Jelang penghujung 2022, Presiden Joko Widodo menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 1 Tahun 2022 tentang Perubahan atas UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Perppu Pemilu). Terdapat tiga hal yang disebut melatarbelakangi kelahiran Perppu Pemilu. Pertama, tindak lanjut pembentukan Provinsi Papua Selatan, Papua Tengah, Papua Pegunungan, dan Papua Barat Daya. Kedua, sebagai implikasi adanya provinsi baru, perlu dilakukan penataan daerah pemilihan (dapil) dan alokasi kursi pemilu DPR, DPD, dan DPRD Provinsi, serta kelembagaan penyelenggara pemilu tanpa mengganggu penyelenggaraan tahapan Pemilu 2024. Ketiga, Perppu Pemilu dibutuhkan dalam rangka mewujudkan kelancaran penyelenggaraan Pemilu 2024 melalui perubahan beberapa norma dalam UU 7/2017.
Ada sejumlah pengaturan baru yang termuat dalam Perppu Pemilu. Antara lain, penambahan jumlah kursi DPR dari 575 menjadi 580; penentuan nomor urut partai politik peserta pemilu pemilik kursi di DPR yang dapat menggunakan nomor urut yang sama seperti Pemilu 2019; usia minimal calon anggota panwaslu kecamatan, panwaslu kelurahan/desa, dan pengawas TPS yang turun dari 25 menjadi paling rendah 21 tahun. Lalu perubahan waktu dimulainya masa kampanye; serta penambahan jumlah kursi DPRD Banten dari 85 menjadi 100 kursi dan DPRD Sulawesi Tengah dari 45 menjadi 55 kursi.
Sejumlah pengaturan dalam Perppu Pemilu langsung ditindaklanjuti penyelenggara pemilu, meliputi pengundian nomor urut partai politik peserta Pemilu 2024 pada 14 Desember 2022 yang memberikan pilihan pada partai politik pemilik kursi di DPR untuk menggunakan nomor yang sama pada Pemilu 2019. Terdapat delapan partai parlemen yang memutuskan menggunakan nomor urut sama dengan pemilu sebelumnya.
Penataan dapil dan alokasi kursi dilakukan KPU dengan menerbitkan Peraturan KPU No 6 Tahun 2023 tentang Daerah Pemilihan dan Alokasi Kursi Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dalam Pemilu Tahun 2024, pada 6 Februari 2023. Sementara itu, pembentukan KPU dan Bawaslu Provinsi di Papua Selatan, Papua Tengah, Papua Pegunungan, dan Papua Barat Daya ditindaklanjuti KPU dengan mengeluarkan Peraturan KPU No 5 Tahun 2023 tentang Pembentukan KPU Provinsi pada Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, Provinsi Papua Pegunungan, dan Provinsi Papua Barat Daya, pada 27 Januari 2023. Seleksi panwaslu kelurahan/desa sudah dilakukan jajaran Bawaslu antara Januari sampai awal Februari 2023 dengan merujuk syarat usia dalam Perppu Pemilu.
Anomali hukum
Akan tetapi, di tengah kelahiran Perppu Pemilu yang dianggap krusial bagi Pemilu 2024, ternyata terdapat anomali hukum yang cukup ironis. Pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 memang mengatur bahwa dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. Selanjutnya ayat (2) pasal tersebut menyebut bahwa perppu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut, serta ayat (3) menyatakan jika tidak mendapat persetujuan, peraturan pemerintah itu harus dicabut.
Ketentuan lebih lanjut terkait teknis persetujuan perppu terdapat dalam Pasal 52 dan Pasal 71 UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Penjelasan Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011 mengatur bahwa yang dimaksud dengan ‘persidangan yang berikut’ ialah masa sidang pertama DPR setelah perppu ditetapkan. Diatur pula bahwa pengajuan perppu ke DPR untuk mendapatkan persetujuan dilakukan dalam bentuk pengajuan rancangan undang-undang tentang penetapan perppu menjadi UU. Dalam hal perppu tidak mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, perppu tersebut harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku.
Putusan MK No 138/PUU-VII/2009 mengatur bahwa perppu melahirkan norma hukum baru sejak perppu disahkan dan nasib dari norma hukum tersebut tergantung kepada persetujuan DPR untuk menerima atau menolak norma hukum perppu. Namun, sebelum adanya pendapat DPR untuk menolak atau menyetujui perppu, norma hukum tersebut ialah sah dan berlaku seperti undang-undang.
Perppu Pemilu ditetapkan Presiden Joko Widodo pada 12 Desember 2022. Berdasarkan kalender kerja DPR, persidangan yang berikut ialah merujuk pada masa sidang pertama setelah Perppu Pemilu diterbitkan, yaitu masa persidangan III tahun sidang 2022-2023. Masa Persidangan III dimulai pada 10 Januari hingga 16 Februari 2023. DPR sendiri telah mengakhiri masa persidangan III pada Kamis, 16/2/2023 yang mana sampai dengan penutupan masa persidangan III tahun sidang 2022-2023 DPR tidak memberikan persetujuan atas Perppu No 1/2022.
Perppu Pemilu itu memang unik. Saat proses pembentukannya, pemerintah dan DPR beberapa kali melakukan pembahasan bersama atas materi-materi yang akan diatur di dalam perppu. Bahkan, dengan melibatkan penyelenggara pemilu dalam beberapa konsinyasi yang mereka lakukan. Hal itu tak ayal menimbulkan pertanyaan soal keterpenuhan kondisi hal ihwal kegentingan memaksa sebagai prasyarat lahirnya perppu. Sementara itu, pemerintah dan DPR masih bisa melakukan pembahasan secara bersama-sama.
Bisa jadi itu pulalah yang membuat pemerintah dan DPR seolah merasa sudah bersetuju soal Perppu Pemilu. Namun, itu bukan ‘persetujuan’ sebagaimana dikehendaki UUD berupa pembahasan bersama pada masa sidang yang berikut serta persetujuan yang dilakukan dalam rapat paripurna DPR. Itu disebabkan Perppu Pemilu tidak mendapatkan persetujuan DPR dalam rapat paripurna masa persidangan pertama setelah perppu ditetapkan berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (2) dan Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 jo Pasal 52 UU 12/2011, Perppu Pemilu harus dicabut dan keberlakuannya menjadi gugur.
Harus berbenah
Seluruh pengaturan yang ada dalam Perppu Pemilu dimulai sejak 16 Februari 2023 ialah tidak berlaku dan kembali merujuk pada UU 7/2017. Sementara itu, untuk norma-norma Perppu Pemilu yang sudah diimplementasikan selama masa keberlakuan perppu, yakni antara 12 Desember 2022 sampai dengan 16 Februari 2023, ialah tetap berlaku dan sah mengikat para pihak. Kegagalan dalam pembahasan dan persetujuan Perppu Pemilu merupakan noktah hukum yang jadi ironi dalam praktik ketatanegaraan Indonesia. Menimbulkan pertanyaan serius soal kesungguhan dalam menyiapkan kerangka hukum yang tertib dan berkepastian bagi penyelenggaraan Pemilu 2024. Tak ada dalil yang bisa jadi pembenar atas kelalaian ini sebab prosedur dan aturan mainnya sangat jelas dan terang benderang. Akrobat hukum mencari pembenaran atas tidak adanya persetujuan Perppu Pemilu hanya membuat kita makin tampak bermain-main dengan konstitusi dan regulasi. Lebih baik mengakui kesalahan ataupun kelalaian dan selanjutnya serius melakukan pembenahan hukum dengan menyeluruh. Biar ini jadi pil pahit yang terpaksa ditelan untuk pertama dan terakhir kali.
Titi Anggraini Pembina Perludem dan pengajar pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Sumber: https://m.mediaindonesia.com/opini/567195/anomali-hukum-perppu-pemilu