Release Media ILUNI UI*
Diskusi Publik *“Dwifungsi Polri menjelang Pilkada Serentak”*
Beberapa hari belakangan ini, diskursus tentang usulan mendagri untuk mengajukan dua orang perwira tinggi (aktif) Polri menuai protes dan kecaman dari berbagai pihak, diskursu yang kian meluas tersebut tertutama terkait dengan beberapa peraturan perundang-undangan yang dilanggar dengan pengangkatan penjabat gubernur yang berasal dari perwira tinggi (aktif) POLRI. Dalam rilisnya Pusat studi Hukum Tata Negara pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia juga menyoroti terlanggarnya pasal 201 ayat 10 UU Pilkada dan menyoroti juga bagaimana ketidakpatuhan permendagri juga terhadap pasal 201 (10) dalam UU pilkada. Karena pimpinan tinggi madya yang dimaksudkan tidak dapat diartikan secara serampangan karena harus pula merujuk pada UU Aparatur Sipil Negara.
Menyoroti hal tersebut, Policy Center ILUNI UI pada hari Kamis tanggal 1 Februari 2018 mengadakan diskusi public untuk membahas polemik pengangkatan penjabat Gubernur dari perwira tinggi (aktif) POLRI tersebut dengan menghadirkan pembicara diantaranya HR Muhammad Syafii (Romo Syafii) sebagai anggota DPR RI pada Komisi III DPR RI, Titi Anggraini (PERLUDEM) dan Mustafa Fakhri (Ketua Pusat Studi Hukum Tata Negara atau PS HTN pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia). Diskusi yang juga di hadiri oleh pembahas lainnya diantaranya Ramdansyah (activist Reformasi 1998) dan juga Dr. Ferry Liando (Dosen Ilmu Politik dan Pemerintahan Universitas Sam Ratulangi).
Romo Syafii, menyoroti perihal pengangkatan Penjabat Gubernur dari Pati aktif Polri adalah sebuah keputusan yang tidak argumentative dan hanyalah pertimbangan politik belaka, alasan kurang eselon di kemendagri serta kepentingan kambtibnas dalam pilkada di sumut dan jabar adalah suatu alasan yang tidak beralasan. Mengingat tindakan tersebut sangat jelas bertentangan dengan pasal 201 ayat 10 UU PIlkada serta pasal 28 UU Kepolisian Negara dan UU ASN khususnya pasal 20. Bahwa dalam pasal 201 yang kemudian diartikan oleh mendagri lewat permendagri 1 tahun 2018 juga tidak tepat, karena harus merujuk pada pasal 20 UU ASN yang mana disebutkan secara tegas bahwa pengisian jabatan itu hanya dapat diperuntukan untuk tingkat pusat dan bukan daerah. Terlebih UU kepolisian negara secara tegas menyebutkan bahwa kepolisian negara tidak boleh melibatkan diri dalam politik praktis dan dalam hal pejabat kepolisian mengisi jabatan diluar dinas kepolisian maka harus terlebih dahulu mundur atau berhenti dari kedinasan kepolisian. Hal ini semakin menunjukkan bahwa policy yang akan diambil oleh kemendagri adalah suatu kebijakan yang tidak lagi state oriented akan tetapi government oriented, dan menarik polisi negara untuk masuk dalam tindakan government oriented adalah hal yang membahayakan bagi polri dimana akan menimbulkan distrust akan peran polri yang netral dalam pilkada.
Titi Anggraini selaku Direktur Perludem selain menyoroti perihal pelanggaran undang-undang sebagaimana yang juga sudah dijelsakan oleh Romo Syafii. Titi juga menyayangkan pandangan Presiden Jokowi yang menanggapi enteng perihal ini, padahal pilkada serentak tahun ini adalah bentuk pemanasan sekaligus batu ujian bagi mesin partai untuk bergerak sebelum pemilu dan pilpres 2019. Terlebih lagi, menurut Titi dalam 2024 akan dilakukan pilkada serentak secara nasional maka perihal penjabat gubernur dan Bupati akan terjadi pada 2022 dan 2023. Jangan sampai hal ini menjadi pintu masuk permisifitas kita sehingga memuluskan jalan bagi kembalinya dwifungsi yang mana sama sama telah kita sepakati semenjak reformasi yaitu terkait dwifungsi ABRI, dimana Poli juga berada di dalamnya. Bias dibayangkan pada 2022/2023 akan dibutuhkan 272 penjabat sementara dari pimpinan madya dan pratama untuk mengisi kekosongan jabatan di daerah. Semestinya mulai saat ini kemendagri harus sudah menyusun roadmap terkait permasalahan 272 penjabat sementara tersebut.
Mustafa Fakhri, selaku Ketua PSHTN selain membahas tentang pelanggaran berbagai peraturan sebagaimana rilis media yang telah dilakukan PSHTN kan tetapi juga menyoroti tentang bagaimana amanat reformasi dalam pemisahan struktur menjadi TN POLRI dalam Tap MPR akan tetapi juga juga dimaksudkan agar profesionalitas dan Netralitas TNI dalam Pertanahan negara serta Polri dalam kemanan dalam negeri tetap terjaga. Secara teoritis polri adalah lembaga superbody karena tidak saja dalam lingkungan eksekutif dalam rangka kamdagri akan tetapi juga sebagian dalam yudikatif yaitu penegakan hokum, dimana polri dapat menetapkan seseorang sebagai tersangka, untuk itu akan sangat berbahaya jika jabatan sipil juga dipegang oleh pejabat polri aktif. Karena amanat Tap MPR VII tahun 2000 terkait pemisahan TNI POLRI dalam ayat 3nya disebutkan jabatan sipil jika akan ditempati pejabat TNI POLRI maka terlebih dahulu harus berhenti atau mundur. Jika diberbagai negara bahkan tidak dapat langsung menempati jabatan sipil akan tetapi ada jeda waktu 2 tahun, agar jabatannya tidak digunakan untuk mempengaruhi bekas bawahannya. Untuk itu PS HTN mendesak Presiden untuk menolak usulan mendagri yang menempatkan pejabt polri aktif sebagai penjabat sementara gubernur atau jabatan sipil lainnya. Meminta Presiden untuk tetap menjaga semnagat reformasi sebagaimana yang terdapat dalam amanat reformasi 1998 yaitu menolak dwifungsi ABRI (TNI-POLRI).
Ferry Liando sebagai pembahas menyoroti soal netralitas memang agak sulit untuk dijamin meskipun itu juga dilakukan atau jabatan tersebut dipegang oleh sipi, namun memang dalam pilkada netralitas sangat perlu dilakukan untuk pilkada yang jujur dan adil dan tidak menimbulkan distrust. Ramdansyah selaku activist Reformasi 1998 mencoba mengingatkan kepada seluruh activist reformasi dan mahasiswa jaman now untuk menyikapi secara serius kembalinya dwifungsi dan tetap konsisten akan agenda reformasi jika tetap dilanjutkan usulan atau disetujui maka ini adalah suatu bentuk pembangkangan atas aamanat reformasi, dan Ramdansyah juga menyoroti ada berbagai ketidakpatuhan KPU akan pengunduran waktu tahapan pemilu atas UU Pemilu dan trend ketidakpatuhan menunjukkan penegasian atas demokrasi yang jujur, adil dan bermartabat.
Sebagai penutup semoga kesetiaan pada negara (state oriented) lebih diutamakan daripada pada pemerintahan (government oriented) sehingga tidak mengubah jalur rule of laws menjadi rule by laws yang pada ujungnya hanya akn menciptakan negara kekuasaan belaka (machstaat) dan tidak lagi negara yang berdasarkan atas hukum (Rechstaat). Untuk itu tindakan pemerintah hendaknya menuju pada penciptaan suasan yang kondusif, jauh dari distrust serta pelaksanaan demokrasi yang jujur,adil dan bermartabat.
—
ILUNI UI 2016-2019
“Rumah Kita”
Contact Person
Ivan Ahda
Communication Center
M: 08112030230
Email: ivan.ahda@alumni.ui.ac.id
—
Web: iluni.ui.ac.id