Women in Detention: Memahami Hak dan Tanggung Jawab Negara Oleh: Ryan Muthiara Wasti*)
Perempuan di lapas merupakan subjek hukum yang juga mempunyai hak asasi yang harus diperjuangkan.
Catatan Redaksi:
Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline
Kementerian Hukum dan HAM RI pada tahun 2017 memberikan sejumlah komitmen untuk menambah lapas khusus untuk perempuan. Komitmen tersebut dilakukan untuk memberikan perlindungan terhadap perempuan yang berada di dalam tahanan karena pada tahun 2017 baru ada tiga lapas yang khusus menampung perempuan.
Kebijakan ini dinilai sangat baik karena perempuan mempunyai kebutuhan yang berbeda dengan laki-laki sehingga dibutuhkan tempat sendiri yang lebih mendukung kehidupan perempuan selama di dalam tahanan. Bahkan telah direncanakan adanya peningkatan anggaran untuk pembinaan lembaga pemasyarakatan yang akan dimasukkan ke dalam anggaran 2019.
Namun, di sisi lain, kebijakan penambahan jumlah lapas ini belum diiringi dengan kebijakan peningkatan fasilitas dari pelayanan di dalam lapas khusus perempuan. Hal ini dapat dilihat dari sejumlah survei yang dilakukan oleh Center for Detention Studies. Pada 30 Maret 2017, Center for Detension Studies mengeluarkan data mengenai hak-hak perempuan di lapas.
Dari semua tempat penahanan yang disurvei yaitu Jakarta, Banten, Surabaya, Palembang, Bandung, Demak, Aceh, Makassar, Bali, Lampung, Kupang dan Pontianak, didapatkan fakta bahwa hanya Lapas Wanita Kelas IIA Malang, Lapas Wanita elas IIA Palembang dan Rutan Kelas IIA Pondok Bambu yang sudah memberikan fasilitas toilet khusus bagi ibu hamil.
Padahal, pemisahan ini penting bagi ibu hamil untuk menjaga kesehatan dari janinnya. Fakta lain, 5 dari 12 institusi penahanan yang disurvei ini tidak dilengkapi dengan dokter apalagi dokter kandungan. Padahal, dengan keberadaan dokter kandungan ini tentunya dapat memberikan dukungan kepada ibu hamil sehingga dapat melahirkan anak yang sehat secara psikis dan fisik. Dari 12 institusi penahanan, hanya Lapas Wanita Kelas IIA Malang yang sudah memenuhi keseluruhan kebutuhan ibu hamil.
Pengaturan mengenai hak perempuan dalam tahanan sudah diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tahun 2010 yaitu the United Nations Rules for the Treatment of Women Prisoners and Non Women Offenders atauyang dikenal dengan The Bangkok Rules. The Bangkok Rules memberikan sejumlah aturan bersama yang harus diberlakukan baik untuk perempuan yang normal maupun perempuan dengan kebutuhan khusus (perempuan hamil, perempuan dengan masalah narkoba dan perempuan disabilitas) di dalam tahanan.
Beberapa aturan di dalam The Bangkok Rules yaitu; narapidana yang memiliki anak dapat mengasuhnya di dalam Lapas, sampai anak berusia 2 tahun, dan anak tersebut dicatat; tersedianya fasilitas bagi narapidana yang memiliki anak di dalam lapas, seperti ruang khusus menyusui dan ruang ramah anak; tersedianya ruang sanitasi yang layak untuk memenuhi kebutuhan kebersihan diri; semua sel memiliki ketersediaan air yang cukup, toilet dan semuanya bersih dan dalam kondisi yang baik; tersedianya fasilitas kesehatan (dokter dan poliklinik) untuk seluruh narapidana termasuk anak yang dibawa, semua narapidana diberikan hak yang sama untuk memeriksa kesehatan maupun rawat inap di poliklinik lapas dan riwayat kesehatan mereka akan terjamin kerahasiaannya; dan pemenuhan makanan dan air minum yang layak.
Semua aturan tersebut sudah seharusnya menjadi perhatian dari Pemerintah karena konstitusi sudah memberikan jaminan HAM untuk semua warga negaranya. Hal ni dapat terlihat dari adanya satu bab khusus di dalam UUD 1945 yang mengatur mengenai HAM. Salah satunya adalah hak untuk melanjutkan keturunan yang diatur di dalam Pasal 28B bahwa setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
Dengan adanya pengaturan di dalam konstitusi ini, maka seharusnya menjadi tanggung jawab negara untuk mengimplementasikan kebijakan dalam peraturan perundang-undangan yang melindungi dan mendukung terpenuhinya hak tersebut. Selain itu, terdapat hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak berupa makan dan minum yang menunjang kehidupan setiap warga negara termasuk di dalam lapas.
Pemerintah belum memberikan prioritas terhadap permasalahan perempuan di lapas secara khusus yang terlihat dari anggaran yang diajukan untuk pembinaan lapas dan rutan meskipun sudah ditingkatkan namun belum mencukupi sehingga terkadang menyulitkan pelaksanaan perlindungan hak perempuan di lapas.
Sejumlah lapas bahkan harus menunggu kedatangan dari rekan-rekan pemerhati hak warga binaan lapas untuk mendapatkan bantuan berupa sejumlah kebutuhan makan yang layak bagi warga binaannya, bahkan tidak jarang melakukan pemungutan donasi sendiri dari pegawai di lapas tersebut untuk sekadar menambah makanan yang layak bagi warga binaan. Artinya, negara belum benar-benar menjadi tempat bernaung yang nyaman bagi warga binaan khususnya perempuan.
Selain anggaran yang belum maksimal, terdapat permasalahan ekonomi yang juga mengakibatkan jumlah tahanan perempuan meningkat. Hal ini dikarenakan mereka menjadi terpaksa untuk melakukan tindakan kriminal demi melanjutkan kehidupannya sementara negara belum siap untuk memberikan penghidupan yang layak dan pekerjaan yang layak bagi warga negara.
Di beberapa lapas perempuan ditemukan bahwa kasus terbanyak yang dilakukan oleh narapidana tersebut adalah kasus narkoba. Di Lapas Klas IIA Perempuan Tanjunggusta misalkan, 364 dari total 454 warga binaannya merupakan terpidana kasus narkotika. Demikian juga di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA, Bandung dari sekitar 400 narapidana yang ada, 70 persen atau tiga per empat penghuni blok kamarnya merupakan terpidana kasus narkoba. Dari dua lapas tersebut, mayoritas dari narapidana yang menjalani hukuman karena narkotika adalah pengedar baik skala kecil maupun skala besar yang dilakukan baik karena kesadaran maupun karena paksaan kondisi ekonomi yang tidak mendukung.
Kehidupan perekonomian yang tidak stabil di Indonesia menjadikan ketimpangan sosial yang sangat tinggi di antara warga negaranya. Pemerintah belum mempunyai sebuah kebijakan yang mampu menghilangkan atau setidaknya meminimalisir ketimpangan sosial yang ada. Akibatnya, kategori perempuan rawan sosial ekonomi menjadi meningkat di Indonesia.
Perempuan Rawan Sosial Ekonomi adalah seorang wanita yang karena faktor kemiskinannya, keterbelakangannya secara pendidikan mengalami gangguan fungsional dalam kehidupan sosial dan atau ekonominya sehingga yang bersangkutan mengalami kesulitan untuk menjalankan peranan sosialnya. Hal ini kemudian menimbulkan masalah turunan seperti tingginya angka perceraian, diskriminasi dalam bekerja, mengalami kekerasan seksual, mengalami KDRT bahkan sangat mungkin perempuan akan menjadi pelaku kejahatan seperti pencurian ataupun kurir narkotika dan sebagainya yang dibuktikan dengan banyaknya kasus narkotika di lapas yang dilakukan oleh perempuan.
Oleh karena itu, perempuan di lapas merupakan subjek hukum yang juga mempunyai hak asasi yang harus diperjuangkan. Mereka adalah warga negara yang juga membutuhkan perlindungan dalam melaksanakan hak asasinya. Kebijakan negara dalam hal sanksi berupa penjara seharusnya menjadi perhatian bahwa kebijakan tersebut harus diiringi dengan pemberian hak yang seharusnya kepada mereka yang mendapat sanksi tersebut. Bukan sekadar menambah jumlah lapas, namun juga meningkatkan sarana dan prasarana yang mendukung perempuan menjalani kehidupannya baik sebagai seorang perempuan apalagi sebagai seorang calon ibu dan sebagai seorang ibu.
Jangan sampai negara turut andil dalam mengorbankan janin yang seharusnya dapat lahir dalam keadaan yang sehat jasmani dan rohani tapi malah menjadi tidak hadir ke dunia sama sekali hanya karena negara tidak serius dalam memberikan perlindungan terhadap perempuan di lapas. Selain itu, Pemerintah harus membuat kebijakan yang dapat meningkatkan taraf hidup warga negaranya agar perempuan tidak menjadi korban perekonomian yang lemah di negara ini.
*)Ryan Muthiara Wasti, S.H., M.H adalah Dosen Bidang Studi Hukum Tata Negara FHUI.