Beberapa waktu yang lalu terdengar kebijakan pemerintah melakukan moratorium terhadap perjanjian peningkatan dan perlindungan penanaman modal (P4M). Dalam kebijakan itu pemerintah tidak akan membuat P4M baru dengan negara lain serta tidak memperpanjang yang telah ada. Rencana pemerintah tersebut patut didukung.
Perlindungan
Di awal pemerintahan HM Soeharto, pemerintah banyak memberikan fasilitas dan perlindungan hukum bagi investor asing. Kebijakan tersebut merupakan suatu yang wajar mengingat ketika itu Indonesia sangat membutuhkan investor asing baik dari segi dana, teknologi, maupun keahlian.
Salah satu fasilitas yang diberikan kepada para investor asing yang diatur dalam perjanjian internasional ialah penghindaraan pajak berganda. Meski perjanjian penghindaraan pajak berganda berlaku untuk para investor kedua negara, perjanjian tersebut lebih banyak dimanfaatkan oleh investor asing ke Indonesia, tetapi tidak sebaliknya.
Di samping itu, untuk menumbuhkan kepercayaan investor terhadap investasinya agar tidak dinasionalisasi, berbagai perjanjian internasional yang memberi perlindungan investor diikuti dan dibuat oleh pemerintah.
Menumbuhkan kepercayaan bagi investor asing penting karena segera setelah kemerdekaan, pemerintah kerap melakukan nasionalisasi terhadap badan usaha swasta khususnya yang dimiliki Belanda.
Dalam konteks ini pemerintah membuat perjanjian dengan negara-negara yang memiliki investor. Itulah yang kemudian dikenal sebagai P4M atau bilateral investment treaty (BIT).
Inti P4M ialah Indonesia tidak akan melakukan nasionalisasi terhadap investasi yang dilakukan oleh penanam modal. Bahkan, pemerintah tidak akan membatasi pemindahan keuntungan yang diperoleh di Indonesia untuk dialihkan ke negara asal.
Dalam P4M diatur mekanisme penyelesaian sengketa bila pelaku usaha merasa diperlakukan secara tidak wajar oleh pemerintah yang dianggap menjurus pada tindakan nasionalisasi atau ‘diusirnya’ investor dari bumi Indonesia.
Mekanisme penyelesaian sengketa yang diatur dalam P4M umumnya merujuk pada sebuah perjanjian antarnegara yang dinamai Convention on the Settlement of Investment Dispute between State and National of Other State. Untuk singkatnya disebut Konvensi Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal.
Konvensi yang dibuat pada 1965 dan mulai berlaku pada Oktober 1966 itu disponsori oleh Bank Dunia. Pada 28 Oktober 1968 Indonesia menjadi peserta.
Berdasarkan konvesi tersebut dibentuklah lembaga penyelesaian sengketa yang diberi nama International Center for Settlement of Investment Dispute (ICSID). Dalam ketentuan ICSID, institusi yang melakukan penyelesaian sengketa disebut Arbitrase.
Arbitrase ICSID bukanlah arbitrase yang menyelesaikan sengketa antarsubjek hukum perdata, yaitu orang dan badan hukum. Arbitrase ICSID menyelesaikan sengketa antara subjek hukum perdata dan pemerintah.
Keberadaan Konvensi Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal dilakukan karena di negara-negara yang baru merdeka, pengadilan dianggap memiliki bias. Dalam sengketa yang melibatkan negara maka pengadilan dianggap akan berpihak pada pemerintahnya. Pengadilan tidak akan dapat menjaga imparsialitasnya.
Oleh karena itu, untuk menjamin tidak ada bias ini dibentuk ICSID. Negara tentunya harus secara sukarela melepaskan kedaulatannya untuk dapat digugat di ICSID. Bagi investor asing, ketika akan menanamkan modal, keikutsertaan negara yang dituju dalam Perjanjian Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal sangat penting. Mereka tidak akan menanamkan modalnya bila negara yang dituju bukan peserta Perjanjian Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal.
Pergeseran paradigma
Bila pada awal masa pemerintahan HM Soeharto Indonesia membutuhkan investor asing, menjadi pertanyaan apakah saat ini paradigma tersebut masih berlaku? Ataukah dalam fase sekarang Indonesia berada dalam fase investor membutuhkan Indonesia, baik pasar maupun sumber daya alam.
Jumlah penduduk Indonesia dengan kelas menengah yang terus tumbuh dan selera masyarakat yang mudah diubah dengan iklan menjadikan pasar Indonesia sangat menjanjikan bagi investor asing. Meski, harus diakui, daya beli kebanyakan masyarakat masih rendah sehingga pembajakan atas hak kekayaan intelektual marak terjadi.
Belum lagi sumber daya alam di Indonesia kerap diobral sehingga tidak sesuai lagi dengan amanat Pasal 33 UUD. Orang perorangan bisa menjadi kaya raya karena sektor pertambangan, sementara rakyat terus merana. Banyak lagi alasan yang dapat dijadikan dasar bahwa Indonesia pada tahap ini dibutuhkan oleh investor asing, bukan sebaliknya.
Bila memang disepakati secara nasional bahwa telah terjadi pergeseran paradigma, menjadi pertanyaan apakah Indonesia perlu tetap mempertahankan perjanjian penghindaraan pajak berganda, P4M, dan tetap menjadi peserta Konvensi Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal?
Jawabannya tentu ‘tidak’. Pemerintah harus segera mengakhiri perjanjian pajak berganda bila waktunya tiba, mengakhiri P4M dan tidak mengadakan P4M baru, serta pemerintah bisa keluar dari Konvensi Sengketa Penanaman Modal.
Mengapa demikian? Itu karena belakangan Indonesia telah banyak dirugikan.
Pertama, hingga saat ini pelaku usaha kita masih belum dapat memanfaatkan perjanjian pajak berganda. Para pelaku usaha masih berkonsentrasi untuk mengeksploitasi pasar dalam negeri.
Kedua, P4M lebih banyak digunakan investor dari negara mitra Indonesia, terutama negara maju daripada pelaku usaha Indonesia. Hampir tidak pernah terdengar pelaku usaha Indonesia yang memiliki masalah dengan pemerintah dari negara mitra P4M membawa ke forum ICSID.
Ketiga, Konvensi Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal dan ICSID lebih banyak digunakan oleh pelaku usaha negara mitra ketika saluran dalam negeri tidak berpihak pada mereka. Dalam kasus yang mirip, pelaku usaha dalam negeri tidak bisa menempuh proses di ICSID. Artinya, tidak ada playing field yang sama antara investor asing dan lokal.
Apalagi melalui ICSID investor asing dapat menuntut ganti rugi kepada pemerintah dalam jumlah yang sangat fantastis. Dalam perkara Rafat Ali Rivi dan Churchill Mining, pemerintah Indonesia dituntut jutaan dolar AS. Yang menjadi pertanyaan, tidakkah jumlah tersebut, bila dikabulkan oleh ICSID, lebih bermanfaat kalau digunakan untuk lebih menyejahterakan rakyat?
Perlu juga dipahami, kondisi peradilan di Indonesia pun telah jauh berubah. Dulu memang, bila bersengketa dengan investor asing, pemerintah yang dimenangkan. Namun, kini dengan independensi dari lembaga peradilan, pengadilan kerap mengalahkan pemerintah bila memang salah.
Evaluasi
Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan evaluasi secara serius terhadap keberadaan berbagai fasilitas dan perlindungan investor melalui perjanjian internasional. Keberadaan perjanjian internasional lainnya, di luar P4M, perlu untuk dikaji.
Satu hal yang pasti, pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah diharapkan menjadikan Indonesia sejajar dengan AS atau negara maju lain. Di negara-negara tersebut, investor asing tidak dapat mendikte pemerintah. Bila mau menanamkan modal, investor asing harus mengikuti seluruh aturan yang ada termasuk mekanisme penyelesaian sengketa yang tersedia.
Tidakkah Indonesia mau dalam posisi seperti negaranegara tersebut?
Pemerintahan SBY telah memulai melakukan moratorium P4M dan diharapkan pemerintahan mendatang dapat meneruskan kebijakan tersebut.
Hikmahanto Juwana
Guru Besar Hukum Internasional, FHUI
Dari Media Indonesia Kamis, 24 April 2014