Anotasi Putusan Kasus Korupsi KTP Elektronik, Ini Hasilnya
Dugaan korupsi proyek KTP elektronik (e-KTP) menjadi salah satu kasus korupsi yang menggemparkan karena besarnya kerugian negara yang terjadi yakni senilai Rp2,3 triliun. Bukan hanya itu, kasus ini juga menyeret sejumlah pejabat baik dari pemerintah maupun DPR. Hal itu mengemuka dalam seminar bertema “Arah Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi dalam Kasus KTP Elektronik” di Depok, Senin (15/10).
Para pengisi seminar adalah penyusun anotasi putusan KTP Elektronik atas nama Setya Novanto. Penyusun tersebut adalah Junaedi, Flora Dianti dan Prof. Topo Santoso. Meski belum rampung disusun, namun para penyusun telah menyebutkan hasil sementara dari anotasi yang dilakukan. Junaedi mengatakan, tujuan jangka pendek dari pengadaan KTP Elektronik sebagai upaya mengintegrasikan data-data kependudukan dari pemegang KTP tersebut (single ID).
Sementara itu, dalam jangka panjang, diharapkan setelah keseluruhan data-data kependudukan pemegang KTP terintegrasi, maka e-voting atau pemilihan umum secara elektronik juga bisa dilaksanakan pada 2024. “Single ID ini seharusnya bisa menyimpan data-data tentang kelahiran, perkawinan, dan bisa digunakan untuk berbagai jenis pelayanan publik,” tuturnya.
Salah satu pejabat yang paling menyita perhatian dan kini telah berstatus terpidana adalah Setya Novanto. Pada April 2018 lalu, majelis hakim Pengadilan Tipikor telah menjatuhi vonis pidana penjara selama 15 tahun dan denda 500 juta subsidair kurungan 3 bulan. Tidak hanya itu, Setya Novanto juga diganjar dengan pencabutan hak menduduki jabatan publik selama 5 tahun.
Namun, banyak hal yang menjadi catatan terkait proses pembuktian selama persidangan kasus Setya Novanto berlangsung. Terkait hal ini, Flora Dianti membaginya ke dalam tiga bagian, yaitu terkait keabsahan cara perolehan alat bukti (admissibility), minimal alat bukti, dan keabsahan alat bukti.
Terkait admissibility, seperti diketahui, dalam persidangan Setya Novanto, ada beberapa alat bukti yang diperoleh dari luar negeri misalnya bukti dokumen money changer di luar negeri dan rekaman Johanes Marliem dari FBI. Mengenai alat bukti yang diperoleh dari luar negeri, seharusnya majelis hakim dalam pertimbangannya menyatakan bahwa perolehan ini berasal dari perjanjian mutual legal assistant (MLA)atau bantuan timbal balik dalam masalah pidana.
Berdasarkan UU No. 1 Tahun 2006, permintaan bantuan pencarian alat bukti dapat dilakukan lewat government to government, maupun lewat agent to agent. Namun, bila Indonesia belum mengadakan perjanjian MLA, maka permintaan bantuan pencarian alat bukti itu bisa didapat atas dasar asas resiprositas. Dengan ketiadaan legal reasoning dalam putusannya, maka sebenarnya hal ini bertentangan dengan Pasal 197 KUHAP.
Selanjutnya, terkait minimal alat bukti Flora secara khusus menyoroti kurangnya alat bukti dalam pemeriksaan kasus Setya Novanto. Hal ini terlihat dari fakta mengenai Tim Fatmawati dan Andi Narogong sebagai pengatur lelang, serta fakta mengenai realisasi pemberian fee yang hanya diperoleh dari keterangan saksi.
Padahal sesuai dengan Pasal 183 KUHAP, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan minimal dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Terakhir adalah terkait keabsahan alat bukti yang dihadirkan di persidangan. Hal menarik dipaparkan oleh Flora terkait keterangan ahli dan surat. “Ahli dari BPK yang dihadirkan di persidangan Setya Novanto adalah ahli yang melakukan audit keuangan, yang laporannya tentang perhitungan kerugian keuangan negara dijadikan sebagai alat bukti surat,” pungkasnya.
Menurutnya, di sini telah terjadi penyalahgunaan hukum. Karena seharusnya cukup satu hal saja yang dijadikan alat bukti, yaitu keterangannya sebagai ahli, atau hasil laporannya sebagai surat. “Jika memang ingin menghadirkan ahli dari BPK, seharusnya didatangkan ahli lain yang memiliki kemampuan sepadan namun tidak terlibat dalam audit laporan kerugian keuangan negara,” tambahnya.
Semantara itu, Prof. Topo Santoso menyoroti pasal yang dikenakan kepada Setya Novanto. Dalam dakwaan yang disusun oleh penuntut umum, Setya Novanto didakwa secara alternatif yaitu Pasal 2 UU Tipikor jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 3 UU Tipikor jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Menurutnya, sebenarnya tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua pasal tersebut selain subjeknya. Pasal 2 UU Tipikor subjeknya adalah setiap orang secara luas sedangkan Pasal 3 UU Tipikor subjeknya adalah setiap orang yang memiliki kewenangan dan menyalahgunakan kewenangan itu.
Dalam putusan pun Setya Novanto dinyatakan terbukti melanggar ketentuan Pasal 3 UU Tipikor tersebut. Tetapi, menurut Topo, majelis hakim seharusnya mampu membedakan kewenangan Setya Novanto selaku Ketua Fraksi Partai Golkar dengan kewenangannya sebagai Ketua Umum Partai Golkar. “Saya setuju jika Setya Novanto dianggap menyalahgunakan kewenangannya sebagai ketua fraksi, bukan sebagai ketua umum Golkar,” katanya.
Namun sayangnya putusan ini mencampuradukkan antara kedua kewenangan itu. “Sebenarnya jauh lebih tepat jika Setya Novanto dianggap memperdagangkan pengaruh (trading in influence), namun sayangnya kita belum memasukkan itu ke dalam UU Tipikor kita,” tambahnya.
Dalam diskusi ini juga disinggung mengenai partai politik yang seharusnya bisa dipidana sebagaimana di beberapa negara seperti Turki, Yunani, dan Kroasia. Partai politk bisa diposisikan sebagai korporasi dalam kasus pidana, di mana pidana pokok yang berlaku adalah denda. Namun bila melihat kondisi Indonesia saat ini di mana sumber keuangan partai politik berasal dari iuran anggota dan negara, maka hal ini dirasa tidak cocok bila diterapkan begitu saja di Indonesia.