doktoralnya mengenai institusi kepolisian di Indonesia di London School of Economics and Political Science bahkan menyatakan bahwa kepolisian Indonesia mempraktikkan apa yang dia sebut ”anti-birokrasi birokrasi.” Anti-birokrasi birokrasi digambarkan sebagai sebuah birokrasi yang tidak memiliki sistem lain selain jaringan loyalitas antara patron-klien (hlm 75). Di literatur yang membahas kultur kerja kepolisian, pola hubungan ”persaudaraan” ini dikenal dengan konsep abang-adik asuh.

Di literatur yang membahas kultur kerja kepolisian, pola hubungan ”persaudaraan” ini dikenal dengan konsep abang-adik asuh.

Di dalam tipe birokrasi ini, kecapakan seorang adik asuh utamanya dinilai dari banyaknya ”manfaat” yang dapat diberikan sang adik kepada ”abangnya”. Lebih jauh lagi, Baker juga mengatakan, sangat penting bagi aparatur kepolisian untuk memiliki patron eksternal, yang berasal dari luar institusi kepolisian untuk membiayai operasional institusi yang selalu mengalami defisit (hlm. 88).

Apabila seorang polisi ingin sukses dalam kariernya, dia dituntut untuk mampu memahami dan mempraktikkan tipe birokrasi ini. Tidak heran kita melihat setidaknya ada 35 polisi yang rela ”pasang badan” untuk sang patron yang bernama Ferdy Sambo.

Dalam hal ini, Sambo yang merupakan jenderal polisi bintang dua termuda dengan posisi yang strategis dianggap sebagai patron yang berpotensi untuk kliennya. Sangat mungkin, para adik asuh ini sudah menjadi bagian jaringan patronasi sang abang sehingga membuat kabur batas loyalitas kepada institusi dan individu.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/c3FqwQ_5BKPfAVUusvKuopj-MAo=/1024x1019/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F08%2F13%2F002226ad-ead1-4302-80de-07eb2e19eb25_png.png

Sangat berbahaya

Birokrasi patronase ini menjadi sangat berbahaya ketika dipraktikkan oleh sebuah institusi yang memiliki kekuasaan yang luar biasa, utamanya dalam penegakan hukum. Patronase dapat tumbuh subur karena kekuasaan penegakan hukum menjadi instrumen penting dalam pemeliharan ”jaringan persaudaraan” (patronage network).

Kekuasaan untuk melakukan upaya paksa tanpa pengawasan yang berarti terhadap individu berupa pemanggilan, penangkapan, penyitaan harta benda, dan penahanan menjadi aset penting dalam pemeliharaan birokrasi macam ini. Lahir tendensi untuk menggunakan kekuasaan penegakan hukum sebagai ”alat tukar” di dalam jaringan patronasi.

Hal ini disebabkan begitu mudahnya bagi seorang polisi untuk melakukan monetisasi dan utilitasi kekuasaan itu, yang hasilnya kemudian dipakai untuk membangun dan memelihara jaringan birokrasi patronase. Di sini, hukum tertulis tidak lebih dipakai hanya sebagai alat untuk memelihara relasi kekuasaan antara sang patron dengan kliennya.

Begitu mudahnya bagi seorang polisi untuk melakukan monetisasi dan utilitasi kekuasaan itu, yang hasilnya kemudian dipakai untuk membangun dan memelihara jaringan birokrasi patronase.

Sebagai contoh, dalam birokrasi tipe ini, sang abang asuh dapat dengan mudah menempatkan sang adik asuh ke dalam posisi-posisi strategis yang sering disebut dengan jabatan ”basah”. Akibatnya, jaringan patronasi ini membentuk apa yang dinamakan, meminjam istilah yang dilontarkan oleh Menkopolhukam, ”mabes di dalam mabes”.

Peristiwa ini hanyalah sebuah simtom dari sebuah penyakit yang dilahirkan oleh birokrasi patronase. Oleh karena itu, mengungkap peristiwa ini dengan terang-benderang saja tidak cukup.

Publik sudah disuguhkan pertunjukan bagaimana seorang patron, atas nama institusi, dapat dengan mudahnya menggerakkan sejumlah klien untuk mempermainkan hukum dan merekayasa kasus. Loyalitas terhadap sang patron memegang derajat lebih tinggi daripada sumpah jabatannya. Publik juga ditunjukkan bagaimana tidak ada mekanisme internal yang dapat mencegah terjadinya peristiwa pembunuhan dan rekayasa kasus yang dilakukan oleh Ferdy Sambo dan klien-kliennya.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/YkreMZiFz0wA50rLWnik9EK6tpg=/1024x3553/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F09%2F08%2F257ee241-d24c-4bbf-afab-9b4128f78b3c_jpg.jpg

Infografik Transformasi Polri Perlu Terus Berjalan

Melihat betapa seriusnya persoalan ini, solusi-solusi normatif seperti perbaikan sistem rekruitmen dan promosi berdasarkan merit system hanya akan menjadi paper-tiger tanpa dibarengi komitmen politik yang serius. Ketika persoalannya kultur birokrasi, selain solusi normatif, perlu sebuah komitmen politik untuk secara serius dan berkesinambungan untuk melakukan reformasi birokrasi di tubuh kepolisian Indonesia. Perlu sebuah keberanian untuk membatasi kekuasaan untuk bertindak subyektif secara ketat sehingga jaringan birokrasi patronase tidak dapat tumbuh subur di institusi kepolisian.

Mungkin para pemangku kebijakan di republik ini dapat belajar dari apa yang terjadi di Cook County, Chicago, Amerika Serikat, pada tahun 1980-an. Pada masa itu itu, birokrasi patronase melanda aparat penegak hukum di sana, mulai dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan, sampai advokat.

Saking frustrasinya, Federal Bureau Investigation (FBI) melakukan langkah ekstrem, yaitu menggelar operasi undercover selama tiga setengah tahun bernama operation greylord dengan menanamkan agennya untuk berpura-pura menjadi penegak hukum yang korup untuk membongkar birokrasi patronasi dan korupsi penegakan hukum yang terjadi. Hasilnya, 93 orang ditangkap dari pihak kepolisian, kejaksaan, hakim, dan pengacara. Dua di antara mereka yang ditangkap bunuh diri karena malu.

Sampai saat ini, operation greylord menjadi salah satu operasi tersukses yang pernah digelar oleh FBI. Akibatnya, reformasi birokrasi besar-besaran terjadi. Mudah-mudahan, bangsa ini tidak perlu melakukan strategi yang ekstrem seperti ini.

Aristo PangaribuanDosen Tetap Fakultas Hukum UI

Sumber: https://www.kompas.id/baca/opini/2022/09/12/birokrasi-patronase-dan-kasus-brigadir-joshua?status=sukses_login&status_login=login

About the author

➖ Kampus UI Depok Jl. Prof. Mr. Djokosoetono, Kampus FHUI Gedung A Depok 16424, Jawa Barat Telepon (021) 7270003, 7863288 Faks (021) 7270052. E-mail: humas-fh@ui.ac.id & lawschool@ui.ac.id ... ➖ Kampus UI Salemba Gedung IASTH Lt. 2, Jl. Salemba Raya No.4, Jakarta 10430 Tel : (021) 31909008 Faks : (021) 39899148
Humas FH UI