Biaya Tersembunyi Makan Bergizi Gratis Oleh Kurnia Togar P Tanjung, S.H., M.E.

Fakultas Hukum Universitas Indonesia > Opini > Biaya Tersembunyi Makan Bergizi Gratis Oleh Kurnia Togar P Tanjung, S.H., M.E.

Proyek MBG menimbulkan biaya tersembunyi akibat tata kelola buruk. Salah satunya ongkos pengobatan siswa yang keracunan.

MAKAN bergizi gratis yang bertujuan mencerdaskan generasi penerus bangsa kini justru menjadi malapetaka. Proyek yang menghabiskan anggaran Rp 71 triliun pada 2025 itu menyebabkan lebih dari 6.000 penerima manfaat mengalami keracunan.

Kejadian keracunan dan berbagai kekacauan makan siang gratis, seperti menu makanan basi serta inkompetensi, pengelola dapur merupakan manifestasi eksternalitas negatif. Ini merupakan biaya tersembunyi yang harus ditanggung masyarakat akibat kegagalan sistemik sebuah kebijakan.

Kegagalan ini berakar dari fondasi kebijakan yang keliru. Salah satunya problem inefisiensi alokasi. Pemerintah, melalui Badan Gizi Nasional (BGN), melakukan pendekatan pukul rata atau one size fits all dengan menggelontorkan sumber daya yang sama ke seluruh wilayah. Mereka tak menimbang variasi kebutuhan gizi yang berbeda di setiap daerah.

Data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022 menunjukkan disparitas prevalensi tengkes yang signifikan antar-daerah. Pemerintah memboroskan anggaran dengan mengalokasikan anggaran jumbo untuk anak-anak di daerah dengan prevalensi stunting rendah. Sumber daya itu bisa memberikan dampak jauh lebih besar jika difokuskan secara intensif di wilayah yang paling membutuhkan, seperti daerah tertinggal, terdepan, dan terluar.

Anggaran makan bergizi gratis senilai puluhan triliun rupiah itu menimbulkan biaya peluang (opportunity cost) yang sangat mahal. Setiap triliun rupiah yang dialokasikan untuk proyek ini tidak dapat digunakan untuk program sosial lain yang boleh jadi lebih efektif dan tepat sasaran.

Kita bisa membandingkan anggaran makan bergizi itu dengan program jaminan sosial lain. Anggaran makan siang gratis setara dengan 90 persen total belanja perlindungan sosial yang dikelola Kementerian Sosial. Proyek andalan Prabowo Subianto ini berisiko mengesampingkan program, seperti bantuan nutrisi untuk lansia dan orang dengan disabilitas atau program Pemberian Makanan Tambahan (PMT) untuk ibu hamil dan balita malnutrisi.

Peristiwa keracunan massal yang belakangan terjadi merupakan konsekuensi logis dari relasi principal dan agent yang akut di tengah tata kelola program yang buruk. Pemerintah sebagai principal mendelegasikan tugas kepada mitra yang berperan sebagai agent.

Kepentingan kedua pihak itu tak selaras. Principal ingin makanan yang aman dan bernutrisi. Sedangkan para agent berpikir dengan logika ekonomi yang ingin memperoleh laba sebesar-besarnya dari makan bergizi gratis.

Masalah relasi pemerintah dan mitra ini bermula sebelum kontrak diteken melalui proses seleksi yang merugikan atau adverse selection. Proses pemilihan vendor dikritik karena tidak transparan sehingga mitra yang tak punya pengalaman di sektor jasa boga bisa terlibat. Mereka terpilih bukan karena rekam jejak di bidang katering, melainkan kedekatan politik dengan penguasa.

Sistem pembayaran awal yang mengharuskan vendor menalangi biaya lebih dulu perlahan tapi pasti menyingkirkan kelompok usaha mikro dan kecil. Mereka hanya punya modal sedikit untuk memutar bisnisnya, sedangkan model pembayaran dengan remburs mensyaratkan kecukupan modal yang besar. Pada akhirnya, proyek makan bergizi gratis ini akan menguntungkan bagi pengusaha besar.

Model dapur terpusat yang dipakai dengan dalih efisiensi justru menjelma menjadi pengganda risiko (risk multiplier). Satu saja kegagalan kehigienisan di sebuah dapur akan membahayakan ratusan dan ribuan penerima manfaat. Kasus keracunan di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, yang memicu keracunan massal merupakan ilustrasi paling tepat untuk menunjukkan skala malapetaka yang masif.

Biaya eksternalitas ini melampaui angka yang tertera dalam buku Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Biaya langsung yang tampak adalah ongkos pengobatan korban yang harus ditanggung negara. BGN harus membayar sejumlah uang untuk pengobatan, seperti di Kabupaten Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah. Di sana, BGN mengklaim menanggung ongkos pengobatan mencapai Rp 350 juta.

Di luar biaya itu, ada ongkos yang lebih besar, yakni kehilangan produktivitas bagi orang tua yang anaknya menjadi korban keracunan. Mereka harus merawat anak yang sakit sehingga mesti absen dari pekerjaan. Biaya lain adalah ongkos administratif untuk menggelar rapat lintas lembaga, investigasi kasus, hingga kampanye media untuk memulihkan citra program makan bergizi gratis.

Biaya yang paling merusak dalam jangka panjang adalah tergerusnya kepercayaan publik. Makan bergizi gratis diyakini sebagai program kesehatan, tapi sejumlah kejadian belakangan ini justru membuatnya menjadi sumber penyakit. Kasus keracunan massal meruntuhkan modal sosial. Orang tua yang semula mendukung, kini mulai merasa khawatir.

Pemerintah tak bertanggung jawab dan mempertaruhkan keselamatan anak-anak jika melanjutkan proyek ini. Presiden Prabowo mesti menghentikan, mengevaluasi, dan merancang ulang proyek ini secara transparan.

Indonesia harus belajar dari praktik terbaik internasional, seperti model Dewan Pengawas Makanan Sekolah (Conselho de Alimentação Escolar) di Brasil. Lembaga ini terdiri atas perwakilan orang tua, guru, dan masyarakat. Mereka berwenang menginspeksi, meninjau laporan keuangan, dan merekomendasikan penangguhan dana jika ditemukan penyimpangan di lapangan. Model di Brasil menempatkan warga dari sebagai subyek aktif yang berdaya dalam mengawasi program. Dengan begitu, akuntabilitas lahir dari bawah, bukan sekadar instruksi dari pusat.

Sekarang waktu yang tepat untuk menyetop dan merombak program makan bergizi gratis. Jangan sampai anak-anak kita terus menjadi korban.

Sumber: https://www.tempo.co/kolom/dampak-ekonomi-keracunan-massal-mbg-2074946

About the author

➖ Kampus UI Depok Jl. Prof. Mr. Djokosoetono, Kampus FHUI Gedung A Depok 16424, Jawa Barat Telepon (021) 7270003, 7863288 Faks (021) 7270052. E-mail: humas-fh@ui.ac.id & lawschool@ui.ac.id ... ➖ Kampus UI Salemba Gedung IASTH Lt. 2, Jl. Salemba Raya No.4, Jakarta 10430 Tel : (021) 31909008 Faks : (021) 39899148