Perlindungan Hukum Terhadap Cagar Budaya di Indonesia
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki puluhan ribu pulau yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Banyak dari pulau-pulau tersebut yang menyimpan sejarah peradaban manusia yang sangat tua. Salah satunya adalah sejarah kebudayaan zaman Megalitikum di Kabupaten Bondowoso yang berlangsung pada sekitar abad ke-1000 sampai dengan ke-100 Sebelum Masehi. Berbagai peninggalan dari kebudayaan kuno itu yang masih dapat kita temukan saat ini, antara lain adalah benda-benda yang terbuat dari batu, seperti Menhir, Dolmen, Sarkofagus, Patung Durga dan Batu Kenong. Saat ini, benda-benda bersejarah tersebut ada yang terletak di rumah-rumah penduduk desa, dan bahkan ada yang berlokasi di kebun singkong, sehingga sangat rentan terhadap kerusakan.
Guna mencegah benda-benda bersejarah itu dari kerusakan, Negara perlu menyiapkan aturan-aturan hukum yang memadai. Persoalan hukum yang sering terjadi di Indonesia yang terkait dengan sejarah peradaban dan kebudayaan kuno adalah tentang Cagar Budaya, khususnya mengenai hukum kepemilikan atas penemuan aset. Dengan latar belakang itu, Pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang (UU) No. 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, yang menggantikan UU sebelumnya, UU No. 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya, yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan, tuntutan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
Tujuan Pemerintah mengeluarkan UU tersebut adalah untuk melestarikan Cagar Budaya dan membuat Negara serta-merta bertanggung jawab dalam hal perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan Cagar Budaya. Dengan diaturnya hal ini di dalam peraturan perundang-undangan yang memiliki daya ikat yang kuat, diharapkan keseimbangan aspek ideologis, akademis, ekologis, dan ekonomis dapat tercipta, guna meningkatkan kesejahteraan rakyat di sekitar Cagar Budaya.
Sebagai implementasi dari UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, Pemerintah telah menerbitkan Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya yang dapat diakses masyarakat luas melalui laman http://cagarbudaya.kemdikbud.go.id/. Laman ini diterbitkan dengan tujuan agar masyarakat luas dapat mendaftarkan penemuan benda-benda kuno atau bersejarah yang menarik untuk dapat ditingkatkan statusnya menjadi bagian dari Cagar Budaya.
Berdasarkan data yang dihimpun dari Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Tahun 2013, dapat diketahui, bahwa jumlah Cagar Budaya di Indonesia mencapai angka 66.513 Cagar Budaya, yang terdiri atas 54.398 Cagar Budaya Bergerak dan 12.115 Cagar Budaya Tidak Bergerak, yang tersebar di seluruh pelosok tanah air. Dari jumlah tersebut, sudah dipelihara sebanyak 1.895 Cagar Budaya, dengan 2.988 juru pelihara. Yang telah dipugar berjumlah 643 Cagar Budaya, 146 Cagar Budaya telah dikonservasi, dan 983 Cagar Budaya telah ditetapkan oleh Menteri .
Untuk dapat disebut sebagai Cagar Budaya, ada beberapa tahap yang harus dilalui, yaitu: tahap pendaftaran, pengkajian, penetapan, pencatatan, pemeringkatan, penghapusan, penyelamatan, pengamanan, zonasi, pemeliharaan, pemugaran, penelitian, revitalisasi, adaptasi dan pemanfaatan.
Dalam upaya pengembangan Cagar Budaya ini, Prof. Dr. Anna Erliyana, S.H., M.H., seorang Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) telah melakukan suatu bentuk pengabdian kepada masyarakat dengan menjadi bagian dari Tim Ahli Cagar Budaya Nasional (TACBN). Tim ahli ini melakukan pengkajian terhadap benda-benda yang dapat menjadi bagian dari Cagar Budaya. TACBN terdiri dari berbagai ahli, antara lain sejarah, arkeologi, antropologi, geologi, arsitektur, dan hukum.
Prof. Dr. Anna Erliyana, S.H., M.H. menjelaskan, bahwa untuk dapat menjadi cagar budaya, kriteria Penetapan dan/atau Pemeringkatan Cagar Budaya Nasional ditentukan berdasarkan amanah Pasal 42 UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.. Dijelaskan, bahwa sebelum dilakukan Penetapan dan/atau Pemeringkatan Cagar Budaya Nasional dan setelah melalui tahap verifikasi, ‘calon’ Cagar Budaya akan dikaji oleh TACBN dalam suatu Sidang Kajian. Pada sidang tersebut, TACBN akan mengkaji lalu memberikan rekomendasi kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk menetapkannya sebagai Cagar Budaya.
Pada tanggal 27 Juli 2017, TACBN melakukan kajian lapangan terhadap Kawasan Cagar Budaya Megalitikum Grujugan di Kabupaten Bondowoso yang telah ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya peringkat Provinsi pada Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor 188/146/KPTS/013/2016 tanggal 29 Februari 2016 tentang Penetapan Megalitikum Grujugan di Kabupaten Bondowoso sebagai Kawasan Cagar Budaya peringkat Provinsi.
Kajian tersebut merupakan salah satu bagian dari kajian TACBN dalam memberikan rekomendasi Pemeringkatan Cagar Budaya Nasional terhadap kawasan tersebut. Pada saat melakukan kajian lapangan, TACBN bersepakat bahwa Kawasan Cagar Budaya Megalitikum Grujugan berpotensi untuk direkomendasikan sebagai salah satu Cagar Budaya peringkat Nasional. Hal ini mengingat bahwa peninggalan kepurbakalaan pada kawasan tersebut berpotensi memenuhi kriteria Pasal 42 UU No. 11 Tahun 2010. Kesepakatan TACBN ini akan berlanjut pada Sidang Kajian TACBN. Namun sebelum itu, TACBN memberi catatan bahwa masih diperlukannya kelengkapan data, agar kawasan tersebut layak dikaji dan direkomendasikan menjadi Cagar Budaya peringkat Nasional. Data tersebut antara lain berupa data verbal dan piktorial yang mendukung kelayakan rekomendasi Cagar Budaya peringkat Nasional, terutama batas-batas wilayah dan delineasi kawasan yang akan direkomendasikan.
Menurut Prof. Dr. Anna Erliyana, S.H., M.H., masyarakat tidak perlu khawatir dengan kepastian hukum objek yang didaftarkan. Karena meskipun belum ditetapkan sebagai Cagar Budaya, objek yang diduga sebagai Cagar Budaya yang sudah didaftarkan tersebut telah mendapat pelindungan hukum dan diperlakukan sama sebagai Cagar Budaya. Hal ini sesuai dengan amanah Pasal 31 Angka (5) UU No.11 Tahun 2010 yang berbunyi, “Selama proses pengkajian, benda, bangunan, struktur, atau lokasi hasil penemuan atau yang didaftarkan, dilindungi dan diperlakukan sebagai Cagar Budaya.”
Pakar Hukum Administrasi Negara ini melanjutkan, bahwa meskipun sudah ditetapkan sebagai Cagar Budaya, suatu objek tetap bisa dimiliki dan dikelola oleh siapapun selama tidak bertentangan dengan UU No. 11 Tahun 2010..