Kementerian Luar Negeri Indonesia Senin siang (29/4) memanggil Duta Besar Vietnam di Jakarta untuk menyampaikan nota protes terhadap insiden berbahaya di Laut Natuna Utara dua hari lalu. Pengamat hukum internasional menilai nota protes ini sedianya diikuti dengan pembicaraan serius tentang batas-batas wilayah yang diklaim bersama oleh lebih dari satu negara di zona ekonomi eksklusif untuk menghindari ketegangan lebih jauh.WASHINGTON DC (VOA) —
Selang dua hari setelah insiden di Laut Natuna Utara di mana KRI Tjiptadi 381, kapal TNI Angkatan Laut, ditabrak dua kapal pengawas milik Dinas Perikanan Vietnam ketika sedang menangkap kapal nelayan ilegal, Kementerian Luar Negeri Senin (29/4) siang memanggil Duta Besar Pham Vinh Quang untuk menyampaikan nota protes atas insiden di Laut Natuna Utara itu.
Ditemui wartawan seusai pertemuan itu, juru bicara Kemlu Arrmanatha Natsir mengatakan menyesalkan kejadian yang melibatkan kapal Dinas Perikanan Vietnam KN 213 dan KN 264 dengan kapal TNI AL KRI Tjiptadi 381, yang dinilai “sangat membahayakan keselamatan personil kedua kapal dan tidak sejalan dengan hukum internasional.”
Saat ini Kemlu masih menunggu laporan lengkap Panglima TNI yang akan menjadi dasar menindaklanjuti masalah ini lebih jauh, tambah Arrmanatha.
Pernyataan serupa ditegaskan pula lewat dua cuitan di Twitter.
MoFA Indonesia✔@Kemlu_RI · 18h
1. Kemlu telah panggil Kedubes Viet Nam di Jakarta utk sampaikan protes atas penyerempetan Kapal Dinas Perikanan Viet Nam thd KRI Tjiptadi 381 pada 27/04/2019 #IniDiplomasi #DemiNKRI
2. Tindakan kapal Dinas Perikananan Viet Nam membahayakan nyawa aparat kedua negara, tidak sejalan dgn hukum internasional, dan tidak sesuai dgn semangat ASEAN #IniDiplomasi #DemiNKRI691:03 PM – Apr 29, 2019Twitter Ads info and privacy46 people are talking about this
Kadispen Armada I Letkol Laut Agung Nugroho menjelaskan dengan rinci insiden berbahaya yang menurutnya merupakan insiden ke-19 selama tahun ini saja.
“Sebenarnya sudah ada beberapa tahapan yang kami laksanakan. Diawali dari komunikasi dengan kapal pemerintah Vietnam, dan tidak ada respon, sehingga akhirnya kami mengambil keputusan tegas dengan menindak kapal nelayan ilegal itu untuk ditarik dan dibawa ke pelabuhan. Ketika itu datang KN213 di lambung kiri dan KN264 di lambung kanan, menghadang KRI kita. KN264 berusaha menghadang proses menarik kapal nelayan ilegal, mereka mengganggu dengan cara menabrak kapal nelayan Vietnam itu hingga buritan kanannya terkena, rusak, bocor dan kita lepas karena kapal itu tenggelam dan membahayakan. Sementara kapal Vietnam lain KN213 mencoba menumbur kapal KRI kita dari sebelah kiri,” ungkapnya.
Dalam video yang viral dan juga diperoleh VOA Minggu malam (28/4) tampak jelas bagaimana sejumlah personil TNI AL berupaya mengingatkan kapal milik Dinas Perikanan Vietnam yang mendekat dan menabrak lambung kiri KRI Tjiptadi.
Indonesia dan Vietnam Harus Segera Bahas Tumpang Tindih Klaim di ZEE
Pakar hukum internasional Prof. Dr. Hikmahanto Juwana mengatakan insiden yang terjadi di wilayah Laut Natuna Utara itu karena adanya klaim tumpang tindih antara Indonesia dan Vietnam atas Zona Ekonomi Eksklusif ZEE.
“ZEE bukan laut teritorial di mana berada di bawah kedaulatan negara. ZEE merupakan laut lepas di mana negara pantai mempunyai hak berdaulat (sovereign right) atas sumber daya alam yang ada di dalam kolom laut. Hingga saat ini antar kedua negara belum memiliki perjanjian batas ZEE. Akibatnya nelayan Vietnam bisa menangkap di wilayah tumpang tindih dan akan dianggap sebagai penangkapan secara ilegal oleh otoritas Indonesia. Demikian pula sebaliknya,” ujar Hikmahanto.
Untuk itu guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu menyerukan agar otorita berwenang kedua negara untuk melakukan pertemuan
“Masalahnya kedua negara ini harus bertemu! Bagaimana jika ada nelayan yang mengambil ikan di wilayah yang diklaim bersama. Sampai sekarang belum ada pembicaraan diantara kedua pihak. Harus ada rules of engagement dan saling pemahaman agar tidak ada yang memprovokasi dengan melakukan tindakan yang tidak perlu. Ini yang sebenarnya pernah terjadi antara Indonesia dan Malaysia, di mana ada wilayah yang belum disepakati dan ketika itu kapal nelayan Indonesia ditangkap karena menangkap ikan di sana. Kedua negara sempat bertemu membahas hal itu juga,” imbuhnya.
Ditambahkannya, melangsungkan pertemuan jauh lebih efektif dibanding membawa masalah ini ke mahkamah arbitrase internasional yang mahal dan harus disetujui kedua pihak terlebih dahulu. Ia ragu Vietnam akan bersedia membawa masalah ini ke mahkamah arbitrase internasional.
Belum Ada Rencana Peningkatan Personil & Kapal di Laut Natuna
Dalam perkembangan lainnya, Armada I TNI Angkatan Laut mengatakan belum ada rencana untuk meningkatkan pengawasan di Laut Natuna pasca insiden ini.
“Ada atau tidak ada insiden ini kami tetap melaksanakan patroli dengan menghadirkan kapal perang dan pesawat udara yang berpatroli maritim. Kami selama ini mengerahkan 3-4 KRI yang masing-masing membawa antara 70-100 personil dalam satu kapal, untuk menegakkan hukum dan kedaulatan di wilayah NKRI. Belum ada peningkatan signifikan karena kami memang sudah melaksanakan patroli di daerah tersebut,” kata Agung.
Hingga laporan ini disampaikan 12 awak kapal nelayan ilegal Vietnam telah dibawa ke Lanal Ranai di Kepulauan Natuna. Dua awak kapal Vietnam lainnya melompat ke laut dan diselamatkan oleh kapal pengawas milik Dinas Perikanan Vietnam. (em)