Untuk jangka panjang, sudah saatnya pemerintah meninjau untung dan rugi sebagai anggota ICSID dan pada forum OKI. Pemerintah perlu memikirkan secara serius opsi untuk menarik diri dari lembaga penyelesaian sengketa macam ini.
PADA 24 Februari 2014, Majelis Arbitrase pada International Center forSettlement of Investment Dispute (ICSID) yang terdiri dari GabrielleKaufmann-Kohler (berkebangsaan Swiss), Albert Jan van Den Berg(berkebangsaan Belanda), dan Michael Hwang (berkebangsaan Singapura), telah membuat putusan.
Majelis ini memeriksa gugatan yang diajukan Planet Mining Pty Ltd yangdidirikan berdasarkan hukum Australia dan merupakan anak perusahaan Churchill Mining Plc yang didirikan berdasarkan hukum Inggris dan Wales (Churchill), sebagai claimant terhadap pemerintah Indonesia selaku respondent. Dalam putusan tersebut dinyatakan bahwa Majelis Arbitrase memiliki kewenangan (jurisdiction) atas sengketa yang diajukan.
Sengketa yang membawa pemerintah Indonesia ke ICSID kali ini merupakan gugatan Churchill yang didaftarkan pada 22 Juni 2012. Yakni, sengketa terkait dengan hak untuk mengeksploitasi batu bara di Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Putusan ICSID yang dibuat belum lah menyentuh pokok perkara. Oleh karenanya, pemerintah tidak dapat dikatakan ‘kalah’. Putusan masih terkait dengan kewenangan Majelis Arbitrase untuk memeriksa perkara. Untuk dipahami, dalam proses beperkara di lembaga peradilan, termasuk di ICSID, pada intinya ada tiga tahapan yang harus dilalui.
Pertama menentukan apakah lembaga peradilan memiliki kewenangan untuk memeriksa suatu perkara yang diajukan. Istilah hukum yang dikenal diIndonesia ialah eksepsi. Majelis yang memeriksa perkara akan menentukan apakah dirinya berwenang atau tidak melalui sebuah putusan.
Dalam perkara Churchill, putusan Majelis Arbitrase ada pada tahap ini. Di tahap ini pemerintah memiliki upaya hukum berupa pembatalan (annulment) atas putusan terkait dengan kewenangan Majelis Arbitrase. Hal tersebut diatur dalam Pasal 52 ayat 1 Konvensi ICSID. Jangka waktu yang diberikan untuk melakukan upaya hukum ini ialah 120 hari sejak putusan diterbitkan.
Namun, tahap berikutnya, bila pemerintah tidak menggunakan upaya hukum pembatalan, Majelis Arbitrase akan memasuki tahap pemeriksaan atas pokok perkara. Tahap pemeriksaan pokok perkara akan terkait dengan apa yang menjadi dasar gugatan dan jawaban atas gugatan. Dalam proses ini, Majelis Arbitrase akan memeriksa saksi fakta, bukti, termasuk juga penyampaian keterangan ahli. Selanjutnya, proses pemeriksaan pokok perkara akan berakhir dengan suatu putusan. Putusan berisi dikabulkan tuntutan penggugat untuk seluruhnya, dikabulkan tuntutan untuk sebagian, atau tuntutan ditolak.
Setelah putusan atas pokok perkara, tahap berikutnya ialah tahap pelaksanaan (enforcement) dari putusan. Tahap ini bukanlah hal yang mudah. Tenaga, waktu, dan biaya masih dibutuhkan, terutama bila pihak yang dikalahkan tidak mau menjalankan putusan secara sukarela.
Apa itu ICSID?
Apakah ICSID merupakan lembaga arbitrase yang sama dengan BadanArbitrase Nasional Indonesia (BANI)? Lalu, mengapa pemerintah sebagai regulator yang mempunyai kedudukan yang tinggi ketimbang badan hukum, atau orang per orang, dapat dihadapkan pada lembaga ICSID?
Keberadaan ICSID tidaklah sama dengan BANI. ICSID merupakan lembaga penyelesaian sengketa untuk menyelesaikan sengketa pelaku usaha yang merupakan investor dari suatu negara terhadap pemerintah dari negara lain sebagai penerima investasi (host state). ICSID dalam konteks demikian lebih menyerupai pengadilan tata usaha negara (PTUN). Di PTUN, sama seperti di ICSID, pemerintah yang menjadi pihak tergugat.
Perbedaan yang mendasar antara PTUN dan ICSID ialah di PTUN, bila pemerintah dikalahkan, pemerintah tidak dihukum dengan kewajiban membayar ganti rugi. Hal tersebut tidak berlaku di ICSID. ICSID layaknya pengadilan perdata atau arbitrase bisa memberi hukuman berupa ganti rugi terhadap pemerintah bila dikalahkan. ICSID didirikan berdasarkan sebuah perjanjian internasional dengan nama Convention on the Settlement of Investment Disputes between States and Nationals of Other States (konvensi tentang penyelesaian sengketa investasi antara negara dengan warga negara dari negara lain). Konvensi ini dibuat pada 1965 dan mulai berlaku pada Oktober 1966. Indonesia telah meratifikasi dan menjadi anggota sejak 28 Oktober 1968.
Inisiatif dimunculkannya perjanjian tersebut ialah untuk melindungi investasi yang dilakukan antarnegara ketika terjadi sengketa. Salah satu yang menjadi kekhawatiran investor asing ketika melakukan investasi di negara lain ialah nasionalisasi atas modal yang ditanam, mendapat perlakuan diskriminatif, hingga diperlakukan secara semena-mena oleh pemerintah penerima investasi.
Konvensi ICSID dibuat untuk melengkapi perjanjian bilateral untuk melindungi investor (bilateral investment treaty) yang dibuat antara negara asal investor dan negara yang menerima investasi. Indonesia memiliki banyak BIT dengan sejumlah negara, termasuk dengan Australia dan Inggris. Pemerintah sebagai pihak yang digugat ke ICSID ialah pemerintah pusat. Hal itu terlepas apakah tindakan yang dianggap melanggar dilakukan oleh pemerintah daerah, kementerian, ataupun lembaga-lembaga pemerintah lainnya.
Dalam konteks demikian, tidak mengherankan bila Presiden Yudhoyono mewanti-wanti agar pemerintah daerah, terutama kabupaten dan kota yang jumlahnya lebih dari 300, hati-hati dalam membuat keputusan bila berkaitan dengan investor asing. Bila ada pelaku usaha asing yang tidak puas dengan keputusan para kepala daerah, pemerintah Republik Indonesia-lah yang harus bertanggungjawab di depan ICSID. Ini seperti pepatah Jawa, anak polah bapak kepradah.
Sejumlah perkara
Hingga kini, di samping perkara yang diajukan Churchill, ada dua perkara hingga pemerintah Indonesia diajukan ke forum ICSID. Pertama, perkarayang diajukan oleh AMCO (AMCO Asia Coporation) yang didaftarkan pada 1981 dan telah selesai. Selanjutnya perkara yang diajukan Refat AliRizvi yang didaftarkan pada 2011 dan saat ini masih berjalan. Dalam perkara Refat, Majelis Arbitrase telah menyatakan dirinya tidak berwenang dalam memeriksa perkara. Hanya, Refat memanfaatkan upaya hukum yang tersedia dengan melakukan pembatalan atas putusan tersebut.
Untuk diketahui, ada lembaga peradilan yang mirip dengan ICSID dan Indonesia menjadi pesertanya. Lembaga peradilan ini didirikan berdasarkan kesepakatan negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam/OKI (The Organization of Islamic Conference). Saat ini pemerintah pun digugat oleh Hesham al-Warraq dalam perkara yang bertalian dengan perkara Refat di ICSID.
ICSID berbeda dengan forum arbitrase, yakni pemerintah membuat kontrak. Dalam kontrak karya (KK), seperti pemerintah dengan PT Freeport Indonesia atau PT Newmont Nusa Tenggara, maka pemerintah dalam kedudukan sebagai subjek hukum perdata. Pemerintah tidak berkedudukan sebagai subjek hukum publik sebagaimana di ICSID.
ICSID juga tidak sama dengan arbitrase yang menangani sengketa Karaha Bodas Company LLC melawan Pertamina. Arbitrase semacam itu merupakan arbitrase untuk menyelesaikan sengketa antar subjek hukum perdata.Pertamina dalam perkara tersebut berkedudukan sebagai badan hukum yang secara khusus dibentuk berdasarkan UU bukan sebagai pemerintah.
Namun, ada kemiripan antara ICSID dan lembaga arbitrase seperti BANI. Kemiripannya terkait dengan tata cara pemilihan Majelis Arbitrase, prosedur, dan fleksibilitas dalam berbagai hal. Di sinilah mengapaistilah ‘arbitrase’ digunakan dalam penyelesaian melalui ICSID. Meski ada kemiripan dengan lembaga arbitrase. Namun dalam ICSID, pihak yang dirugikan tidak perlu mempunyai perjanjian atau klausul arbitrase dengan pemerintah. Dalam konteks ICSID, investor asing yang memenuhi kriteria yang merasa diperlakukan secara tidak adil dan telah melewati saluran peradilan di Indonesia dapat mengajukan gugatannya ke ICSID. Dasar yang digunakan investor asing untuk menggugat pemerintah, di samping Indonesia merupakan anggota ICSID, juga adanya BIT.
Keluar dari ICSID
Saat ini pemerintah harus memiliki strategi yang kuat dan solid dalam menghadapi kasus-kasus arbitrase yang sedang berjalan. Refat dan Churchill di ICSID serta Hesham di Forum OKI. Untuk jangka panjang, sudah saatnya pemerintah meninjau untung dan rugi sebagai anggota ICSID dan pada Forum OKI. Pemerintah perlu memikirkan secara serius opsi untuk menarik diri (denounce/withdraw) dari lembaga penyelesaian sengketa macam ini.
Pemerintah mempunyai kesempatan untuk keluar dari ICSID berdasarkan Pasal 71 Konvensi ICSID dan Pasal 23 dari Agreement on Promotion, Protection and Guarantee of Investments among Member States of the Organisation of the Islamic Conference (Perjanjian tentang Promosi, Perlindungan dan Jaminan atas Investasi antar Negara dari OKI).
Opsi untuk keluar dari forum penyelesaian sengketa model ini tidak berarti menghilangkan hak investor asing untuk menggugat pemerintah. Pemerintah tetap bisa digugat atas kebijakannya, tapi dilakukan di PTUN. Tentunya tantangan bagi PTUN ialah menjadikan dirinya mampu menyelesaikan sengketa-sengketa yang ada unsur asingnya serta memperoleh dipercaya.
Sudah saatnya pemerintah ketika berhadapan dengan investor asing memosisikan diri seperti pemerintah negara maju. Investor asinglah yang wajib mengikuti peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang dibuat. Bukan sebaliknya. Dengan demikian, uang negara pun akan banyak terselamatkan karena pemerintah tidak lagi menjadi tambang hukum bagi investor asing. Oleh karenanya, langkah berani pemerintah SBY dinanti, dan ini akan menjadi legacy bagi pemerintahannya di waktu yang tersisa.
Hikmahanto Juwana
Guru Besar Hukum Internasional
Fakultas Hukum Universitas Indonesia
(Dimuat di Harian Media Indonesia, Senin, 3 Maret 2014)
Dari Media Indonesia Senin, 03 Maret 2014