Sejak Undang-undang (UU) tentang Ketenagakerjaan berlaku mulai 25 Maret 2003 sampai saat ini, belum lahir peraturan pemerintah (PP) sebagai aturan pelaksana mengenai pengupahan, sebagaimana diisyaratkan Pasal 97 UU Nomor 13 Tahun 2003.
Namun demikian, ketentuan peraturan yang telah ada sebelum UU Ketenagakerjaan yang baru ini terbit, sepanjang tidak bertentangan masih tetap berlaku. Buktinya, PP No. 8/1981 tentang Perlindungan Upah masih tetap berlaku, terutama ketentuan yang berlaku umum dalam beleid tersebut.
Meskipun untuk hal-hal yang bersifat rinci dan teknis, ketentuannya sudah silih berganti dan pengaturannya dalam bentuk peraturan menteri atau keputusan menteri. Sehingga, hal ini mudah menyesuaikan dengan kondisi yang ada.
Pemerintah telah mempersiapkan rancangan peraturan pemerintah (RPP) yang akan menggantuikan PP No. 8/1981, yang sudah lama dan dirasa tidak up to date lagi. PP baru yang disiapkan tampaknya tidak hanya mengatur mengenai hal-hal yang bersifat umum, tapi juga yang menimbulkan kontroversi. Alhasil, aksi bermunculan untuk menolak disahkannya RPP Upah.
Pertanyaannya: mengapa upaya pemerintah untuk menyusun peraturan tentang upah yang baru dan disesuaikan dengan perkembangan masyarakat serta pertumbuhan ekonomi justru mendapat protes, khususnya dari kalangan buruh?
Beberapa hal yang sebelumnya tidak diatur dalam PP No. 8/1981 dan akan tercantum dalam PP yang baru adalah, pertama, tentang upah minimum. Ketentuan mengenai upah minimum selama ini diatur dalam peraturan menteri tenaga kerja dan transmigrasi. Kedua, penetapan besaran upah minimum yang selama ini ditentukan dengan keputusan gubernur setiap tahun, lewat PP yang baru akan dijadikan dua tahun.
Ketiga, kebutuhan hidup layak (KHL) dengan rincian yang berbeda yang ada saat ini, meskipun komponennya bertambah. Dan terakhir, keempat, pemberian upah yang dikaitkan dengan prestasi kerja dan kemampuan perusahaan.
Pemerintah mengatakan. PP yang baru dimaksudkan untuk mendorong produktivitas di perusahaan dan memberi kepastian hukum bagi pekerja untuk mendapatkan upah yang sesuai. Karena itu, pengusaha wajib menerapkan struktur dan skala upah yang proporsional di tingkat perusahaan.
Sementara, struktur dan skala upah di perusahaan tentunya dibuat oleh pengusaha yang disesuaikan dengan kemampuan dan kebijakan perusahaan. Belum ada pedoman yang pasti untuk mengukur kemampuan dan kebijakan perusahaan.
Upah minimum yang ditentukan pemerintah baru memenuhi sebagian kebutuhan hidup.
Baru Sebagian
Upah terkait erat dengan pekerjaan yang dilakukan. Pekerja yang melakukan pekerjaan semestinya bisa bekerja dengan tenang, sehingga dengan sendirinya produktivitas meningkat. Tapi kenyataannya, upah yang diterima pekerja masih belum bisa menjadikan pekerja bekerja dengan tenang. Sebab, belum bisa memenuhi seluruh kebutuhan hidup, baik sebagai pekerja apalagi sebagai pemberi nafkah keluarga. Upah minimum yang ditentukan pemerintah baru memenuhi sebagian kebutuhan hidup saja.
Penentuan upah yang setiap tahun saja belum bisa mengejar kenaikan harga kebutuhan hidup. Oleh karena itu, sebagaimana sebutannya minimum, selayaknya memang pekerja mendapatkan yang lebih dari yang minimum. Standar minimal tidak semata-mata terkait dengan masa kerja dan kinerja, tapi sangat tergantung dengan riil yang dibutuhkan pekerja untuk bisa hidup layak.
Bila penetapan upah minimum dijadikan setiap dua tahun, tampaknya akan semakin jauh dari kenyataan yang ada. Pengusaha bisa mengatur mengenai upah di dalam peraturan perusahaannya. Tentunya, peraturan perusahaan tidak boleh mengatur yang lebih rendah dari yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Apabila terjadi pelanggaran, maka sanksi perlu diterapkan terhadap perusahaan.
Pekerja dan pengusaha juga bisa merundingkan dan menentukan upah dalam perjanjian kerja atau perjanjian kerja bersama, walaupun kerap terdengar bahwa apa yang diperjanjikan belum sesuai dengan ketentuan. Untuk itu, perlu ditingkatkan peran serikat pekerja yang punya komitmen untuk memperjuangkan kepentingan para buruh.
Prinsip bahwa pemerintah menentukan upah minimum hanya sebagai regulator, perlu didukung oleh aparat yang bisa mengawasi pelaksanaan ketentuan yang dibuat. Bila para pekerja tidak bisa berunding secara seimbang dengan pengusaha, bagaimana mungkin mereka akan memperoleh yang terbaik untuk kehidupannya.
Bayangan bahwa posisi pekerja yang tidak seimbang dengan pengusaha dalam hubungan kerja dan kondisi hubungan industrial yang belum menjamin perlindungan bagi pekerja, akan menimbulkan kekhawatiran yang akan terjadi setelah disahkannya RPP Upah justru menambah kesengsaraan para pekerja. Itulah sebabnya, akhir-akhir ini terjadi protes dari kalangan pekerja.
Pemerintah tidak cukup hanya sebagai regulator, tapi juga harus menjadi pelindung, bagi pekerja. Untuk itu, RPP Upah yang diusulkan harus dibarengi dengan upaya nyata bentuk perlindungan bagi pekerja. Pengawasan harus lebih ditingkatkan. Makanya, perlu peningkatan jumlah dan kualitas pengawas. Koordinasi antarlembaga pemerintah, baik di pusat maupun di daerah, agar tidak ada benturan kepentingan.
Soalnya, pekerja dan pengusaha adalah bagian dari kewajiban pemerintah untuk memberi perlindungan kepada warga negara. Untuk niat dan tujuan yang baik, tentu perlu disampaikan dengan santun untuk bisa diterima dan dimusyawarahkan secara bersama-sama.
Siti Hajati Hoesin
Dari Kontan Mingguan Edisi 30-06-2014 Senin, 30 Juni 2014