Pilihan Hukum bukan merupakan topik yang populer dalam hukum Indonesia, meskipun praktik hukum kontrak, terutama yang bersifat lintas batas negara, tidak selalu bisa dilepaskan dari topik ini.
Istilah ‘Pilihan Hukum’, ‘Hukum yang Berlaku’, ‘Governing Law’, atau ‘Applicable Law’ seharusnya merupakan makanan sehari-hari para praktisi hukum yang berjibaku dengan transaksi-transaksi komersial internasional. Klausul mengenai Pilihan Hukum, Hukum yang Berlaku, Governing Law, atau Applicable Lawmerupakan salah satu klausul yang hampir selalu dipersyaratkan untuk dicantumkan dalam kontrak-kontrak yang menjadi dasar hukum transaksi komersial internasional.
Ketidakpopuleran ini bisa jadi karena tulisan yang membahas mengenai Pilihan Hukum tidak banyak ditemukan dalam literatur hukum yang diuji di mimbar akademik di Indonesia. Hanya terdapat sedikit sarjana yang menulis mengenai topik ini. Di antaranya Mathilde Sumampouw, seorang Indonesia yang bermukim di Belanda dan mempunyai nama besar di TMC Asser Institute di Belanda, menulis Pilihan Hukum sebagai topik disertasinya yang dipertahankan di Universitas Indonesia di akhir dekade 60-an.
Selain itu, Sudargo Gautama merupakan nama yang mustahil untuk dilewatkan dalam pembahasan Pilihan Hukum karena ialah satu-satunya sarjana di Indonesia yang membahas topik ini secara intensif dan mendalam dalam karya-karya Hukum Perdata Internasionalnya yang monumental.
Bermula dari pemikiran HPI tradisional yang membedakan hukum yang berlaku untuk orang (statuta personalia), barang (statuta realia) dan perbuatan hukum (statuta mixta), sebagai salah satu wujud perbuatan hukum, maka perlu ditentukan pula hukum yang berlaku bagi kontrak. Pilihan Hukum berakar pada asas kebebasan berkontrak yang menentukan bahwa para pihak memiliki kebebasan untuk menyepakati kontrak di antara mereka. Kebebasan ini termasuk pula kebebasan untuk memilih hukum yang berlaku bagi kontrak mereka, tentunya dalam batasan-batasan tertentu.
Meskipun tidak menutup kemungkinan untuk ada pengecualian, Pilihan Hukum dalam kontrak internasional ini umumnya mengemuka ketika hubungan hukum kontrak terjadi antara pihak-pihak yang berasal dari yurisdiksi hukum yang berbeda-beda. Sebagai contoh: kontrak jual beli yang disepakati oleh warga negara Indonesia dan warga negara Jepang, kontrak distribusi yang disepakati oleh badan hukum Singapura dan badan hukum Belanda. Contoh yang lebih esktrim, kontrak kredit sindikasi yang disepakati oleh bank-bank yang berkedudukan di New York, Amsterdam, Frankfurt sebagai kreditur dan badan hukum Indonesia sebagai debitur. Pertanyaan yang muncul adalah Apa hukum yang berlaku untuk kontrak jual-beli, kontrak distribusi, dan kontrak kredit sindikasi tersebut?
Umumnya akan dipilih hukum dari salah satu pihak dalam kontrak. Penentuan hukum ini, dalam praktiknya, dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain: pengetahuan para pihak terhadap hukum yang dipilih untuk berlaku untuk kontrak mereka, lokasi aset para pihak, dan posisi tawar dari masing-masing pihak dalam kontrak. Selain itu, kebiasaan dalam praktik juga memengaruhi pemilihan hukum yang berlaku dalam kontrak. Misalnya, hukum Inggris adalah hukum yang hampir selalu akan dipilih untuk berlaku dalam kontrak-kontrak asuransi dan pengangkutan laut.
Beberapa hal yang penting untuk diperhatikan terkait dengan kebebasan para pihak memilih hukum yang berlaku untuk kontrak internasional yang mereka sepakati. Pertama, hukum yang dipilih tersebut tidak boleh melanggar ketertiban umum (public order/public policy) sebagaimana dikenal dalam Hukum Perdata Internasional. Kedua, hukum yang dipilih hanya berlaku untuk akibat-akibat dan pelaksanaan dari kontrak, bukan untuk syarat lahirnya atau terciptanya kontrak.
Ketiga, hukum yang dipilih untuk berlaku dalam kontrak internasional tersebut adalah mengenai hukum materiil saja, bukan hukum formil atau hukum acara. Ini artinya, jika terjadi sengketa terkait kontrak internasional tersebut, hukum formil atau hukum acara untuk penyelesaian sengketa kontrak tersebut adalah tetap hukum acara dari negara tempat sengketa tersebut diselesaikan. Hal ini dikenal dengan istilah hukum sang hakim atau lex fori. Namun demikian, hukum materiil untuk penyelesaian sengketa kontrak tersebut adalah hukum yang telah dipilih para pihak dalam kontrak.
Hal lain yang perlu diperhatikan juga terkait dengan topik Pilihan Hukum adalah meskipun keduanya sama-sama didasari oleh semangat kebebasan berkontrak, Pilihan Hukum tidak sama dengan Pilihan Forum, atau yang dikenal juga dengan sebutan Pilihan Yurisdiksi. Ini artinya, jika telah dipilih suatu hukum yang berlaku bagi kontrak oleh para pihak, tidak serta-merta pengadilan atau forum dari negara yang hukumnya dipilih tersebut menjadi satu-satunya forum yang berwenang untuk mengadili sengketa terkait kontrak. Begitu juga sebaliknya, jika telah dipilih yurisdiksi suatu negara sebagai forum penyelesaian sengketa kontrak, tidak serta-merta hukum materiil dari negara tersebut berlaku untuk kontrak.
Pada poin inilah persoalan Pilihan Hukum mengemuka dalam praktik peradilan di Indonesia. Sebab ketika telah dipilih suatu hukum asing sebagai hukum yang berlaku dalam kontrak, lalu muncul sengketa terkait dengan pelaksanaan kontrak tersebut, pengadilan Indonesia terkesan cenderung enggan untuk memberlakukan hukum asing sebagaimana telah dipilih para pihak dalam kontrak.
Sebelum mengetahui lebih jauh mengenai praktik pengadilan ini, perlu untuk kita bahas secara singkat terlebih dahulu mengenai ketentuan yang mengatur Pilihan Hukum di Indonesia.
Pengaturannya di Indonesia
Di Indonesia, asas kebebasan berkontrak bersumber pada Pasal 1320 dan 1338 ayat (1) Burgerlijke Wetboek voor Indonesië (BW) yang secara berturut-turut menekankan pada kesepakatan sebagai salah satu syarat sahnya kontrak dan kebebasan para pihak dalam berkontrak. Dengan dasar kebebasan berkontrak ini, para pihak dalam kontrak juga memiliki kebebasan untuk memilih hukum yang berlaku bagi kontrak yang mereka sepakati. Kebebasan untuk memilih hukum yang berlaku untuk kontrak ini lebih lanjut diatur dalam tiga peraturan perundang-undangan sebagaimana dijelaskan di bawah ini.
Pilihan Hukum secara gamblang diatur dalam Pasal 72 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (UU Penerbangan) yang menentukan bahwa perjanjian pemberian hak jaminan kebendaan, perjanjian pengikatan hak bersyarat, dan/atau perjanjian sewa guna usaha yang menjadi dasar lahirnya jaminan atas pesawat udara dapat dibuat berdasarkan hukum yang dipilih oleh para pihak. Di dalam bagian penjelasan pasal ini dinyatakan bahwa para pihak dapat memilih hukum yang akan mengatur hak dan kewajiban kontraktual mereka tersebut.
Lebih lanjut, penjelasan Pasal 72 undang-undang ini menerangkan bahwa hukum yang dipilih oleh para pihak tersebut tidak selalu harus ada hubungannya atau tautannya dengan salah satu pihak atau dengan pelaksanaan perjanjian tersebut. Ini artinya, para pihak bebas untuk memilih hukum negara manapun sebagai hukum yang berlaku bagi perjanjian yang mengikat mereka. Hal menarik yang perlu dicatat juga adalah UU Penerbangan juga mengatur bahwa para pihak dalam perjanjian-perjanjian yang menjadi dasar lahirnya jaminan atas pesawat udara tersebut diberi kebebasan untuk memilih yurisdiksi penyelesaian sengketa.
Ketentuan lain yang mengatur mengenai Pilihan Hukum dalam kontrak adalah Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pasal 18 ayat (2) undang-undang ini mengatur bahwa para pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi transaksi elektronik internasional yang dibuatnya. Bagian penjelasan ayat ini menerangkan bahwa pilihan hukum dalam transaksi elektronik hanya dapat dilakukan jika dalam kontraknya terdapat unsur asing dan penerapannya harus sejalan dengan prinsip Hukum Perdata Internasional.
Selanjutnya, ayat ketiga dari pasal yang sama menentukan bahwa apabila para pihak tidak melakukan pilihan hukum dalam transaksi elektronik internasional, hukum yang berlaku didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional. Sama halnya dengan UU Penerbangan, UU ITE ini juga menyelipkan ketentuan mengenai kewenangan para pihak untuk memilih forum yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari transaksi elektronik internasional yang mengikatnya.
Pasal 56 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase dan APS) menyatakan bahwa para pihak berhak menentukan hukum yang akan berlaku terhadap penyelesaian sengketa yang mungkin atau telah timbul antara para pihak. Penjelasan dari ayat ini menerangkan bahwa para pihak yang bersengketa diberi keleluasaan untuk menentukan hukum mana yang akan diterapkan dalam proses arbitrase. Apabila para pihak tidak menentukan lain, maka hukum yang diterapkan adalah hukum tempat arbitrase dilakukan. Namun, penting untuk dicatat bahwa Pilihan Hukum yang dimaksud dalam undang-undang ini adalah hukum yang akan diberlakukan untuk proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase, bukan melalui pengadilan.
Berdasarkan uraian di atas, maka valid untuk kita simpulkan bahwa Pilihan Hukum merupakan doktrin yang diterima dalam hukum Indonesia.
Praktiknya di Pengadilan Indonesia
Menarik untuk diamati Putusan Mahkamah Agung Nomor 1935K/Pdt/2012 yang diputus pada tanggal 14 Januari 2013 sehubungan dengan topik Pilihan Hukum di Indonesia. Sengketa terjadi antara PT Asuransi Harta Aman Persada (PT AHAP) melawan PT Pelayaran Manalagi (PT PM), keduanya adalah badan hukum Indonesia.
Pokok sengketa mengenai Perjanjian Asuransi Marine Hull and Machinery Policy, yang disepakati oleh PT PM sebagai tertanggung dan PT AHAP sebagai penanggung, dengan objek pertanggungan berupa kapal kargo bernama KM Bayu Prima. Periode pertanggungan adalah dari 31 Oktober 2005-31 Oktober 2006 dan PT PM telah membayar premi asuransi kepada PT AHAP sebesar US$16.778.
Singkat cerita, KM Bayu Prima mengalami kebakaran yang mengakibatkan kerugian bagi PT PM. Oleh karenanya, PT PM mengajukan klaim kepada PT AHAP sebagai penanggung asuransi. Namun, PT AHAP menolak pembayaran dengan alasan antara lain, terdapat informasi penting mengenai tahun pembuatan kapal yang telah tidak diinformasikan oleh PT PM kepada PT AHAP. Menanggapi hal ini, PT PM mengajukan gugatan wanprestasi terhadap PT AHAP ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Dalam perjanjian asuransi, para pihak sepakat bahwa “This insurance is subject to English law and practice.” Sementara itu, tidak ada pilihan yurisdiksi jika ada sengketa terkait perjanjian asuransi ini. PT AHAP dalam persidangan mendalilkan bahwa baik hukum Inggris material maupun formal berlaku terhadap perjanjian asuransi ini. Sehingga, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang untuk memeriksa dan mengadili sengketa ini. Lebih lanjut menurut PT AHAP, sengketa ini seharusnya diajukan ke dan diadili oleh pengadilan Inggris karena hukum Inggris berlaku terhadap kontrak asuransi yang telah disepakati.
Dalam putusannya, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta, memberikan pertimbangan bahwa PT AHAP tidak dapat membedakan antara Pilihan Hukum dan Pilihan Forum yang merupakan dua hal yang berbeda. Meskipun telah disepakati hukum Inggris sebagai hukum yang berlaku bagi perjanjian asuransi, para pihak tidak memilih forum tertentu.
Majelis Hakim memutus bahwa pengadilan Indonesia, dalam hal ini Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, berwenang untuk mengadili sengketa ini dengan pertimbangan bahwa para pihak dalam perjanjian asuransi adalah badan hukum Indonesia, objek pertanggungan ada di Indonesia, dan kebakaran kapal terjadi di Indonesia. Selanjutnya, majelis hakim memutus bahwa PT AHAP telah melakukan wanprestasi, dan oleh karenanya harus membayar klaim asuransi yang menjadi hak dari PT PM termasuk ganti rugi atas potensi keuntungan yang gagal diperoleh PT PM akibat dari wanprestasi yang dilakukan oleh PT AHAP.
Dalam pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim tingkat pertama dan kedua merujuk ketentuan hukum perasuransian yang berlaku di Inggris yaitu Marine Insurance Act 1906, sekaligus pula ketentuan hukum Indonesia yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Perusahaan Perasuransian, dan BW untuk penentuan tindakan wanprestasi dan ganti kerugian yang harus dibayarkan oleh PT AHAP.
Tidak puas dengan putusan pengadilan tingkat pertama dan kedua, PT AHAP mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Sialnya bagi PT PM, Mahkamah Agung dalam putusannya mengabulkan permohonan kasasi PT AHAP dan membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi Jakarta. Selanjutnya, Majelis Hakim di tingkat Kasasi mengadili sendiri bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang untuk memeriksa dan mengadili sengketa ini dan menyatakan bahwa gugatan PT PM tidak dapat diterima.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim Mahkamah Agung menyatakan bahwa perjanjian asuransi yang telah disepakati adalah sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak, sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 BW. Oleh karena para pihak telah sepakat memilih hukum Inggris dalam perjanjian asuransi tersebut, maka Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang untuk memeriksa dan mengadili sengketa ini karena gugatan harusnya dilayangkan ke pengadilan Inggris.
Hukum Asing Tidak Berlaku?
Perjanjian asuransi yang menjadi objek sengketa ini merupakan contoh perjanjian yang Pilihan Hukumnya didasarkan pada kebiasaan dalam praktik. Sebagaimana telah disampaikan dalam paragraf awal dari tulisan ini, hukum Inggris adalah hukum yang hampir selalu dipilih untuk kontrak-kontrak asuransi dan pengangkutan laut.
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sangat menarik perhatian karena selain mengabulkan gugatan PT PM, ternyata dipertimbangkan pula segi-segi Hukum Perdata Internasional dari sengketa ini. Majelis Hakim di tingkat pertama dan kedua dalam sengketa ini juga telah merujuk ketentuan hukum pengangkutan laut Inggris sebagai hukum yang berlaku untuk sengketa ini. Meskipun tidak dapat secara bulat kita nyatakan bahwa hakim memberlakukan hukum Inggris dalam sengketa ini, sebab dalam merujuk hukum Inggris, hakim juga mencari kesesuaiannya dengan hukum Indonesia.
Sebagai contoh, dalam menentukan apakah PT AHAP sebagai penanggung asuransi bertanggung jawab atas kerugian kebakaran kapal PT PM, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat merujuk ketentuan Marine Insurance Act 1906 yang mengatur bahwa penanggung asuransi, sebagai pihak dalam kontrak asuransi, terikat dan wajib untuk menanggung kerugian total dari hal-hal yang diasuransikan disebabkan oleh kebakaran dan ledakan maupun kelalaian Nahkoda, perwira atau anak buah kapal.
Hakim juga kemudian merujuk pasal 1338 dan 1340 BW yang menyatakan bahwa kontrak asuransi ini mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak dan hanya berlaku antara para pihak yang menyepakatinya, serta tidak dapat membawa kerugian kepada pihak ketiga. Dengan merujuk ketentuan Marine Insurance Act 1906 dan dua pasal dalam BW ini majelis hakim menegaskan bahwa sudah tepat langkah PT PM untuk mengajukan gugatan wanprestasi kepada PT AHAP, bukan kepada pihak lain seperti nahkoda dari KM Bayu Prima.
Contoh kedua, sehubungan dengan penolakan PT AHAP untuk membayar klaim asuransi kepada PT PM, majelis hakim merujuk pada ketentuan Pasal 23 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Perusahaan Perasuransian yang menentukan bahwa perusahaan asuransi dilarang menghambat pembayaran klaim pihak tertanggung. Lagi-lagi dalam merujuk ketentuan tersebut, majelis hakim juga mempertimbangkan Marine Insurance Act 1906 yang juga mewajibkan penanggung membayar klaim dari tertanggung sesuai dengan jumlah yang ditanggungnya.
Sekali lagi patut diapresiasi usaha majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi Jakarta untuk memperhatikan segi-segi hukum perdata internasional dalam sengketa ini dan mengutip pula ketentuan hukum pengangkutan laut Inggris karena para pihak telah memilih hukum Inggris sebagai hukum yang berlaku untuk kontrak asuransi yang disengketakan.
Sayangnya, hal yang sudah diputuskan dengan baik ini kemudian dibatalkan oleh Majelis Hakim di tingkat kasasi dengan dasar pertimbangan yang kurang tepat. Meskipun hukum Inggris telah dipilih sebagai hukum yang berlaku untuk kontrak asuransi yang disepakati PT PM dan PT AHAP, tidak dengan sendirinya forum pengadilan yang berwenang mengadili perkara ini adalah pengadilan Inggris. Sebab ada pembedaan yang jelas antara pilihan hukum Inggris dan pengadilan yang berwenang untuk mengadili sengketa ini.
Hukum Inggris dipakai sebagai hukum materiil untuk menyelesaikan sengketa ini, tetapi bisa saja pengadilan lain, dalam hal ini pengadilan Indonesia, sebagai tempat kedudukan dari PT AHAP sebagai tergugat, yang mengadili perkara ini dengan menggunakan hukum materiil Inggris. Sementara itu, untuk hukum acaranya tentu tetap digunakan hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia.
Melalui sengketa ini kita diyakinkan bahwa Pilihan Hukum bukanlah topik yang populer di Indonesia. Setidaknya ada dua poin penting yang dipahami secara tidak tepat mengenai Pilihan Hukum dalam sengketa ini. Pertama, hukum yang dipilih disalahartikan sebagai pemilihan terhadap hukum prosedural atau hukum acara. Padahal, Pilihan Hukum hanya terbatas pada hukum materiil dari hukum asing yang dipilih, tidak termasuk hukum formilnya. Kedua, pemahaman mengenai Pilihan Hukum dan Pilihan Forum yang dicampuradukkan, sehingga secara serampangan Pilihan Hukum diartikan pula sebagai pula Pilihan Forum.
*)Priskila P. Penasthika adalah Dosen tetap di bidang hukum perdata internasional pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Saat ini sedang menjalankan studi doktoralnya pada Erasmus Graduate School of Law di Erasmus University Rotterdam, Belanda. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi Penulis dan tidak mewakili pandangan institusi.
Catatan Redaksi:
Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline