Banyumas, Gatra.com – Pengamat hukum lingkungan, Universitas Indonesia, Muhamad Ramdan Andri Gunawan Wibisana, menilai, aturan hukum tentang lingkungan hidup di Indonesia masih tumpang-tindih. Hal itu karena produk undang-undang belum mengatur secara jelas mengenai sanksi terhadap pelanggaran-pelanggaran hukum.
Andri mengatkan, sejumlah aturan hukum yang masih terlihat simpang siur itu contohnya kemudahan aturan untuk mengurus izin usaha. Secara ekonomis, pelayanan terhadap perizinan usaha yang mudah mendatangkan pendapatan baik bagi pemerintah daerah maupun pusat. Namun pada kenyataannya, prosedur pengurusan izin usaha ini kurang mempertimbangkan dampak terhadap lingkungan hidup.
“Seperti baru-baru ini yang sedah heboh, pencemaran di Sungai Citarum yang menjadi sungai terkotor nomor satu di dunia. Saat mengurus izin usaha, seharusnya ada kajian dampak lingkungan atau amdal. Seharusnya saat terjadi pencemaran, izin usaha dicabut,” kata dia, di Purwokerto, Minggu (23/6).
Andri menjelaskan, pada kuliah umum “Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia”, di Fakultas Hukum Unwiku Purwokerto, Sabtu (22/6) lalu, dia sempat menyinggung persoalan izin usaha. Seharusnya izin usaha dijadikan alat kontrol pemerintah dan masyarakat untuk kalangan korporasi. Sebab, selama ini meskipun terjadi pelanggaran hukum, sanksi pidana untuk kasus lingkungan hidup bagi korporasi di Indonesia tidaklah berat.
Untuk memberikan efek jera kepada korporasi, saat terjadi pencemaran ini seharusnya perusahaan mendapat sanksi berupa pencabutan izin usaha.
“Di Indonesia ini penerapan hukum lingkungannya salah kaprah. Korporasi ini sebenarnya lebih takut pencabutan izin daripada sanksi pidana. Tapi, masalah, izin usaha di Indonesia jarang yang dicabut kenapa? Karena ini jadi duit (pendapatan) untuk pemerintah,” katanya.
Andri menuturkan, sejumlah aturan mengenai lingkungan hidup juga menimbulkan masalah. Sebagai contoh, kata dia, kewenangan mengatur pembatasan penggunaan plastik sekali pakai yang diterapkan pada peraturan gubernur (pergub) Bali dan peraturan Wali Kota Bogor. Lalu penerapan tarif kantong plastik tak gratis (KTPG) atau plastik berbayar sebesar Rp 200 oleh Asosiasi Peritel Indonesia (Aprindo).
“Kalau harga segitu tidak ada efeknya. Masyarakat ya pasti bayar saja karena sangat terjangkau,” ucapnya.
Andri mengatakan, sanksi yang diterapkan di Indonesia juga belum jelas. Dalam hukum terdapat dua sanksi, yaitu administratif dan pidana. Sanksi administratif dan pidana seharusnya mempertimbangkan beberapa hal, yaitu pelanggaran dapat diperbaiki ataukah dapat dipulihkan.
“Jika jawabannya tidak, sanksinya adalah pidana. Sedangkan jika iya, sanksinya adalah administratif. Jika jawaban dari pertanyaan tersebut di atas mengarah pada penjatuhan sanksi administratif, perlu pula diajukan pertanyaan lanjutan, yaitu apakah masih perlu sanksi administratif tersebut ditambahkan dengan sanksi pidana. Artinya, dalam kondisi apa sanksi administratif dapat dijatuhkan bersama-sama dengan sanksi pidana,” katanya.
Sementara itu, Wakil Dekan I FH Unwiku, Elly Kristiani P mengatakan, hukum lingkungan menjadi salah satu kajian yang menarik. Karena belum banyak disentuh oleh kalangan akademisi. “Oleh karena itu, kalangan akademisi harus menggali lebih banyak tentang hukum lingkungan.”
Sumber: https://www.gatra.com/detail/news/423761/politic/aturan-hukum-lingkungan-masih-tumpang-tindih