Pentingnya Kepercayaan Masyarakat Terhadap Pemilu
Tahun 2018, Indonesia memiliki dua agenda politik besar, yang dimulai dengan adanya Pemilu Kepala Dearah (Pilkada) serentak di 171 daerah serta persiapan Pemilu Presiden (Pilpres) dan Pemilu Anggota Lembaga Legislatif (Pileg), yang akan diselenggarakan secara serentak pada tahun 2019. Dari sisi regulasi, telah lahir pula Undang-Undang (UU) yang mengatur tentang penyelenggaraan pemilu. Pada 15 Agustus 2017 lalu, Presiden Joko Widodo telah mengesahkan UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). UU ini terdiri atas 573 pasal, penjelasan, dan 4 lampiran.
Ditegaskan dalam UU ini, Pemilu dilaksanakan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Dengan asas tersebut, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu dan para pemangku kepentingan lainnya dituntut untuk menjaga kepercayaan masyarakat. Pasalnya, tidak mudah membuat masyarakat percaya pada sebuah kegiatan bernama pemilihan umum tersebut.
Sehubungan dengan hal tersebut, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Prof. Dr. Topo Santoso, S.H., M.H. mengatakan, bahwa kepercayaan masyarakat terhadap pemilu hendaknya dijaga oleh seluruh pemangku kepentingan, dengan menciptakan penyelenggaraan Pemilu yang bebas, jujur dan adil, sebagaimana diamanatkan oleh UU Pemilu. Hal itu dikatakan oleh pakar Hukum Pidana Pemilu, yang kini juga menjabat sebagai Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) ini, dalam acara Catatan Akhir Tahun 2017 “Tahun Politik yang menentukan: Prosedural Belum Substansial” (27/12) di D’Hotel Jakarta. ” Kepercayaan publik pada pemilu dan pilkada mesti dijaga betul. Apabila masyarakat tidak percaya pemilu dilakukan dengan cara fair, maka masyarakat tidak trust lagi,” kata Prof. Dr. Topo Santoso, S.H., M.H.
Untuk menjaga kepercayaan masyarakat tersebut, Prof. Topo Santoso memberikan saran, agar setelah proses pemilu berakhir, diadakan kegiatan yang dilakukan untuk mengawasi hasil pemilihan tersebut. Karena menurutnya, proses pemilu, yang menghasilkan anggota Presiden, DPR, DPRD, Gubernur, Wali Kota hingga Bupati harus ada pengawasan, agar masyarakat dapat mempercayai sebuah pesta demokrasi. Bahkan, menurut Topo, pengawasan tersebut tidak hanya diperlukan pada saat dan pasca pemilu saja, namun juga pada seluruh rentetan proses, yang dimulai sejak prapemilu.
Selain itu, dalam kesempatan tersebut Topo juga menyinggung tentang maraknya isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) yang berkembang dalam penyelenggeraan kontestasi politik akhir-akhir ini. Menurut Topo, kegagalan partai politik melakukan pendidikan politik kepada kader dan masyarakat serta buruknya proses kaderisasi dinilai menjadi penyebab maraknya isu SARA. Topo mengemukakan, “Selain merebaknya isu SARA, kegagalan fungsi parpol itu juga ikut menyuburkan politik uang. Elite parpol kian pragmatis melihat pemilu, bukan memikirkan rekrutmen kader lalu mendidiknya agar mampu menyerap aspirasi. Tetapi justru mengedepankan menang dan kalah,” sambung Topo. Menurut Topo, isu SARA dimainkan karena dinilai paling efektif dalam mendongkrak ataupun menjatuhkan popularitas seseorang. Ia menambahkan, “Politik SARA terjadi akibat adanya pihak yang berniat melakukan atau memiliki kapabilitas. Ada target empuk seperti kelemahan pasangan calon tandingan, dan lemahnya kontrol penegak hukum.” Menurut Topo, untuk menimbulkan efek jera, penegak hukum dan penyelenggara pemilu jangan lagi bergantung pada hukuman pidana. Topo lalu menegaskan, “Hukuman pidana hanya mengenai pelaku pelaksana, bukan otak atau dalang di baliknya. KPU, Bawaslu, dan Tim Penegakan Hukum Terpadu harus menjatuhkan sanksi diskualifikasi. Mereka akan berpikir seribu kali karena sanksi diskualifikasi itu paling menakutkan.”
Dalam acara yang diselenggarakan oleh Perludem itu, Prof. Topo Santoso berpesan, bahwa ini semua jadi pekerjaan rumah besar (bagi kita semua) pada tahun 2018 dan tahun-tahun selanjutnya untuk tetap bergerak dan bergiat mengawal pemilu dan demokrasi Indonesia. “Sejatinya, demokrasi bagai taman yang harus terus disiram, dipupuk, dan diberi sinar matahari agar ia tetap hidup dan memberikan kehidupan,” pungkas Topo.