"VOX POPULI VOX DEI" Suara Rakyat adalah Suara Tuhan.

Bawa Konflik Pemilu ke Persidangan

Fakultas Hukum Universitas Indonesia > Berita > Bawa Konflik Pemilu ke Persidangan

Pemilihan umum serentak baru saja usai, 17 April lalu. Namun, riak-riak muncul saat penyelenggara masih melakukan penghitungan hasil pemilihan. Ada yang mengklaim kemenangan, lebih banyak suara yang mempermasalahkan adanya indikasi kecurangan.


Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Prof Dr Jimly Asshiddiqie bisa memahami adanya kekecewaan dalam pemilihan. Namun, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini mengingatkan agar menyelesaikan masalah melalui mekanisme yang ada. “Bawa perdebatan dari udara ke ruangan sidang, dari darat di jalanan ke ruangan sidang,” ucapnya.
Dalam kaitan inilah Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) kelahiran Palembang, 17 April 1956, ini memaparkan panjang lebar kepada wartawati HARIAN NASIONAL,Sherlya Puspita Sari dalam sebuah wawancara di Jakarta, Jumat (26/4).

Apa gagasan Anda terkait rekonsiliasi pasca-pemilu?

Begini ya, saya merasa boleh saja kita beda pilihan supaya saya memberi aspek yang beda dengan cara pandang orang kebanyakan. Apalagi kita kan baru Isra Mi’raj. Sekali-sekali kita kalau melihat masalah harus mi’raj (ke langit). Kalau isra itu merenung, kalau mi’raj naik ke langit. Mari lihat Indonesia itu dari langit, dari kejauhan. Apa yang terjadi pada 2019 ini, kalau kita masuk ke dalam kasusnya, mumet, pusing, dan kita ikut baper. Apalagi medsos-nya saling serang cebong sama kampret, kan begitu?
Kalau diperhatikan dari sudut pandang masing-masing, susah kita menangkap perspektif orang lain ketika kita masuk ke satu kasus. Para pakar, para pengamat yang diharapkan objektif, media sekalipun yang diharapkan netral, itu kan terbawa hitam-putih. Persepsi yang dibentuk juga begitu. Bagi orang yang tidak mendukung A berarti mendukung B, bagi yang tidak mendukung B, oh pasti dia pendukung A. Kan begitu. Jadi kalau media misalnya menyiarkan peristiwa yang menguntungkan A, oh berarti ini di pihak A. Jadi sudah terbawa.

Mengapa sampai terjadi? 
Karena kita terbawa arus. Arusnya ini kuat sekali karena pilpres membawa polarisasi menjadi dua, mulai dari 2014, terulang lagi 2019. Jadi sudah cukup lama. 

Bagaimana keluar dari masalah itu?

Kita harus naik ke langit menjauh dari objek masalahnya, melihat Indonesia dari kejauhan, melihat diri kita di tengah keramaian dari jarak yang jauh. Kalau begitu, Indonesia harus kita lihat dalam jangka yang panjang, masa lalu, masa depan, setahun ke depan, lima tahun, sepuluh tahun, 25 tahun ke depan, sambil lihat juga 25 tahun ke masa lalu. Kanannya, kirinya, atas, bawah. Setelah kelihatan semua, kita akan punya perspektif yang sangat berbeda dengan kalau kita ada di dalam kasus.

Bedanya? 
Bedanya kita jadi lebih optimistis. Semua yang berkembang ini adalah “wal akhirotu khoiru wa abqo”. Ini yang sekarang itu sementara, yang kekal itu yang jangka panjang. “Walal akhiratu khoirul laka minal ula”, yang masa depan itu lebih baik dari yang sekarang. Jadi, dengan cara begitu kita pasti optimistis melihat Indonesia. Bahwa sekarang banyak masalah, ada kecurangan, ada ketidakpercayaan sana-sini, ya ini kan mendewasakan demokrasi juga. Kalau pemilunya tidak tegang, kan nggak asyik juga. Jadi, tidak apa-apa ini tegang-tegang sedikit. Ada ancaman people’s power, ah tidak usah terlalu risau. Nanti semuanya akan diselesaikan melalui prosedur yang sudah tersedia. Sesudah penetapan kita ada tempat untuk menyidangkan perselisihan mengenai proses pemilu, proses di Bawaslu, hasil di MK itu tersedia. Yakin itu akan bekerja nanti.


Apakah itu akan memuaskan semua pihak?

Tidak. Pasti ada juga yang kecewa, pasti ada demo-demo kecil, tapi kita harus kendalikan jangan demo terlalu besar. Semua harus mempercayai proses konstitusional yang tersedia. Jadi, bawa konflik dari luar sidang, dari jalanan, ke dalam sidang. Bawa perdebatan dari udara ke ruangan sidang, dari darat di jalanan ke ruangan sidang. Nah, maka jangan ada (demo). Kalaupun tidak bisa dihindari, apa boleh buat. Namun, semua harus terkendali. Demo di darat dan di udara itu ekspresi alamiah saja. Harus kita terima, tapi itu tidak mengambil keputusan apa-apa. Yang akan mengambil keputusan sidang di ruangan, yaitu di MK dan Bawaslu. Itu tolong dimanfaatkan dan pasti pada saatnya akan dimanfaatkan. Yang kedua dalam jangka panjang ketegangan ini mendidik, mendewasakan.


Bangsa ini akan hancur karena ketegangan itu?
Tidak. Orang di Amerika Serikat (AS) saja tegang melulu. Selama 2,5 abad capresnya selalu dua. Kalaupun ada satu yang ketiga calon independen, nggak pernah menang. Mereka sudah mengalami seperti ini 2,5 abad. Sering kali ada gejala yang namanya divided government, seperti sekarang terjadi. Republik menang Presiden, tapi Kongres dikuasai Demokrat. 

Maka presiden selalu tidak mudah bekerja, ada check and balance karena di cabang kekuasaan, legislatif dikuasai partai lain. Nah, gejala yang terjadi di AS saat ini, itu sudah sering. Buktinya 2,5 abad demokrasi AS seperti ini, AS tidak bubar. 
Malah Amerika menjadi negara yang kuat dalam semua segi. Ekonominya kuat, politiknya, apalagi militernya. 

Penguasaan Ipteknya nomor satu di dunia, padahal jumlah penduduknya cuma beda 100 juta sama kita. Kita 260 juta, dia 360 juta. AS maju sekali sebagai bangsa dan negara nomor satu di dunia, padahal sistem politiknya dua kubu seperti ini. Setiap kali pemilu tegang terus.

Bagaimana dengan Indonesia?

Pengalaman yang sedang terjadi pada 2019 di Indonesia, ya kita nikmati saja. Kita lihat dalam jangka panjang, ini bagus. Cuma tidak boleh kita biarkan hal-hal yang negatif. Seperti kecurangan harus diperbaiki, sambil dievaluasi juga. Kayaknya rumit jika pemilu seperti ini. Nah, jangan lagi serentak kayak gini. Ini kan pemilu paling rumit sedunia. Lebih dari 200 (orang) yang sudah meninggal, membuat pemilu harus diperbaiki. Jadi memang satu-satunya pemilu di dunia yang paling repot dikelola dan diurus karena serentak. Di India dengan jumlah penduduk 1 miliar lebih, itu kan tidak serentak. 
Di Amerika juga tidak serentak. Kita serentak, lima surat suara sekaligus. Petugas ngitungnya setengah mati hingga ada yang sakit dan meninggal. 

Artinya, pemilu di Indonesia perlu dievaluasi?

Itu perlu kita evaluasi. Kita juga tidak boleh menyalahkan penyelenggara seakan-akan bobrok semuanya. Memang satu-dua kasus, itu tidak boleh dibiarkan. Saya juga berharap Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Apalagi nanti MK, harus bekerja dengan betul-betul independen dan tepercaya. Tapi namanya manusia dengan pemilu rumit seperti ini, pertama dalam sejarah di seluruh dunia, kan ada saja kekurangannya. Jadi, jangan satu-dua kasus digeneralisasi. Tidak mungkin kasus-kasus itu diabaikan. Tidak boleh, tapi jangan juga digeneralisasi seakan-akan semua seperti itu. Mari kita proporsional dalam menilai, jangka panjang agenda kita jauh lebih penting. Pemilu ini kan hanya salah satu metode saja, nanti kalau sudah terpilih siapa Presiden, DPR, DPD, ya sudah kita terima. Presidennya pun nanti jadi presiden bagi seluruh rakyat Indonesia.

Efek pilpres ada keterbelahan. Apa yang bisa dilakukan untuk rekonsiliasi?

Pertama kita imbau supaya masing-masing kubu berhenti mengklaim kemenangan. Syukuran dan deklarasi disetop. Deklarasi memang penting untuk menegakkan moral para pendukung agar tidak putus asa dan jangan ada persepsi macam-macam, apalagi misal tahu-tahu anggota koalisinya sudah pindah mendukung kubu lain yang diprediksi menang. 

Itu tontonan buruk dalam demokrasi kita, tidak bermoral. Jadi orang-orang di sekitar kubu 01 dan 02 harus kompak sampai keputusan final. Kalau sampai berloncatan pindah, itu menunjukkan pelajaran moralitas politik yang sangat rendah. Jadi, saran saya, masing-masing kubu harus kompak dan punya pendirian. Kalau ada di kubu yang kalah, kalahlah dengan terhormat. Kalau menang, menanglah dengan kehormatan. Harus begitu. 


Bagaimana sebaiknya tokoh politik bersikap untuk pembelajaran bagi generasi muda?

Tokoh politik jangan mempertontonkan imoralitas. Politik hanya tindakan pragmatis. Kita harus mendidik generasi milenial sekarang dengan moral politik berdasarkan Pancasila berbasis keyakinan agama, iman kepada Tuhan Yang Maha Esa. Itu harus menghasilkan kepribadian. Manusia kalau tidak punya kepribadian sama dengan orang tidak beriman, tak punya keyakinan. Nanti, kalau sudah final, semuanya harus siap menerima kemenangan secara berkehormatan dan kalah secara terhormat juga. Orang yang menang harus segera merangkul, orang yang kalah jangan memelihara dendam. Itu akan mendidik kita untuk rukun dan percaya pada sistem yang ada. Tapi sebelum itu, tentu meredakan.Caranya?Pertama, kubu-kubu jangan lagi ada deklarasi. Kedua, semua tokoh harus berhenti membangun opini di udara maupun di darat. Di darat melalui unjuk rasa. Harus dikurangi. Hawa nafsu untuk beropini caranya mengekspresikan pendapat dengan demo harus dikurangi. Para pakar yang ingin membangun opini melalui medsos dan media cetak, online, elektronik, seolah-olah dia benar. Semua pendapat Anda boleh jadi benar, tapi Anda tidak membuat keputusan. Itu tidak mengikat. Yang mengikat keputusan yang ada di lembaga resmi. Lembaga resmi, mulai KPU, Bawaslu MK. Bantulah proses ini menjadi proses yang efektif dan tepercaya. Jangan diganggu dengan opini yang dibangun seakan-akan benar, tapi itu malah menambah masalah dan memperuncing ketegangan.


Pesan Anda kepada penyelenggara?

Anjuran saya agar semua institusi ini siap bekerja. Semua peserta pemilu kerahkan seluruh daya upaya untuk menghimpun bukti-bukti, supaya di persidangan resmi diperlihatkan secara transparan. Semua pihak harus didengarkan dengan perspektifnya sendiri-sendiri, jelaskan apa yang dianggap benar, kenapa merasa benar, apa bukti-buktinya agar seluruh masyarakat melihat. Akhirnya dua yang menentukan, logic power dan moral power berdasarkan referensi konstitusi. Kekuatan moral dan kekuatan logika (akal pikiran) itu akan menuntun semua manusia kepada penemuan kebenaran yang ditentukan dalam ranah MK.

Belakangan ada keinginan Jokowi bertemu Prabowo. Menurut Anda?

Jokowi bertemu dengan Prabowo tak usah serius, hanya bertemu saja, difoto, apalagi kalau mereka berdua membuat statement yang menenangkan masyarakat. Bagusnya keduanya bertemu di tempat yang netral, bukan di rumah Prabowo, bukan juga di istana. Tapi itu kembali kepada pertimbangan masing-masing. Kalau menurut saya dari pihak luar, itu tidak akan menyelesaikan masalah politiknya, tapi cukup memberi dampak pendidikan politik kepada rakyat, tanpa harus ditafsirkan bahwa masalah sudah selesai. Masalah tetap harus diproses dengan prosedur resmi.

Bagaimana dengan elite politik?

Elite politik yang ikut berbicara di udara juga harus disetop. Uruslah pekerjaan masing-masing, jangan ikut memanas-manasi. Kalau begitu, sama saja dengan mendelegitimasi proses sehingga masyarakat semakin tidak percaya dengan proses. Orang yang tadinya dikalahkan dengan keputusan resmi, lalu menganggap untuk apa mengajukan tuntutan ke MK? Jadi, tidak perlu ada statement dari elite politik yang mendahului sebab proses dalam pengadilan itu sifatnya kanalisasi sekaligus pendidikan politik. Jadi bukan sekadar menang dan kalah.

Pandangan Anda tentang revolusi mental?

Revolusi mental itu kan jargon untuk perubahan mental. Itu kan visi-misi yang baik untuk jangka panjang. Pendidikan di Indonesia belum mendukung untuk adanya revolusi mental sehingga saya setuju dengan adanya istilah revolusi mental itu. Namun, sebenarnya bukan hanya mentalnya, tapi semuanya. Pikiran, perasaan, karakter harus direvolusi disesuaikan dengan kebutuhan zaman. 

Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.Jabatan : Ketua Umum ICMI
Pekerjaan : Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia 
Lahir: 17 April 1956 (usia 63 tahun), Palembang
Istri : Tuty Amalia
Anak: Mieska Alia Farhana, Fajh Robby Ferliansyah, Sheera Maulidya, Afida Nurulfajria, Rafi Fahrazi
Pendidikan: Universitas Indonesia, Rijksuniversiteit Leiden

Reportase : Sherlya Puspita Sari
Editor : Eko B Harsono

Sumber:
http://m.harnas.co/2019/04/26/bawa-konflik-pemilu-ke-persidangan

About the author

➖ Kampus UI Depok Jl. Prof. Mr. Djokosoetono, Kampus FHUI Gedung A Depok 16424, Jawa Barat Telepon (021) 7270003, 7863288 Faks (021) 7270052. E-mail: humas-fh@ui.ac.id & lawschool@ui.ac.id ... ➖ Kampus UI Salemba Gedung IASTH Lt. 2, Jl. Salemba Raya No.4, Jakarta 10430 Tel : (021) 31909008 Faks : (021) 39899148
Humas FH UI