Di era globalisasi yang terjadi di dunia saat ini, kewarganegaraan ganda menjadi hal yang penting. Aliansi Pelangi Antar Bangsa (APAB) mendorong perubahan Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI yang pada saat ini sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR 2020-2024 agar dapat masuk dalam prioritas pembahasan di 2021.
Dalam kurun waktu 60 tahun terakhir ini telah terjadi suatu perubahan yang besar secara mendunia atas pengakuan kewarganegaraan ganda sebagai akibat dari pesatnya migrasi, komunitas diaspora yang semakin besar, serta meningkatnya upaya integrasi regional.
Keadaan dari kecenderungan mobilitas global saat ini, kenyataannya semakin banyak warga negara Indonesia menikah dengan warga negara asing, dan pada situasi tertentu mereka memutuskan untuk menetap di Indonesia maupun tinggal di luar negeri secara permanen atau untuk sementara.
Kecenderungan tersebut sebagian sudah diakui oleh Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan serta Undang-Undang No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, dimana suami/istri warga negara asing yang menikah dengan warga negara Indonesia mendapatkan izin tinggal tetap di Indonesia (KITAP) serta pemberian kewarganegaraan ganda terbatas kepada anak dari perkawinan campuran pada saat lahir.
“Langkah maju seperti ini merupakan langkah pertama yang positif untuk mengakomodir kenyataan yang terjadi saat ini dimana dunia semakin terhubung nyaris tanpa batas”, kata Ketua APAB Nia Schumacher pada webinar bertajuk ‘Kewarganegaraan Ganda untuk Keluarga Perkawinan Campuran’ beberap waktu lalu.
Namun demikian, kata Nia dalam kerangka hukum Indonesia saat ini, keluarga perkawinan campuran masih menghadapi banyak kendala. “Kurangnya perlakuan yang setara di bawah hukum Indonesia mengakibatkan sulitnya untuk mendapatkan kesejahteraan keluarga perkawinan campuran,” ujarnya.
Hal ini semakin nyata dengan terjadinya pandemi virus corona (Covid-19), dimana banyak keluarga perkawinan campuran mengalami kepedihan karena terjadi perpisahan maupun masalah lain karena adanya peraturan pembatasan keluar-masuk negara serta gangguan layanan keimigrasian baik di Indonesia maupun negara lainnya.
Dari sudut pandang hak asasi manusia (HAM), beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia secara langsung membatasi pemenuhan beberapa hak-hak utama yang mendasar dari keluarga perkawinan campuran, dimana hak-hak tersebut diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 serta beberapa instrumen pokok HAM yang sudah diratifikasi oleh Indonesia.
Pembatasan lainnya adalah persyaratan yang diatur di Pasal 6 Undang-Undang Kewarganegaraan yang mewajibkan anak dari keluarga perkawinan campuran memilih satu kewarganegaraan setelah mencapai umur 18 tahun. Persyaratan tersebut membatasi hak anak untuk mempertahankan identitas sepenuhnya, dan tidak mengenali potensi orang berkewarganegaraan ganda untuk bertindak sebagai jembatan antara Indonesia dan negara-negara lain dengan menyumbangkan keterampilan dan perspektif dunia mereka.
Seperti yang diutarakan oleh mantan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat periode 2014-2019 Fahri Hamzah mengatakan, “Kemanusiaan harus mendapatkan tempat tertinggi dan inipun sudah sesuai dengan falsafah Pancasila. Apa hak kita untuk membatasi hak anak yang tidak tahu menahu ibu dan bapak memiliki kewarganegaraan yang berbeda,” tuturnya.
Dalam kaitannya ini dan mengingat Pasal 16.3 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia yang mengakui keluarga sebagai “kelompok alamiah dan fundamental di tatanan sosial” yang berhak mendapatkan “perlindungan dari masyarakat dan Negara”, APAB mengusulkan revisi Undang Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang akan memungkinkan anak dari keluarga perkawinan campuran, serta istri dan suami setelah 10 tahun usia perkawinannya, untuk memperoleh kewarganegaraan ganda semur hidup.
Menurut Guru Besar Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Prof. Susi Dwi Harijanti, “Bila kewarganegaraan ganda dipandang sebagai ‘kebutuhan atau keperluan’, beberapa hal yang harus dipikirkan, termasuk kualifikasi terkait dengan kriteria subjek yang diakui memiliki kewarganegaraan Indonesia dan secara simultan memiliki kewarganegaraan asing.”
Sedangkan wakil Indonesia di Komisi HAM ASEAN (Intergovernmental Commission on Human Rights – AICHR Yuyun Wahyuningrum, mendukung upaya-upaya diskusi tentang kewarganegaraan ganda karena selama ini isu tersebut selalu dilihat dari kacamata sensitif.
“Mudah-mudahan hal ini bisa membuka pintu selebar-lebarnya agar isu yang selama ini tidak bisa didiskusikan akan bisa didiskusikan; di Indonesia dan bahkan di ASEAN masih kurang dibahas,” katanya.
Selanjutnya Associate Professor, Fakultas Hukum Universitas Indonesia Heru Susetyo, menyampaikan tuntutan kewarganegaraan ganda untuk keluarga perkawinan campuran menjadi relevan karena sesuai dengan tuntutan jaman serta globalisasi dan perlindungan HAM. “Disamping itu, negara juga akan mendapat manfaat dari pemberlakuan kewarganegaraan ganda ini,” imbuhnya.
APAB didirikan pada bulan September 2002 dan merupakan perkumpulan yang terdiri dari beberapa organisasi perkawinan campuran, termasuk Srikandi, Komunitas Melati Worldwide (Komet VW), Cross Cultural Couples Club (C4) dan DIANA, serta individu yang menaruh perhatian kepada situasi keluarga perkawinan campuran baik di Indonesia maupun di luar negeri.
Secara keseluruhan, APAB mewakili lebih dari 6,000 anggota keluarga perkawinan campuran yang tinggal di Indonesia dan di luar negeri. Selama 2 dekade terakhir, advokasi APAB kepada kementerian, DPR dan pemangku kepentingan lain telah berkontribusi kepada pengakuan dan perlindungan yang lebih besar terhadap hak-hak keluarga perkawinan campuran, terutama dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI dan Undang-Undang No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.
Sumber: https://www.womanindonesia.co.id/apab-dorong-perubahan-uu-untuk-kewarganegaraan-ganda/