Ismala Dewi: “Kalau Dibeton Semua Sungai Jadi Seperti Selokan Besar”
Ibu yang satu ini bergelar Doktor Ilmu Hukum. Tapi, ia rela berurusan dengan sampah berbau busuk, berbasah-basah nyebur ke kali Ciliwung, tak bosan-bosannya ngobrol dengan warga di sepanjang DAS yang belum tentu semuannya ramah. Dan semua itu dilakoninya tidak hanya sehari, sebulan, tapi bertahun-tahun.
Lalu hasil apa yang didapat oleh Ismala Dewi?
Tentu ia senang. Bukan, bukan karena materi yang ia dapat. Melainkan ia bisa melihat masyarakat yang tinggal di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung Depok berubah ke arah yang lebih baik. Mereka tak lagi membuang sampah sembarangan. Sungai menjadi bersih. Mereka pun tak lagi membuat rumah mepet dengan sungai. “Kalau sungai meluap kan bisa mencelakai anak-anak dalam rumah,” katanya.
Singkatnnya, ekosistem sungai jadi terjaga baik.
(Sumber foto: http://www.depokterkini.com/2015/10/saung-pustaka-air-wadah-edukasi-peduli.html)
Hanya itu tujuannya?
Tentu tidak. Bersama dengan Komunitas Ciliwung Depok (KCD) Ismala Dewi mulai merencanakan ekosistem Ciliwung berbasis konservasi sungai, dan pemberdayaan masyarakat. Kegiatan yang dilaksanakan tahun 2014 tersebut, awalnya dikemas alam program Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia (Pengmas UI).
Lewat pemberdayaan yang dilakukan, potensi-potensi yang dimiliki masyarakat mulai muncul. Tidak hanya menghadirkan beragam kegiatan ekonomi yang bisa meningkatkan kesejahteraan hidup mereka, tapi juga mengubah perilaku hidup masyarakat terhadap sungai.
Akhir Juli lalu, di rumahnya yang asri dikawasan Kampung Utan Kayu, Depok. Ibu tiga anak yang juga masih aktif mengajar di Fakultas Hukum UI ini bercerita. Tak hanya perjuangannya membangun ekowisata Ciliwung Depok, tapi juga tentang kenapa suaminya mau membantu.
Kenapa ibu memilih DAS Ciliwung Depok sebagai kawasan ekowisata ?
Pada dasarnya saya senang dengan air, disertasi saya juga tentang air. Saya memlih Ciliwung Depok, karena sebelumnnya sempat melakukan riset terlebih dahulu. Ciliwung Depok mempunyai potensi wisata yang bagus. Diantaranya ada di Cikambangan, Depok, dimana terdapat Gedung Batu Putih, dan biota sungai yang masih asri. Masyarakat yang tinggal dikawasan DAS Ciliwung Depok, juga mempunyai kuliner yang khas. Salah satunya kecap,yang rasanya enak sekali. Sayangnya Sungai Ciliwung pada saat itu banyak sampah, baik yang berasal dari buangan industri maupun limbah rumah tangga.
(Sumbe fotor: http://www.depokterkini.com/2015/10/saung-pustaka-air-wadah-edukasi-peduli.html)
Permasalahan apa yang terjadi?
Di Ciliwung saya bertemu dengan Pak Taufik, yang pada saat itu baru membentuk KCD. Bersama dengan komunitas ini, saya mulai memetakan masalah. Diantaranya, tidak tertatanya penggunaan lahan di sepanjang sungai membuat tebing sungai semakin banyak yang longsor. Keberadaan bangunan juga menjadi masalah, harusnya kan jarak ideal 15 (lima belas) meter dari titik sungai tidak ada bangunan. Ini malah ada perumahan dekat sungai. Air juga menurun kualitasnnya akibat pencemaran.
Permasalahan lain juga ada di pemerintah daerah, SDM yang menangani Ciliwung yang berada di Dinas Lingkungan Hidup misalnya, baru setahun sudah dirotasi. Hingga kami harus memulai presentasi lagi, adaptasi lagi. Hal itu yang menyebabkan koordinasi dengan pemerintah daerah agak kurang, harus ada pemahaman lagi.
Dinamika yang terdapat di lapangan sangat tajam, terutama yang menyangkut komunitas. Ada beberapa komunitas yang bersaing memperebutkan wilayah kekuasaan.
Lalu apa yang ibu lakukan?
Dibantu suami, saya memback-up dan memberikan dorongan kegiatan KCD dari sisi hukum, dan perijinan. Biar mereka lebih percaya diri dalam melangkah. Kepada masyarakat kami berikan pemahaman agar tidak lagi membuang sampah ke sungai. Hal itu kami mulai dari anak-anaknya terlebih dulu. “Kami ajarkan mereka dengan cerita bergambar, biar mereka senang. Lalu kita membuat gerakan rumah tangga ramah air, agar sungai terlihat bersih. Kita juga mencoba mendorong pemerintah agar tidak melakukan normalisasi sungai, karena hal tersebut bisa merusak sungai. Bila tujuannya ingin mendapatkan air yang bagus, tanam saja bambu yang bisa menjernihkan air. Kalau di beton semua, sungai seperti selokan besar saja.”
Kegiatan ekowisata itu apa ya?
Kami ada kegiatan menyusuri sungai Ciliwung dengan menggunakan perahu. Tantangannya kalau arum jeram di sungai Citarik banyak bebatuan, di Ciliwung bambu jadi perintang. Pada saat menyusuri sungai-sungai tersebut, kita ada beberapa tempat pemberhentian. Nah, ditempat pemberhentian tersebut, masyarakat sekitar berjualan berbagai macam makanan dan cindera mata. Terkadang mereka juga menampilkan kesenian betawi, seperti silat dan lainnya. Hal ini bisa menambah penghasilan buat masyarakat. Kegiatan ini memang tidak selalu ada, tergantung pemesanan atau dilakukan pada acara-acara tertentu. Beberapa perusahaan yang pernah melakukan wisata air di Ciliwung diantarnya: Hero dan Astra. Dalam kegiatan ini kami juga melakukan kerjasama dengan mahasiswa pencinta alam dan PMI, agar lebih aman. Basecamp kita ada dibawah jembatan menuju perumahan Grand Depok City (GDC) Depok.
Sebenarnya apa yang hendak dicapai dari kegiatan ekowisata ini dan bagaimana hasilnnya sekarang?
Masyarakat yang tinggal DAS Ciliwung Depok menyadari potensi yang mereka miliki. Ekosistem di sungai juga terjaga. Hasil terpenting yang di dapat dari kegiatan, ada kemajuan yang di dapat.
Secara fisik dibandingkan tahun 2014 lalu sudah banyak perubahan ke arah yang lebih baik. Sampah tidak lagi terlihat di mana-mana, ada toilet umum di bangun di pinggir sungai. Karena memang tujuan ekowisata yang kami buat ini untuk konservasi, bukan bisnis. Kalupun nanti ada nilai komersilnya itu hanya ikutan saja. Kalu buat saya sendiri, tidak memikirkan nilai komersilnya. Yang penting buat saya bisa berbuat baik dengan kemampuan yang saya miliki.
Apa tantangannya?
Memberikan pemahaman yang benar kepada masyarakat. Sekarang ini ketika ekowisata sudah berjalan, banyak yang mengaku-ngaku kalau itu hasil kerjanya. Padahal saya betul, kalau itu kami di KCD yang memulainya. Beberapa kelompok mulai banyak yang mencoba ikut serta, tapi kami tahu orientasi bukan pada konservasi tapi pada bisnis.
Khusunya industri kecil sendiri tantangannya, mereka masih sering membuang limbah ke sungai. Tapi kami sadar, tidak akan bisa memperingatkannya dengan memakai hukum yang benar. Biar bagaimanapun mereka butuh makan, apalagi saat ini dalam keadaan sulit. Hal ini yang bisa kami lakukan secara persuasif tidak bisa secara paksa. Nanti akan timbul perlawanan dari mereka.
Program apa yang selanjutnya dilakukan?
Masih tetap dalam kerangka ekowisata. Bila sebelumnya fokus ke pemberdayaan masyarakat, kini kami fokus ke tanaman. Kami tengah mengembangkan aquaponik dan hidroponik di wilayah tangkapan air atau catchment area yang berada di pinggir Sungai Ciliwung. Kami membuat percontohan dulu di empat RT. Lalu warga akan kita panggil untuk melihat bagaimana memanfaatkan gelas-gelas plastik, dan kaleng-kaleng bekas untuk dijadikan sebagai wadah tanaman. Masyarakat memang harus kita libatkan, karena mereka yang bersentuhan langsung dengan kehidupan di pinggir sungai.
Yang pasti, kegiatan ekowisata ini tetap harus jalan. Ada atau tidak adanya dana. Itu sudah kita niatkan. Apalagi yang namanya ekowisata itu tidak bisa setahun selesai, harus berkelanjutan.
Bagaimana membagi waktu antarapekerjaan, keluarga dan kegiatan di KCD?
Kebetulan saya mempunyai suami yang passion-nya sama dengan saya. Ketiga anak saya sudah besar-besar semua. Anak kedua sudah menyelesaikan S2, anak pertama sedang menyelesaikan tesis. Sedangkan yang paling bungsu baru menyelesaikan S1-nya. Saya sendiri dari dulu sudah banyak kegiatan, jadi tidak ada masalah di keluarga.
Budi suswanto
Sumber: Tabloid Nova (14-20 Agustus 2017) halaman 36—37.