Baru-baru ini beredar luas rekaman video yang memperlihatkan bagaimana kapal perang TNI Angkatan Laut RI ditabrak oleh kapal penjaga pantai dari Vietnam pada Sabtu (27/2/2019) di wilayah Laut Utara Natuna. Tentu saja hal ini menimbulkan reaksi yang sangat beragam. Namun, ada beberapa hal yang perlu kita pahami bersama.
Sengketa wilayah laut
Insiden itu terjadi karena di sebagian wilayah utara Pulau Natuna masih terdapat batas zona ekonomi eksklusif (ZEE) yang belum disepakati antara Indonesia dan Vietnam. Selain dengan Vietnam, Indonesia hingga saat ini juga masih memiliki pekerjaan rumah untuk menyelesaikan perbatasan laut teritorial dengan Malaysia, Singapura, dan Timor Leste. Perbatasan ZEE dengan Malaysia, India, dan Palau serta perbatasan Landas Kontinen dengan Malaysia dan Palau.
Perlu dicatat, sesuai Pasal 56 UNCLOS 1982, kewenangan negara dalam ZEE bukanlah sebuah kedaulatan (sovereignty), melainkan hak berdaulat (sovereign rights). Hal itu berarti negara memiliki kewenangan penegakan hukum yang terbatas pada pemanfaatan sumber daya kelautan, baik hayati maupun nonhayati di kolom air zona ini. Hal mana akan berbeda dengan status laut wilayah yang berlaku seluruh hukum nasional dari negara pantai secara penuh.
Regulasi yang berlaku di atas permukaan ZEE adalah rezim laut bebas di mana terdapat beberapa kebebasan bagi kapal asing. Oleh karena itu, wilayah permukaan air di atas ZEE sering kali disebut laut bebas yang khusus (sui generis) karena masih terdapat hak berdaulat negara pantai di kolom airnya.
Sesuai dengan hukum internasional, negara yang memiliki wilayah laut berbatasan diwajibkan melakukan negosiasi dalam mencapai kesepakatan atas batas wilayahnya. UNCLOS 1982 telah memberikan petunjuk bagaimana negara pantai bisa menyepakati batas wilayah lautnya, termasuk ZEE.
Dalam menyelesaikan perundingan batas wilayahnya, tidak ada batas waktu yang diberikan kepada negara-negara dalam hukum internasional. Akan tetapi, semakin lama proses kesepakatan itu tertunda, insiden- insiden seperti yang telah terjadi antara Indonesia dan Vietnam akan kerap terjadi. Saling klaim dan sama-sama merasa berwenang dalam penegakan hukum di wilayah tersebut.
Pasal 15, Pasal 74, dan Pasal 83 UNCLOS pada dasarnya telah mengatur bagaimana delimitasi batas maritim antarnegara seharusnya dilakukan. Khusus Pasal 74, UNCLOS memberikan mandat kepada negara-negara yang sedang berunding untuk membuat sebuah kesepakatan atau pengaturan sementara yang bertujuan untuk tak melakukan tindakan-tindakan yang saling merugikan dan menghambat proses pencapaian kesepakatan batas wilayah itu.
Hal ini sebenarnya telah dicontohkan oleh Indonesia dan Malaysia dalam membuat pengaturan sementara atas ZEE yang sedang dinegosiasikan dalam bentuk memorandum of understanding Common Guidelines Concerning Treatment of Fishermen by Maritime Law Enforcement Agencies of Malaysia and The Republic of Indonesia (MoU Common Guidelines) pada 27 Januari 2012 di Bali.
MoU ini berisi tentang petunjuk umum bagi aparat penegak hukum di laut kedua negara dalam merespons para nelayan, baik dari Indonesia maupun Malaysia, yang tersesat atau melakukan penangkapan ikan di zona yang masih dipersengketakan. Khusus bagi kapal nelayan berukuran kurang dari 10 GT, aparat hukum membantu mereka untuk kembali ke perairan masing-masing tanpa melakukan proses hukum kecuali nelayan yang menggunakan bahan peledak dan/atau kimia. Pengaturan ini terbukti efektif, paling tidak sejak 2012 tak terdengar ada konflik lagi antara aparat penegak hukum laut kedua negara.
Dalam penggunaan kekuatan di laut, perhatian juga harus diberikan pada Pasal 301
UNCLOS. Negara-negara harus menahan diri untuk memberikan ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap integritas teritorial negara mana pun dalam menjalankan hak dan kewajiban negara.
Dalam konteks insiden Indonesia dan Vietnam, telah jelas bahwa kapal dinas perikanan Vietnam telah melanggar ketentuan ini dengan secara sengaja menabrakkan kapalnya terhadap KRI Tjiptadi 381. Jika kapal perang Indonesia rusak, sudah jelas Vietnam bertanggung jawab atas timbulnya kerugian tersebut. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 31 UNCLOS.
Pelajaran dan langkah ke depan
Dari pihak Indonesia, perlu diperhatikan bahwa para tentara TNI AL dengan baik telah menahan diri dalam menggunakan kekerasan militer meski dalam tubrukan itu KRI dapat menanggapi hal tersebut sebagai tindakan ancaman atau serangan terhadap integritas negara Indonesia. Kondisi ini memberikan hak kepada KRI untuk melakukan prosedur yang berlaku berupa tembakan peringatan hingga tembakan melumpuhkan untuk menghindari insiden tubrukan tersebut.
Sikap menahan diri dan tidak terpancing emosi ini menunjukkan sikap kebesaran bangsa Indonesia yang tidak mudah terpancing atas provokasi yang mungkin akan menyulut ketegangan di kawasan. Namun, perlu digarisbawahi juga bahwa Indonesia tak boleh terlalu pasif dalam menyikapi tindakan Vietnam ini. Indonesia perlu dengan keras memprotes aksi tubrukan kapal dinas perikanan Vietnam. Hal ini telah dilakukan oleh Pemerintah RI secara terukur (Kompas, 30/4/2019).
Khusus untuk mengantisipasi kemungkinan ketegangan ini akan terulang, maka insiden ini diharapkan menjadi pendorong bagi Indonesia dan Vietnam untuk duduk bersama melanjutkan negosiasi batas-batas wilayah laut yang belum diselesaikan, terutama ZEE di utara Natuna.
Dengan semangat zero conflict, kedua negara sebaiknya melaksanakan amanat Pasal 74 UNCLOS 1982 untuk membuat pengaturan bersama. Hal ini dapat disepakati dan dituangkan dalam bentuk MoU Common Guidelines seperti dilakukan Indonesia dan Malaysia.
Secara umum, penyelesaian batas wilayah laut Indonesia dengan semua negara tetangga yang berbatasan akan menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah. Janji kampanye dalam membuat penghidupan yang lebih baik bagi rakyat Indonesia pun tak hanya difokuskan pada kondisi dalam negeri, tetapi juga bagaimana Indonesia dapat berdiri tegak dalam hubungannya dengan negara lain yang mengedepankan rule of international law.
Sumber: https://kompas.id/baca/opini/2019/05/08/batas-wilayah-laut-dan-hak-berdaulat/