Hak Cipta Sebagai Jaminan Fidusia Terhambat Sistem Valuasi
Perlu ada revisi UU Jaminan Fidusia untuk menyesuaikan dengan karakter khusus hak cipta sebagai objek jaminan.
Adakah orang yang bersedia membeli hak cipta dengan sejumlah nilai uang? Apakah pasar bagi intellectual property rights benar-benar ada? Kedua pertanyaan ini menjadi pembuka diskusi terarah mengenai hak cipta sebagai objek jaminan fidusia di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Jumat (28/9) lalu.
Kedua pertanyaan tersebut relevan dengan kenyataan belum ada kejelasan mekanisme untuk menjadikan hak cipta sebagai objek jaminan fidusia. Padahal, regulasi mengenai jaminan sangat berkaitan dengan upaya pembangunan ekonomi Indonesia.
“Harus dibedakan antara ciptaan yaitu property dengan hak cipta sebagai intellectual property right. Benda ini property, tetapi hak saya memperbanyak ini yang disebut hak cipta,” kata Brian Amy Prastyo, dosen pengajar Hak Kekayaan Intelektual di FHUI.
Brian menjelaskan bahwa hak cipta memberikan hak terhadap berbagai komersialisasi dari property berupa karya ciptaan. Sejak disahkannya UU No.28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta) untuk menggantikan UU Hak Cipta yang lama, muncul pengaturan baru di Pasal 16 bahwa hak cipta bisa menjadi objek jaminan fidusia.
UU Hak Cipta
Pasal 16: (1) Hak Cipta merupakan Benda bergerak tidak berwujud. …. (3) Hak Cipta dapat dijadikan sebagai objek jaminan fidusia. (4) Ketentuan mengenai Hak Cipta sebagai objek jaminan fidusia sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Ketentuan baru ini berkaitan erat dengan UU No.42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang sudah mengantisipasi adanya kemungkinan menjadikan benda bergerak yang tidak berwujud sebagai objek jaminan.
UU Jaminan Fidusia
Pasal 1 angka 2: …. 2. Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud meupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya. |
Kenyataannya, menjadikan hak cipta sebagai objek jaminan fidusia bukan hal yang mudah dilakukan. Udin Narsudin, notaris dan PPAT di Kota Tangerang Selatan, menjelaskan bahwa sepanjang kariernya belum pernah menemukan ada upaya menjadikan benda bergerak yang tidak berwujud sebagai objek jaminan fidusia.
“Dalam praktiknya, selama saya jadi notaris sekitar 20 tahun, belum pernah membuat aktanya. Sulit dalam menilainya dengan uang, seperti apa?” katanya.
Udin menjelaskan hingga saat ini belum ada pedoman penilaian atas nilai ekonomis benda tidak berwujud seperti Hak Cipta. Norma tersebut dibiarkan sebatas menjadi norma dalam undang-undang tanpa ada peraturan pelaksana hingga sekarang.
Arief Rachmat Pramana, Kepala Grup Penelitian dan Pengembangan Hukum Sektor Jasa Keuangan dari OJK mengungkapkan hal yang sama soal sulitnya menerapkan ketentuan tersebut. Arief mengatakan di sektor perbankan cenderung menolak hak cipta sebagai jaminan fidusia karena persoalan valuasi dalam bentuk uang.
“Bank itu berusaha memberikan kredit agar kredit itu bisa kembali, kalau kekayaan intelektual itu bagaimana cara menilainya?” kata Arief.
Hal lain yang belum jelas adalah cara eksekusi. “Kalau kreditnya bermasalah, bagaimana eksekusinya atas hak cipta?” Arief menambahkan. Pada akhirnya, perbankan di Indonesia tidak bersedia memberikan pembiayaan dengan jaminan hak cipta.
Brian mengakui bahwa persoalan hak cipta sebagai jaminan fidusia bukan hal yang mudah. Pertama, harus dipahami bahwa konstruksi hak cipta di Indonesia dibagi menjadi hak ekonomi dan hak moral. Hak Cipta dapat menjadi jaminan fidusia sebatas pada hak ekonominya. Kedua, hak ekonomi yang bisa dialihkan ini pun membuat Pemegang Hak Cipta tidak selalu si Pencipta.
“Misalnya buku menjadi komersial ketika sudah dijual. Saat penulis memberi lisensi penerbitan, yang bisa jadi debitur itu penulis atau penerbit?” kata Brian.
Menjadi lebih kompleks ketika berkaitan dengan hak cipta dalam musik. Pencipta musik, produser, artis yang menampilkan pertunjukan musik, dan komposer masing-masing memiliki hak ekonomi untuk suatu wujud karya yang sama. “Padahal barangnya satu, yaitu karya rekaman,” ujar Brian.
Oleh karena itu, perlu ada kejelasan soal siapa yang berhak menjadi debitur dalam jaminan fidusia berupa hak cipta. Peran penting notaris dibutuhkan untuk menyusun konstruksi hak apa saja yang diserahkan kepada kreditur sebagai jaminan fidusia.
Mengenai catatan kritis Udin selaku notaris dan Arief dari OJK, Brian membenarkan bahwa diperlukan sistem valuasi yang bisa dipercaya jika masih ingin mempertahankan hak cipta sebagai jaminan fidusia. Sistem valuasi ini perlu dikelola lembaga khusus untuk menjamin nilai hak yang dibebani fidusia dapat dinikmati pemegang fidusia jika debitur cidera janji.
Hal lain yang perlu disediakan adalah pasar untuk menguangkan hak tagih dalam bentuk hak cipta tersebut. “Ada satu masa pemegang fidusia sudah malas nagih, dijual saja. Nah ini yang harus dicari market-nya,” kata Brian.