Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan dan Program Studi Kajian Gender Sekolah Kajian Stratejik dan Global, Universitas Indonesia
“Konsolidasi Parlemen, Pemerintah, dan Masyarakat Sipil
dalam Pembahasan RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual”
Jakarta, 26 Oktober 2017
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan Program Studi Kajian Gender Sekolah Kajian Stratejik dan Global, Universitas Indonesia mengapresiasi komitmen berbagai pihak yang terlibat dan memberikan dukungan dalam upaya penghapusan kekerasan seksual, baik dari sisi pengembangan pengetahuan terkait kekerasan seksual, peningkatan kepedulian masyarakat dalam penghapusan kekerasan seksual, maupun upaya menghadirkan payung hukum yang mampu memberikan perlindungan dan pemulihan bagi korban kekerasan seksual.
Dalam rangka pembangunan pengetahuan terkait kekerasan seksual, Komnas Perempuan bekerja sama dengan Program Studi Kajian Gender Sekolah Kajian Stratejik dan Global dan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, menyelenggarakan Konferensi Pengetahuan dari Perempuan III Tahun 2017, yang bertema “Seksualitas, Viktimisasi, dan Penghapusan Kekerasan Seksual”, pada 24-26 Oktober 2017, di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Kegiatan ini menghadirkan berbagai pakar dan praktisi berbagai keahlian dan 25 orang panelis (yang lolos seleksi) yang memaparkan pengetahuan perempuan yang terkini yang makin memperkaya khazanah pengetahuan bangsa, terutama pengetahuan yang berasal dari perempuan, yang terkait dengan upaya penghapusan kekerasan seksual. Konferensi yang dihadiri kurang lebih 200 orang dari representasi akademisi, aktivis gerakan sosial dan pembela HAM menyepakati resolusi bertajuk “Stop viktimisasi korban kekerasan seksual, sahkan RUU penghapusan kekerasan seksual, sebagai rekomendasi hasil konferensi pengetahuan dari perempuan ini. Hal ini disadari bahwa persoalan seksualitas dan kekerasan seksual merupakan hal yang amat kompleks. Ada konstruksi sosial dan konstruksi gender yang memberikan banyak pengaruh pada dimensi berbeda-beda yang bekerja secara bersamaan, dari yang historis, biologis, psikologis, sosial, ekonomis, hingga politik-kebijakan.
Rekomendasi
Kesepakatan resolusi ini memberikan enam belas (16) rekomendasi kepada penyelenggara negara sebagai berikut:
- Membuat kebijakan komprehensif melalui pengesahan RUU Penghapusan kekerasan Seksual yang memastikan pencegahan, perlindungan, pengadilan, penghukuman dan pemulihan yang berprinsip pada HAM perempuan. Hal ini perlu disertai dengan harmonisasi kebijakan secara vertikal dan horisontal dalam isu penanganan dan pencegahan kekerasan seksual.
- Mengembangkan terobosan pencegahan dan penanganan salah satunya melalui narasi alternatif – bukan hanya counter-narative – dalam mencegah dan menangani radikalisme;
- Memperluas pelibatan kelompok-kelompok perempuan dalam strategi nasional untuk pencegahan dan penanganan terorisme, termasuk mendorong perempuan menjadi agen perdamaian. Perempuan dapat menjadi pemantau awal terhadap terjadinya gerakan radikal di lingkungannya. Testimoni perempuan korban juga dapat digunakan untuk mencegah dan menghentikan perekrutan pelaku terorisme;
- Penanganan kekerasan terhadap perempuan tidak me-reviktimisasi dan mengkriminalkan perempuan hingga menjangkau ke berbagai wilayah pedesaan dan kepulauan;
- Menghapus adat dan budaya yang membahayakan perempuan (misal pelukaan/pemotongan genital perempuan (P2GP) bukan hanya melalui kebijakan pemerintah namun disertai pula dengan edukasi terhadap masyarakat tentang bahaya praktik tersebut dengan menggunakan bahasa yang dipahami masyarakat;
- Memberdayakan pendamping dan korban untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan melakukan advokasi kebijakan, termasuk di dalamnya melindungi perempuan pembela HAM;
- Menguatkan sinergitas dalam memberikan dukungan mekanisme kerjasama antar lembaga dalam penanganan perempuan korban kekerasan;
- Membuat program pencegahan (termasuk pendidikan) dan penanganan yang komprehensif kepada kelompok rentan dan minoritas seksual diantaranya termasuk kelompok disabilitas dan keluarganya, pekerja migran dan keluarganya (terutama anak), lanjut usia dan penanganan bagi perempuan yang digunakan sebagai alat gratifikasi dan prostitusi dalam segala pola-polanya;
- Mengintegrasikan HAM dan gender dalam kurikulum pendidikan formal, informal dan non formal, termasuk dalam hal ini kesehatan reproduksi dan hak seksual;
- Menyusun SOP penanganan kekerasan seksual di tingkat penyidikan yang lebih ramah korban dan melaksanakan pelatihan untuk penyadaran dan penanganan kekerasan terhadap perempuan berbasis HAM Perempuan kepada berbagai pihak khususnya aparat penegak hukum dalam rangka membangun kepedulian, komitmen, dan sikap ramah terhadap korban;
- Memenuhi hak-hak korban – termasuk hak ekonomi, sosial, budaya, sipil dan politik – dalam pemulihan korban kekerasan seksual terutama korban dari kelompok rentan dan minoritas seksual, termasuk mengembangkan dan melaksanakan mekanisme konseling bagi pelaku dalam rangka menghentikan proses reviktimisasi;
- Menghentikan perkawinan anak melalui peningkatan usia perkawinan dan pemberian kesempatan seluas-luasnya bagi perempuan untuk mengakses pendidikan minimal 12 tahun;
- Menindaklanjuti hasil pemantauan dan pendokumentasian berbagai bentuk kekerasan seksual;
- Membuat kebijakan komprehensif untuk mencegah, melindungi dan menindak kekerasan seksual yang terjadi di dunia maya, yang menjunjung prinsip HAM perempuan;
- Memikirkan strategi pelibatan berbagai pihak, termasuk laki-laki secara kritis, yang tidak menjadi gerakan terpisah dari gerakan perempuan;
- Memenuhi hak korban kekerasan seksual di sejumlah wilayah konflik/pasca konflik dengan prinsip keadilan transisional, untuk hak kebenaran, keadilan, pemulihan dan jaminan tidak berulang.
Sebagai rangkaian dari kegiatan tersebut, Komnas Perempuan bekerja sama dengan Kaukus Perempuan Parlemen RI (KPPRI) menyelenggarakan seminar bertajuk “Konsolidasi Parlemen, Pemerintah, dan Masyarakat Sipil dalam Pembahasan RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual”, pada 26 Oktober 2017 di DPR RI. Dalam kegiatan yang dibuka oleh GKR Hemas (ketua Presidium KPPRI). Pemaparan oleh Azriana (Ketua Komnas Perempuan), Rahayu Saraswati (Anggota Komisi VIII DPR RI), dan perwakilan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menyampaikan komitmennya untuk mengawal proses pembahasan RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual agar menjadi produk hukum yang mengatasi berbagai hambatan yang dialami oleh korban kekerasan seksual.
Untuk memastikan RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual dapat memenuhi hak korban atas kebenaran, keadilan, pemulihan, pemenuhan rasa keadilan, dan jaminan ketidakberulangan, Komnas Perempuan menyerukan kepada lembaga eksekutif dan legislatif untuk mengintegrasikan hak-hak korban, pelibatan masyarakat dalam upaya pencegahan, penjeraan pelaku, pemulihan dan penanganan kasus pendekatan keadilan bagi korban.
Narahubung kegiatan di DPR:
- Masruchah, Komisioner Komnas Perempuan, 087887233388
- Irawati Harsono, Komisioner Komnas Perempuan, 081310722059
Narahubung Hasil Konferensi PDP III :
- Lidwina Nurtjahyo, Ketua Program Studi Kajian Gender Sekolah Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 089630226146
- Nina Nurmilla, Komisioner Komnas Perempuan, 085814479624
Lampiran Utama :
RESOLUSI KONFERENSI PENGETAHUAN DARI PEREMPUAN III 2017
Acara penutupan Konferensi Pengetahuan dari Perempuan III 2017 ini dihadiri oleh Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof. Dr. Topo Santoso, S.H., M.H. (26/10) di Auditorium Djokosoetono FHUI, Kampus UI Depok.