Hari-hari ini media membahas dilanjutkan atau tidaknya pembahasan Rancangan Undang-undang Kitab Hukum Pidana dan Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana sesuai tuntutan Komisi Pemberantasan Korupsi dan para pegiat anti korupsi.
Pernyataan bahwa kedua RUU ini akan menggerogoti KPK tentu membuat semua orang Indonesia berang. Lalu apakah sumber kegaduhan sebenarnya? Sungguhkah ini manuver politik untuk mendebilitasi KPK?
RUU KUHP sebenarnya bukan RUU yang muncul kemarin sore, tetapi sudah dirancang sejak awal 1970-an untuk menggantikan KUHP yang sekarang yang sudah berlaku sejak 1915. Tim perancang dipimpin oleh profesor hukum pidana, dari Prof Sudarto hingga Prof Muladi.
Upaya rekodifikasi dan unifikasi memakan waktu lama dengan banyak perdebatan sengit. Namun, semua sepakat bahwa RUU KUHP perlu untuk menegakkan kembali nilai-nilai dasar sosial (basic social value), berperan sebagai ultimum remedium dan menjunjung HAM.
Tahun 1986 Buku I selesai. Buku II selesai 1993 dan diserahkan Prof Mardjono kepada Menteri Kehakiman. Namun, upaya Menteri Kehakiman berikutnya, Muladi, agar dibahas di DPR tidak berhasil. Tahun 2004 dibentuk tim RUU KUHP di bawah Prof Muladi untuk menyempurnakan dan harmonisasi empat misi utama: dekolonialisasi, demokratisasi, konsolidasi, serta harmonisasi dan humanisasi.
Baru pada akhir 2012 RUU KUHP diserahkan Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsudin kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan diteruskan kepada DPR pada 11 Desember 2012.
RUU KUHAP relatif baru karena beranjak dari KUHAP tahun 1981. Tim penyusun diketuai Prof Jur Andi Hamzah dan melibatkan elemen-elemen terkait. Walau ada perdebatan, penyusunan ini dilandasi kesepakatan bahwa penting sekali menegakkan sistem peradilan kriminal terintegrasi (the integrated criminal justice system) dengan kesamaan asas yang menjunjung tinggi HAM sebagaimana dimandatkan Konstitusi, serta pentingnya mekanisme kontrol guna menghindari penyalahgunaan kekuasaan.
Berbagai instrumen HAM internasional juga dijadikan acuan, misalnya Konvensi Anti Penyiksaan, Pendanaan Terorisme dan Konvensi Korupsi.
Akar polemik
Lalu apa akar polemiknya? Bermula dari pandangan KPK bahwa pembahasan kedua RUU akan mengurangi bahkan menghilangkan KPK. Padahal, RUU KUHP bukan semata-mata mengatur korupsi. Dari 766 pasal, hanya 15 pasal tentang korupsi.
RUU KUHP adalah upaya mengindonesiakan KUHP eks penjajah yang mengatur sebagian besar tindak pidana: mulai dari pengemisan, penganiayaan, pemerkosaan, pencurian, penghinaan, pembunuhan, perdagangan orang, hingga pelanggaran HAM berat. Korupsi tentu penting diatur, tapi apakah pembahasan terhadap 751 pasal –termasuk 211 pasal dalam Buku I tentang Ketentuan Umum- harus ditunda demi menanti pembahasan 15 pasal Korupsi? Apalagi ada Pasal 211 yang memberi peluang mengatur lex specialis di luar KUHP.
RUU KUHAP memuat aturan mengenai tata cara polisi mulai dari penangkapan, penahanan, pemeriksaan, sampai lembaga pemasyarakatan, yang berlaku untuk semua tindak pidana, bukan hanya untuk korupsi. Bahkan, hukum acara pidana untuk penanganan korupsi telah diatur secara khusus dalam UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan UU KPK. Tidak mungkin penanganan perkara pencurian atau penganiayaan sama dengan korupsi. Lex specialis juga dibuka peluangnya dalam Pasal 3 Ayat (2) RUU KUHAP.
Intinya, Pasal 211 RUU KUHP dan Pasal 3 ayat (2) RUU KUHAP ini mematahkan argumentasi bahwa dengan berlakunya kedua UU ini kelak maka UU pidana di luar KUHP menjadi hilang. Justru kedua RUU ini kelak bila diberlakukan merupakan lex generalis atau ketentuan umum, tetapi eksistensi UU pidana khusus lain yang berperan sebagai lex specialis tetap diakui.
Maka tak akan terjadi penghapusan UU ataupun delegitimasi keberadaan lembaga seperti KPK, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan lain-lain. Tidak betul pendapat KPK bahwa kedua pasal pengecualian hanya berlaku bagi tindak pidana perbankan dan perpajakan.
Harus diakui perancang RUU KUHP luput merumuskan kedua tidak pidana dalam ranah hukum administrasi ini. Namun, lex specialis umumnya lebih ditujukan pada hukum yang masuk dalam satu genre, dalam hal ini hukum pidana UU pidana murni seperti UU Tipikor, Pencucian Uang, Pengadilan HAM dan Terorisme. Dikatakan oleh Silvia Zorzetto (2012), “…lex specialis…is often used to solve redundancy in law… a tool to prevent the simultaneous application of special and general compatible rules.” Tak mungkin ada lex specialis manakala tidak ada lex generalis. Pengaturan delik pokok diperlukan dalam RUU KUHP, diatur lebih khusus dalam UU sektoral.
Kejahatan luar biasa
Istilah kejahatan luar biasa (extra-ordinary crimes) dalam hukum internasional adalah kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, kejahatan perang dan agresi. Konvensi PBB tentang korups tak memakai istilah itu walau sepakat bahwa korupsi adalah kejahatan yang mengurangi kualitas hidup manusia.
Menempatkan UU Tipikor dan UU KPK sebagai lex specialis, bukan hanya hukum materiil tentang korupsi yang diatur, melainkan juga hukum acara pidana. Karenanya, penyelidikan (Pasal 43 dan 44 UU KPK), penyitaan (Pasal 47) dan penyadapan (Pasal 12), sebagian dari kewenangan KPK saat ini, tidak akan diderogasi RUU KUHAP.
Walau demikian, tetap harus diperhatikan bahwa mekanisme kontrol penting untuk memastikan akuntabilitas penegak. Jika KPK memandang Hakim Pemeriksa Pendahuluan terlampau restriktif, misalnya, harus dicarikan solusi agar KPK tidak dipandang sebagai lembaga yang anti kontrol atau control-proof.
Kegalauan KPK akan potential elimination dengan demikian sebenarnya tidak perlu terjadi. KPK masih diperlukan memberantas kejahatan korupsi.
Harkristuti Harkrisnowo,
Guru Besar Fakultas Hukum UI
Dari Kompas Cetak Jumat, 28 Februari 2014