Makar dalam RKUHP
Qurrata Ayuni
Manajer Program Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Tindak pidana dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) mengatur setidaknya tiga jenis makar, yakni makar terhadap Presiden, makar terhadap NKRI, dan makar terhadap pemerintah yang sah.
Namun, ada kejanggalan dalam penyusunan klausul makar terhadap pemerintah yang sah, ia memiliki potensi untuk bertentangan dengan Pasal 7A dan 7B UUD 1945.
Pengaturan mengenai pidana makar terhadap pemerintah yang sah terdapat dalam Pasal 224 RKUHP yang berbunyi, “Setiap orang yang melakukan makar dengan maksud menggulingkan dan/atau mengambil alih pemerintah yang sah, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun.” Narasi pasal ini cukup berbeda dengan muatan materi pasal-pasal lain yang mengatur pidana makar, di mana melibatkan adanya unsur pembunuhan, memisahkan diri dari NKRI (disintegrasi), ataupun melakukan pemberontakan dengan senjata.
Jika dicermati, muatan Pasal 224 RKUHP ini mensyaratkan adanya upaya penggulingan dan/atau pengambilalihan sebagai unsur pidana yang harus dipenuhi. Padahal, upaya penggulingan dan/atau pengambilalihan terhadap pemerintah yang sah pada pokoknya dapat dilakukan secara konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 7A dan Pasal 7B UUD 1945.
Secara tegas Pasal 7A UUD 1945 menyatakan bahwa seorang Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan apabila melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela atau tidak mampu lagi menjadi seorang Presiden. Dalam hal menurunkan Presiden yang sah ini. diperlukan sebuah usul yang terlebih dahulu diajukan oleh minimal dua per tiga anggota DPR untuk mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 7B UUD J945.
Klausul “menggulingkan” atau “mengambil alih” sebagaimana dikandung dalam Pasal 224 RKUHP memiliki potensi untuk menghambat mekanisme pengawasan yang dimiliki secara konstitusional oleh DPR. Manakala pada sebuah waktu di masa depan, sekelom-pok orang oposisi yang ada di DPR menemukan dan menggali dugaan pengkhianatan, korupsi, penyuapan, dan pidana berat yang dilakukan Presiden maka sekelompok orang ini akan dimungkinkan dituduh dengan pidana makar menggulingkan pemerintah yang sah.
Begitu juga dengan kelompok masyarakat lainnya, yang misalnya menemukan adanya bukti Presiden melakukan tindakan yang bertentangan dengan Pasal 7A UUD 1945, seperti pengkhianatan, korupsi, penyuapan, dan tindak pidana berat lainnya, maka akan berpotensi untuk dijerat menggunakan Pasal 224 RKUHP ini sebelum dapat dimohonkan ke Mahkamah Konstitusi melalui DPR.
Istilah impeachment atau pemakzulan sendiri memiliki makna untuk membuat seorang pejabat tidak lagi menduduki jabatan itu (removal from office). Sehingga pada prinsipnya, proses pemakzulan/f/npeac/i-ment juga merupakan proses menggulingkan Presiden dan/atau Waki] Presiden yang sah. Oleh karena itu, pengaturan mengenai tindak pidana makar terhadap pemerintah yang sah harus diperjelas kembali agar tidak menghambat proses pengawasan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Pasal Kolonial Belanda
Redaksi pasal-pasal mengenai makar dalam RKUHP tampaknya sangat terinspirasi dari pasal-pasal dalam KUHP yang lama. Pasal mengenai makar dalam KUHP yang lama juga mengategorikan makar dalam tiga kelompok yang diatur dalam Pasal 106 hingga Pasal 110 KUHP. Begitu pun dengan Pasal 107 KUHP tentang makar terhadap pemerintah yang sah disebutkan bahwa “Makar (.aanslag) yang dilakukan dengan niat menggulingkan pemerintah (oma -en teling) dihukum penjara selama-lamanya 15 tahun.”
Dalam KUHP lama yang merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, kata yang kemudian diterjemahkan sebagai “makar” sebenarnya adalah aanslag yang artinya “serangan”. Sedangkan dalam Pasal 191 RKUHP dinyatakan makar adalah niat melakukan suatu perbuatan yang telah diwujudkan dengan adanya permulaan pelaksanaan perbuatan tersebut. Adapun makar menurut Kamus Besar Bahasa Indonesiaadalah (1) akal busuk; tipu muslihat. (2) perbuatan (usaha) dengan maksud hendak menyerang atau membunuh orang dan sebagainya, (3) perbuatan (usaha) menjatuhkan pemerintah yang sah.
Perbuatan makar yang memiliki unsur pembunuhan atau merampas kemerdekaan Presiden sudah terlebih dahulu diatur dalam Pasal 222 RKUHP. Sedangkan usaha penyerangan dengan senjata atau pemberontakan juga sudah diatur dalam Pasal 225 RKUHP. Sehingga pasal makar untuk menggulingkan pemerintah yang sah sebagaimana Pasal 224 RKUHP dapat diartikan sebagai upaya permulaan muslihat untuk menjatuhkan peme-rintah yang berkuasa. Tentunya hal ini akan mematikan peran opisisi sebagai salah satu pemain penting dalam demokrasi. Sehingga pada akhirnya, dapat berpotensi mematikan demokrasi itu sendiri.
Prof Loebby Loqman (1993) dalam Delik Politik di Indonesia mencatat delik terhadap keamanan negara kerap dilatarbelakangi tujuan politik dan setiap pemerintahan memiliki pengertian tersendiri tentang tafsiran dan pengertian politik itu sendiri. Oleh karena itu, penggunaan pasal-pasal makar mudah sekali digunakan oleh rezim yang berkuasa untuk membungkam lawan-lawan politik pe-merintah yang berkuasa. Bukan saja digunakan pada rezim Orde Lama ataupun Orde Baru, pasal mengenai makar juga telah digunakan belakangan ini oleh pemerintah untuk menangkap sejumlah aktivis pada 2 Desember 2016 seperti Ratna Sarumpaet dkk.
Putusan MK
Baru-baru ini, Mahkantah Konstitusi (31/1/2018) secara sederhana melakukan pukul rata dengan menyatakan bahwa frasa “makar” dalam Pasal 87,104,106,107,1393, i39b, dan 140 KUHP adalah konstitusional dengan batu uji Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. MK menyatakan dalam putusan Nomor 7/PUU-XV/20i7 yang kemudian diulang dalam putusan Nomor 28/PUU-XV/2Oi7yang menyatakan bahwa ia tidak bertentangan dengan hak atas perlindungan pribadi, keluarga, kehormatan, martabat seseorang. Namun, MK menyampaikan pesan singkat bahwa penegak hukum diminta berhati-hati dalam menerapkan pasal-pasal tersebut dalam negara demokratis.
Namun, dalam konteks penggunaan batu uji Pasal 7A dan 7B UUD 1945, maka boleh jadi Pasal 224 RKUHP (Pasal 107 KUHP) memiliki potensi untuk mengebiri oposisi yang berseberangan dengan pemerintah yang sah. Sayangnya, Pasal 7A dan 7B UUD 1945 tidak digunakan pemohon untuk menguji Pasal 107 KUHP yang menjadi cikal bakal Pasal 224 RKUHP. Selanjutnya, yang juga patut menjadi perhatian adalah frasa “menggulingkan”, di mana makna ini sebenarnya dapat digunakan secara konstitusional melalui terminologi pemakzulan dan impeachment.
Selagi masih ada kesempatan mewujudkan masa depan demokrasi yang sejalan dengan cita-cita negara hukum, ada baiknya Pasal 224 RKUHP ditinjau kembali dengan memperhatikan kemungkinannya untuk bertentangan dengan Pasal 7A dan 7B UUD 1945 sebagai perwujudan checks and balances yang dapat dilakukan oleh para oposisi yang hendak melakukan proses pemakzulan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden. Sebagaimana lan Shapiro (1996) menyatakan “democracy is an ideology of opposition as much as it is one o/gouernmenf”. Selamat berdemokrasi.
Artikel ini telah dimuat di Republika (08 Februari 2018).