Kasus kekerasan yang terjadi di lingkungan lembaga pendidikan selalu membuat kita terhenyak. Kita terkejut dan marah, tidak bisa menerima kenyataan bahwa perbuatan itu dilakukan oleh orang-orang yang kepadanya kita percayakan pendidikan (lebih jauh lagi, masa depan akademik) anak-anak kita. Kekerasan ini dapat berupa kekerasan fisik, psikis maupun seksual. Saat ini kita dikejutkan dengan kasus kekerasan seksual di TK Jakarta International School (JIS). Peristiwa ini terkuak berkat keberanian orang tua korban dan semua pihak yang berkomitmen untuk berjuang korban (dan korban lainnya) memperoleh keadilan dan berjuang agar tidak ada lagi anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual. Korban pun adalah seorang yang pemberani, pahlawan cilik, meski keadaannya saat ini sungguh memperihatinkan, belum lagi membayangkan bagaimana masa depannya nanti akibat trauma kekerasan seksual yang dialaminya.
Terhadap kasus yang terjadi di JIS, timbul pertanyaan : Ketentuan mana yang dapat terapkan kepada pelaku (para pelaku)? Terhadap perbuatan ini maka terdapat 2 (dua) ketentuan yang mengatur yakni KUHP dan UU Perlindungan Anak. Dalam hal ini, Pasal 289 KUHP memberikan ancaman maksimal sembilan tahun pidana penjara bagi pelaku dan Pasal 82 UU Perlindungan Anak memberikan ancaman minimal 3 tahun penjara dan maksimal 15 tahun penjara dengan denda minimal 60 juta rupiah dan maksimal 300 juta Rupiah.
Lalu ketentuan mana yang akan diterapkan?
Sesuai rumusan Pasal 63 Ayat (2) KUHP yang menentukan bahwa jika suatu perbuatan (percabulan dengan kekerasan/ancaman kekerasan yang kita sebut sebagai kekerasan seksual), yang masuk dalam satu aturan pidana yang umum (diatur dalam KUHP), diatur pula dalam aturan pidana yang khusus (UU Perlindungan Anak), maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan. Dengan demikian, sesuai dengan asas lex specialis derogat legi generali, dalam kasus kekerasan seksual yang dialami oleh siswa TK JIS, maka aturan yang kita pergunakan adalah Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. UU ini diamanatkan untuk dijadikan sebagai landasan hukum dalam memberikan perlindungan kepada seluruh anak Indonesia. Dalam hal ini, utamanya anak sebagai korban. Lahirnya UU ini sebagai penyempurnaan dari ketentuan dalam KUHP yang mengatur tentang kekerasan seksual terhadap anak dan menjadi ketentuan yang khusus.
Kelebihan penggunaan aturan khusus ini bahwa terdapat ancaman minimal khusus baik untuk pidana penjara maupun dendanya. Untuk pidana penjaranya yakni 3 tahun penjara, sehingga pelaku tidak dapat dihukum kurang dari 3 tahun penjara. Adapun denda diancamkan secara kumulasi dengan pidana penjara, jadi bukan hanya dapat dijatuhi pidana penjara namun juga pidana denda minimal 60 juta Rupiah. Perlu kita perhatikan bahwa jika perbuatan ini dilakukan lebih dari satu kali baik terhadap korban yang sama/berbeda, maka dapat diterapkan aturan tentang gabungan tindak pidana untuk masing-masing pelaku seperti diatur di dalam Pasal 65 KUHP. Sesuai Pasal 65 Ayat (2) KUHP, terhadap pelaku dapat dijatuhkan pidana penjara yang lamanya maksimal 20 tahun. Jika dilakukan oleh lebih dari satu orang maka dapat diterapkan ajaran penyertaan sesuai Pasal 55 dan/atau 56 KUHP, tergantung peranan masing-masing pelaku dalam tindak pidana tersebut. Baik pelaku yang sudah teridentifikasi keterlibatannya dalam kasus ini maupun yang belum.
Mengapa Pasal 65, 55 dan/atau 56 KUHP digunakan? Karena menurut Pasal 103 KUHP, ketentuan umum dalam Buku I KUHP juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana (Pasal 82 UU Perlindungan Anak memuat sanksi pidana) kecuali jika oleh UU ditentukan lain. Karena UU Perlindungan Anak tidak menentukan aturan yang berbeda dengan KUHP maka dengan demikian pasal-pasal dalam KUHP tersebut dapat diterapkan.
Tenaga Pendidik, Tenaga Kependidikan dan Pola Rekrutmen
Setiap lembaga pendidikan diharapkan mempekerjakan tenaga pendidik (guru/dosen) dan tenaga kependidikan (pegawai/karyawan non guru) yang kompeten, mempunyak kredibilitas dan semua hal-hal yang baik lainnya. Rekrutmen sesuai peraturan eksternal (misalnya sesuai dengan UU Ketenagakerjaan dan aturan turunannya) maupun internal (ditentukan sendiri oleh pihak perusahaan) tentu diterapkan, namun biasanya aturan itu khususnya diberlakukan untuk calon pegawai tetap. Dalam hal rekrutmen pegawai tentu ada beragam tes, diantaranya tes potensi akademik, psikotes dan wawancara. Nah dari psikotes ini dapat diperoleh gambaran minat dan bakat dari si calon pegawai. Yang bersangkutan mungkin saja berbakat sebagai guru, namun perlu diperiksa juga rekam jejaknya, apakah pernah tersangkut dengan suatu tindak pidana.
Berdasarkan pengalaman, untuk pola rekrutmen Pegawai Negeri Sipil, calon PNS diwajibkan mengurus Surat Keterangan Cakap Kelakuan di Polres setempat, hal ini sebagai salah satu cara untuk meminimalisir lembaga pendidikan “kecolongan” mempekerjakan pegawai yag tak sesuai harapan dan kompetensi. Meski persoalan disorientasi seksual, dalam hal pedofil, belum tentu dapat diuji dan terekspos dari psikotes atau terekspos dari hasil wawancara. Ini terbukti bahwa ada pelaku pedofilia yang berprofesi sebagai guru (tenaga pendidik) selama bertahun-tahun di Indonesia bahkan di berbagai negara. Tentu diperlukan alat uji tambahan terhadap hal ini, demi kepentingan terbaik bagi peserta didik, namun JIS tentu tidak melakukan ini kepada petugas alih daya. Untuk itu JIS perlu memastikan bahwa pihak penyedia jasa kebersihan tersebut adalah perusahaan yang dapat dipercaya dan mempekerjakan orang-orang yang dapat dipercaya, dipercaya untuk tidak menyakiti peserta didik. Karena lembaganya bergerak dalam bidang pendidikan bahkan untuk usia dini. Untuk itu perlu dipertanyakan pula pola rektrutmen dari perusahaan penyedia jasa kebersihan tersebut.
Yang patut disayangkan adalah reaksi guru terhadap perilaku dan lalu lintas murid selama dalam jam sekolah di lingkungan sekolah. Dalam kelas korban tentu muridnya tidak terlalu banyak, sehingga tetap bisa dipantau keadaannya. Jika ia terlalu lama berada di luar kelas, perlu diperiksa pergi ke mana dan sedang apa? Bukankah anak usia dini perlu didampingi jika ke kamar kecil, meski kemandirian juga diterapkan. Lalu jika murid mengadukan hal-hal yang tidak menyenangkan apalagi perlakuan tidak baik, perlu direspon dengan positif. Kemudian masyarakat pun menduga adanya keterlibatan guru-guru di sana dalam kasus ini bahkan menduga bahwa peristiwa ini sudah berlangsung lama dan telah terjadi beberapa kali. Jika terbukti ada keterlibatan guru, maka pola rekrutmen pengajar di JIS harus diperbaharui.
Lalu saya juga mempertanyakan tugas pihak keamanan sekolah, apakah melulu mengandalkan CCTV? Apakah tidak ada patroli rutin di tempat-tempat sepi atau yang tidak ada CCTV-nya? Apakah ancaman hanya ada di luar gerbang sekolah, apakah tidak berpikir bahwa ancaman terhadap anak juga bisa datang dari dalam sekolah?
Peranan Pemerintah dalam Penanganan Kasus JIS
Tatkala kekerasan seksual terhadap anak terjadi di lingkungan sekolah, apa yang harus kita lakukan? Melaporkan hal tersebut pada pihak yang berwenang dalam hal ini kepada guru, pengurus sekolah, selanjutnya kepada pihak kepolisian dan lembaga pemerhati hak anak misalnya Komisi Perlindungan Anak Indonesia serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (jika syarat permohonan perlindungannya dipenuhi). Lebih baik lagi jika keluarga korban segera membawa anak tersebut melakukan visum di RS dan melakukan pemeriksaan di laboratorium sesuai arahan tenaga medis dan meminta bantuan psikolog anak. Jika pihak sekolah tidak menanggapi dengan baik? maka kita menaruh harapan tertinggi pada sistem peradilan pidana dengan pendampingan dari lembaga-lembaga seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Karena pada umumnya korban dan keluarganya tidak mengetahui dengan jelas prosedur apa yang harus ditempuh, data apa saja yang perlu disiapkan/dilengkapi, hak-hak apa saja yang dimiliki oleh korban, bagaimana menangani trauma yang dialami korban serta pemulihannya dan sebagainya.
Jika ditinjau lebih jauh, maka menjadi pertanyaan: mengapa peristiwa ini sampai terjadi? Apakah pemerintah belum melakukan fungsi pengawasan dan evaluasi terhadap semua lembaga pendidikan dengan optimal? Mengapa ada sekolah yang tidak memiliki ijin? Mengapa ada petugas kebersihan yang berani menyakiti murid dan tak diketahui pihak sekolah? Mengapa ada guru yang memiliki riwayat pedofilia dan masih melakukannya mengajar di lembaga pendidikan? Bagaimana mungkin ada pengurus sekolah yang menurut pemberitaan, berlaku kurang ko-operatif ketika kasus ini terkuak dan bergulir hingga hari ini? Dan berbagai pertanyaan bagaimana dan mengapa lainnya. Kenyataannya, korban telah jatuh dan jangan sampai ada lagi. Idealnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan beserta jajarannya mulai tingkat pusat sampai daerah seharusnya melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap semua lembaga pendidikan yang ada di wilayahnya. Setiap lembaga pendidikan yang melanggar aturan harus diproses dan dikenai sanksi.
Saat ini korban telah didampingi oleh KPAI dan LPSK. Ini merupakan suatu dorongan yang sangat dibutuhkan oleh korban dan keluarganya. KPAI mengumpulkan data dan informasi, menerima dan merespon pengaduan orang tua korban, melakukan penelahaan, pemantauan serta evaluasi terhadap kasus ini. LPSK sebagai lembaga yang dapat memberikan jaminan perlindungan bagi korban tindak pidana (yang memenuhi syarat sesuai Pasal 5 Ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban). Korban berhak mendapat hak-hak sesuai dengan rumusan Pasal 5 UU Perlindungan Saksi dan Korban, khususnya berupa perlindungan atas keamanan pribadi serta bebas dari ancaman. Selanjutnya korban melalui LPSK berhak pula atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggungjawab pelaku. Intinya, semua pihak yang menghalang-halangi pemberian perlindungan ini diancam dengan pidana. Dalam penyelesaian kasus ini sesuai prosedur hukum, maka kepolisian sebagai garda terdepan dalam sistem peradilan pidana diharapkan memberikan reaksi yang pantas, sebagai pelayan dan pelindung masyarakat yang dapat diandalkan. Demikian pula para jaksa dan hakim yang menangani kasus ini, diharapkan memberi keadilan bagi para pencari keadilan.
Saatnya semua pihak yang terkait berbenah diri dan berkoordinasi untuk bekerja sama menuntaskan kasus ini, tuntas dalam perspektif memberi keadilan pada korban, tuntas menguak semua tabir yang menyelimutinya. Bahkan partisipasi masyarakat termasuk lembaga swadaya masyarakat diharapkan dapat mengawal proses hukum ini. Sehingga semua pihak yang terlibat dapat dimintai pertanggungjawabannya sesuai hukum yang berlaku. Karena Indonesia sudah darurat nasional kasus kekerasan seksual terhadap anak dan pelaku yang diberi istilah predator ada di mana-mana dan menjadi keperihatinan kita bersama.
Peranan Institusi Klinik dan Bantuan Hukum
Lembaga Konsultasi & Bantuan Hukum – Pilihan Penyelesaian Sengketa Fakultas Hukum Universitas Indonesia dapat mengambil peranan sebagai pendamping baik terhadap korban maupun terhadap pelaku, serta memberikan bantuan hukum. Pendampingan atau bantuan hukum ini dapat diberikan sejak pemeriksaan kepolisian, hingga di pemeriksaan di pengadilan. Dalam pemberian pendampingan dan bantuan hukum ini, pihak korban atau pelaku lah yang biasanya lebih proaktif. Namun demikian, hal ini dikembalikan pada tujuan pendirian lembaga bantuan hukum yaitu memberikan bantuan bagi pihak-pihak yang kurang mampu untuk memperoleh akses keadilan.
Nathalina Naibaho
Staf Pengajar Tetap di Bidang Studi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Peneliti di Lembaga Kajian HAM (Sentra HAM) FHUI. Pengampu mata kuliah Hukum Pidana serta Hukum dan HAM.
Alamat surat elektronik: nathalina.naibaho@gmail.com.
Nathalina Naibaho