Kewajiban ASEAN Melindungi Myanmar
Oleh Hikmahanto Juwana
Etnik Rohingnya’ kembali mendapat perlakuan di luar batas kemanusiaan oleh aparat keamanan Myanmar. Ini terjadi pascaserangan ARSA ke sejumlah pos polisi yang menewaskan 12 aparat keamanan pada 25 Agustus lalu.
Saat ini sejumlah negara, termasuk Indonesia, melakukan misi kemanusiaan untuk meringankan penderitaan etnik Rohingnya yang luka-luka ataupun yang eksodus besar-besaran dari permukiman mereka di Negara Bagian Rakhine. Namun, bisa jadi misi kemanusiaan yang dilakukan tak dapat mengakhiri kekejaman yang disebut Menteri Luar Negeri Retno L Marsudi sebagai kekejaman berulang.
R2P
Peristiwa di Negara Bagian Rakhine disebut sebagai suatu kekejaman bukannya tanpa dasar. Kekejaman terjadi karena pemulihan keamanan yang dilakukan otoritas keamanan Myanmar sudah tak ada lagi proporsional, bahkan mengarah pada tindakan ethnic cleansing. Para aparat di lapangan sulit dikendalikan dan cenderung melakukan pelanggaran hak asasi manusia beras.
Dalam hukum internasional, tindakan ethnic cleansing merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang merupakan salah satu kejahatan internasional. Bahkan, para petinggi negara, meski tidak menginstrusikan kepada aparat di lapangan, bisa dimintakan pertanggungjawabannya secara pidana. Ini yang dikenal sebagai tanggung jawab atasan. Mereka dipersalahkan atas dasar melakukan pembiaran.
Untuk mengakhiri bahkan pada saatnya membawa mereka yang bertanggung jawab ke peradilan internasional telah memunculkan sebuah konsep yang disebut responsibility to protect (kewajiban untuk melindungi) dan dikenal dalam singkatan R2P.
R2P dimunculkan secara formal pada tahun 2005 dalam World Summit yang dihadiri seluruh anggota PBB. Ketika itu negara-negara berkomitmen global berupa R2P untuk memastikan tidak terjadi genosida, kejahatan perang, ethnic cleansing, dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
R2P adalah kewajiban yang dibebankan kepada masyarakat internasional untuk melakukan intervensi di suatu negara dengan tujuan agar pengambil kebijakan mengakhiri tindakan yang dikualifikasi sebagai kejahatan internasional.
Apabila dianalogikan dalam peristiwa sehari-hari, apakah masyarakat akan tinggal diam ketika tahu seorang suami di suatu rumah melakukan penganiayaan terhadap istri dan anak-anaknya ? Tentu jawabannya tidak. Dalam konteks demikian, masyarakat yang tahu akan melaporkan kejadian itu kepada polisi.
Hal yang sama juga terjadi dalam hubungan antar negara. Masyarakat internasional tidak akan berdiam diri ketika pemerintah suatu negara melakukan kejahatan internasional terhadap rakyatnya. Hanya saja, dalam konteks masyarakat internasional tidak dikenal adanya “polisi” dunia.
Peran polisi digantikan oleh masyarakat internasional itu sendiri, apakah koalisi negara-negara atau melalui organisasi internasional ataupun regional.
Dalam konsep R2P, intervensi atas kedaulatan suatu negara dibenarkan mengingat tujuannya adalah menyelamatkan nyawa dari banyak orang dari suatu kekejaman. Atas dasar ini, pemerintah suatu negara tak dapat mengklaim kekejaman yang dilakukan terhadap rakyatnya sebagai “urusan dalam negeri” mereka. R2P selama ini telah dilakukan dalam sejumlah peristiwa, baik di Afrika maupun Timur Tengah.
ASEAN
Pada saat dunia disibukkan oleh sejumlah masalah dan PBB pun tidak berdaya mengambil langkah-langkah efektif, apakah organisasi regional dapat melakukan R2P atas suatu negara di kawasan ?
Ini menjadi pertanyaan sekaligus tantangan bagi ASEAN sebagai organisasi regional dalam kekejaman yang terjadi di Myanmar.
Apabila siklus kekerasan tidak juga berakhir, apakah ASEAN bisa bertindak terhadap Pemerintah Myanmar atas dasar R2P?
Jawaban dari pertanyaan ini akan ditemukan dalam beberapa waktu ke depan. Apabila pemerintah Myanmar tidak menghentikan atau membiarkan otoritas keamanannya terus melakukan persekusi, ethnic cleansing, bahkan genosida terhadap etnik Rohingnya, ASEAN harus bertindak.
Pemerintah Indonesia tentunya bisa mengambil inisiatif. Namun, satu hal yang pasti, R2P tidak seharusnya dilakukan secara unilateral oleh Indonesia. Amerika Serikat dalam sejumlah peristiwa selalu “mengajak” negara-negara lain berperan serta atau memastikan mendapatkan persetujuan dari organisasi internasional seperti PBB.
Insiatif yang dapat diambil oleh Pemerintah Indonesia adalah mengundang sidang darurat ASEAN. ASEAN harus bersikap dan mengambil langkah yang tegas. ASEAN tidak seharusnya berkelit atas dasar Piagam ASEAN, khususnya terkait prinsip non intervensi dan pengambilan keputusan yang berdasarkan konsensus.
Negara-negara ASEAN tidak boleh berlindung kepada PBB dengan mengatakan bahwa PBB lah yang memiliki otoritas mengambil tindakan saat dugaan ethnic cleansing ataupun genosida terjadi di Myanmar.
Sudah sewajarnya organisasi kawasan mengambil inisiatif saat terjadi peristiwa yang mengarah pada kejahatan internasional. Keberadaan ASEAN tidak akan bermakna apabila ASEAN tidak mampu mengambil alih masalah-masalah pelik.
Apabila ASEAN akhirnya mengambil tindakan R2P, sebagai langkah awal, Myanmar dikenai embargo ekonomi.
Embargo ekonomi diharapkan akan diikuti sejumlah negara di dunia dan pada gilirannya akan mengakhiri siklus kekerasaan di Negara Bagian Rakhine, Myanmar. Semoga.
Hikmahanto Juwana
Guru Besar Hukum Internasional
Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Artikel ini dimuat di Kompas (Kamis, 14 September 2017).