Rancangan KUHP jangan dilihat sekadar perumusan delik. Perlu ditinjau juga sebagai law in minds.
Bidang Studi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) meluncurkan position paper mengenai Rancangan KUHP di kampus UI Depok, Kamis (12/6). Menurut Eva Achjani Zulfa, dosen FHUI yang memaparkan kertas kerja itu, selama ini pembahasan Rancangan KUHP terlalu parsial. Karena itu, tim FHUI mencoba mengkaji dari pertanyaan dasar politik hukum: apakah Rancangan KUHP ke depan berbentuk kodifikasi atau kompilasi.
Pilihan ini penting karena menyangkut asas. Faktanya, ada sejumlah asas baru yang berkembang dalam perundang-undangan di luar KUHP. Penting untuk menjawab apakah asas-asas baru itu ditampung dalam Rancangan, apakah ultimum remedium dipakai sepenuhnya atau dihilangkan, dan apakah aturan pidana di luar KUHP masih berlaku jika sudah diatur dalam KUHP.
Dijelaskan Eva, ada berbagai temuan yang patut menjadi perhatian penyusun Rancangan KUHP, khususnya DPR dan pemerintah. Kualifikasi tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang tertentu berubah setelah dimasukkan ke dalam Rancangan KUHP. Contohnya, terorisme, dikualifikasi sebagai tindak pidana terhadap keamanan negara. Atau, kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) masuk ke dalam tindak pidana penganiayaan. Pertanyaan yang harus diperjelas apakah Rancangan KUHP akan mereduksi ketentuan-ketentuan pidana di luar KUHP.
Tim FHUI juga menemukan sejumlah ‘kekacauan’ dalam Rancangan KUHP, baik berupa duplikasi pengaturan dan ketidakjelasan istilah, maupun gradasi pidana yang tidak jelas dan tidak sistematis. Eva memberi contoh tindak pidana penganiayaan dalam keluarga dalam Pasal 593 huruf a dengan tindak pidana KDRT dalam pasal 595 Rancangan KUHP. Ada juga ketidakjelasan penggunaan istilah pejabat publik dan pejabat (Pasal 688-699 dan Pasal 190 Rancangan KUHP).
Menurut Eva, tujuan yang hendak dicapai penyusun Rancangan KUHP sangat ditentukan oleh kemampuan perumus dalam melakukan harmonisasi pasal-pasal melalui proses kajian yang mendalam. Jika tidak dilakukan dengan baik, kodifikasi hanya akan ‘memunculkan’ kembali peraturan yang selama ini bertebaran. Jika demikian terjadi, maka kodifikasi hanya sekadar kompilasi, bukan kodifikasi.
Staf Ahli Menteri Hukum dan HAM Bidang Perundang-Undangan, Suhariyono, mengatakan pemerintah tidak terlalu mempersoalkan apakah yang akan dipilih kodifikasi atau kompilasi. Sikap pemerintah, kata dia, jelas: tetap membuka kemungkinan untuk merumuskan ketentuan pidana di luar KUHP. Kodifikasi atau kompilasi, tegas Suhariyono, “tidak ada masalah”.
Anggota tim penyusun Rancangan KUHP, Barda Nawawi Arief, balik mengkritik position paper Bagian Pidana FHUI. Menurut Prof. Barda, kajian FHUI telah melihat Rancangan KUHP sebagai formulasi delik, atau sekadar merumuskan tindak pidana, dan menghimpun rumusan delik. Padahal, kata dosen Universitas Diponegoro Semarang itu, Rancangan KUHP perlu perlu dilihat dari budaya hukum, nilai-nilai masyarakat, law in minds.
Ia juga menilai position paper Bagian Pidana FHUI kurang melihat pembaruan sistem hukum pidana. Seharusnya seluruh rancang bangun sistem peradilan pidana terpadu dilihat. Paper juga tidak mempertimbangkan keseimbangan hukum nasional.
Prof. Barda juga menjawab kritik kualifikasi tindak pidana. Menurut dia, tak ada salahnya tindak pidana terorisme dimasukkan ke dalam bagian tindak pidana mengenai keamanan negara. Sebab, KUHP Perancis menggunakan kualifikasi senada. “Setiap negara bisa berbeda-beda (mengkualifikasi tindak pidana—red),” ujarnya.
Dari Hukum Online Kamis, 12 Juni 2014