SATUHARAPAN.COM – Korupsi sudah menjadi masalah di Indonesia selama puluhan tahun. Impitan ekonomi adalah penyebab awal perilaku koruptif. Gaya hidup konsumtif kemudian menjerumuskan lebih banyak orang untuk korupsi. Sikap permisif yang salah kaprah dari masyarakat dan ketidaksungguhan pemerintah dalam memberantas korupsi menjadikannya semakin marak. Ibarat penyakit, stadium korupsi berkembang secara pasti dari akut menjadi kronis, dari jinak menjadi ganas.
Pendekatan pemberantasan dan pencegahan korupsi secara formal sejauh ini terbukti tidak efektif. Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berhasil memberikan efek kejut dan efek jera kepada para penyelenggara negara. Masyarakat merasa ambigu dengan kinerja KPK. Di satu sisi keberhasilan KPK membongkar korupsi menyulam asa akan perbaikan. Namun di sisi lain pembongkaran tersebut menimbulkan rasa geram dan pilu, karena menunjukkan betapa masif dan berjemaahnya korupsi yang terjadi tanpa rasa malu.
Peningkatan gaji dan remunerasi penyelenggara negara juga tidak efektif mencegah perilaku korup. Sepertinya para koruptor melakukan cost-benefit analysis. Kemasifan dan keberjemaahan korupsi serta ketidaksungguhan penegakan hukum seakan mengurangi risiko tertangkap dan hukuman, dan menjadikan perilaku korup semakin mengiurkan.
Pemberantasan korupsi tidak mungkin kita serahkan kepada para penegak hukum. Sebagai pemegang kedaulatan, rakyat harus turun tangan untuk memperbaiki kondisi bangsa. Untuk itu kita perlu memikirkan strategi lain yang bersifat semesta dan langsung mengerakkan seluruh lapisan masyarakat.
Berolahraga bisa memecah kebuntuan pemberantasan korupsi. Ada empat alasan mengapa berolahraga bisa menjadi senjata ampuh dalam perang melawan korupsi.
Pertama, pada hakikatnya korupsi adalah kecurangan. Perbuatan curang adalah perbuatan yang tidak lurus hati, tidak jujur. Melalui korupsi koruptor menyelewengkan uang negara untuk keuntungan pribadi atau orang lain.
Lawan sifat curang adalah sifat jujur. Selain menghasilkan kebugaran jasmani, hasil kegiatan olahraga adalah berjiwa sportif. Sportivitas adalah sikap jujur dan adil. Tingginya animo seluruh lapisan masyarakat akan olahraga sepakbola adalah modal yang lebih dari cukup untuk mendorong masyarakat berolahraga. Apalagi FIFA, organisasi sepak bola dunia, mengusung slogan fair play, “bermain dengan jujur”. Berolahraga adalah berlatih jujur.
Kedua, olahraga dapat memberdayakan partisipasi masyarakat. Pendekatan secara formal yuridis sejauh ini telah memarginalkan peran masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi. Kemasifan dan keberjemaahan korupsi telah lama membuncahkan pikiran masyarakat. Namun sistem hukum dan politik yang ada menjadikan masyarakat impoten terhadap patgulipat penegakan hukum. Kita hanya bisa termangu atas kinerja para penegak hukum, sebab mereka tidak bertanggung jawab kepada masyarakat. Akibatnya masyarakat dilingkupi oleh sikap apatis dan rasa frustasi. Berbagai tindakan main hakim sendiri menjadi letupan kemuakan masyarakat.
Berolahraga merupakan suatu wahana partisipasi sosial-budaya di mana batasan formalitas hukum absen. Aturan main sepak bola, misalnya, adalah pengetahuan umum. Menang-kalah dalam pertandingan adalah hasil dari suatu proses yang melibatkan persiapan, strategi, dan kedisiplinan sesuai dengan aturan main. Dalam proses ini setiap individu mengambil peran dan tanggung jawab. Suatu proses yang menuntut partisipasi aktif dalam mencapai tujuan bersama. Dari perspektif hukum, partisipasi aktif ini adalah selaras dengan kedaulatan rakyat dalam kehidupan bernegara. Partisipasi aktif bukan hanya kewajiban, namun juga hak setiap warga negara yang bertanggung jawab.
Ketiga, olahraga permainan beregu seperti sepak bola adalah selaras dengan jiwa gotong-royong bangsa Indonesia. Setiap pribadi dalam gotong-royong mengambil tugas tertentu, sama halnya dengan seorang pemain dalam kesebelasan menempati posisi tertentu sesuai dengan strategi tim. Peranan pribadi atau pemain tersebut menentukan keberhasilan gotong-royong atau hasil pertandingan.
Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Demikianlah seharusnya sikap kita dapat mencegah dan memberantas korupsi secara sosial-budaya. Perang melawan korupsi adalah perang semesta. Setiap orang dari segenap lapisan masyarakat harus terlibat sesuai dengan kapasitasnya. Berolahraga melatih kita untuk mengambil tugas sesuai dengan porsi pribadi untuk masa depan Indonesia yang lebih baik.
Keempat, men sana in corpore sano. Penggalan puisi karya Juvenal, penyair Romawi dari abad pertama dan kedua Masehi, identik dengan mengajak orang berolahraga. Umumnya orang menerjemahkan penggalan ini ke dalam bahasa Indonesia menjadi “di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat”. Namun terjemahan ini tidak akurat. Kalimat utuh dari puisi tersebut adalah orandum est ut sit mens sana in corpore sano, yang berarti “kamu harus berdoa meminta pikiran yang sehat dalam tubuh yang sehat”.
Pikiran yang sehat adalah pikiran yang lurus. Pikiran suai-tuju yang mempertimbangkan segala aspek baik dan buruk dalam pengambilan keputusan untuk mencapai tujuan. Olahraga memberikan pelatihan terus-menerus kepada seluruh lapisan masyarakat untuk bersikap cermat dalam menghadapi suatu masalah. Suatu sikap yang harus kita miliki dalam menghadapi korupsi yang begitu merajalela.
Kita harus berpikir kreatif dalam memerangi korupsi. Kita harus berpikir dan bertindak dalam koridor sosial-budaya sesuai dengan modal sosial. Sportivitas adalah sikap yang hilang dalam kehidupan kita berbangsa. Untuk itu kita harus menumbuhkan sikap luhur ini di seluruh lapisan masyarakat secepat mungkin. Animo sudah ada. Tidak perlu menunggu fasilitas dari pemerintah, masyarakat mampu berswadaya. Berolahraga adalah usaha menjemput bola untuk melatih jiwa yang jujur dan pikiran yang lurus.
Yu Un Oppusunggu
Penulis adalah dosen Fakultas Hukum, UI
Dari Satu Harapan Kamis, 24 Juli 2014