Pelajaran dari Rentetan Penembakan Massal di AS untuk Sekolah Aman di Indonesia Oleh Prof. Heru Susetyo, Ph.D

Fakultas Hukum Universitas Indonesia > Opini > Pelajaran dari Rentetan Penembakan Massal di AS untuk Sekolah Aman di Indonesia Oleh Prof. Heru Susetyo, Ph.D

SERANGAN bersenjata, apakah menggunakan senjata api, bom dan sejenis-nya seperti yang terjadi di SMAN 72 Jakarta Utara pada Jumat, 7 November 2025, bisa jadi fenomena langka di Indonesia. Karena lazimnya yang jadi target adalah kedutaan besar, kantor polisi, mal, night club dan tempat-tempat yang merepresentasikan produk budaya kapitalis barat. Namun, peristiwa tersebut bukan fenomena langka di Amerika Serikat. Sejak penembakan massal di Columbine High School, Colorado (20 April 1999) hingga September 2024, terdapat lebih dari 417 kasus kekerasan senjata api di sekolah. Kemudian tahun ajaran 2000-2001 hingga 2021-2022, terdapat 1.375 penembakan di sekolah dasar dan menengah negeri dan swasta, yang mengakibatkan 515 kematian dan 1.161 luka-luka.

Frekuensi penembakan di sekolah di AS telah meningkat drastis sejak 2018, dengan beberapa tahun terakhir (2021, 2022, 2023, dan 2024) mencatat rekor setidaknya sejak 2008 (Cnn.com, 28/10/2025, Edweek.org, 31/12/2024, Usafacts.org, 20/02/2024).

Catatan parah kekerasan bersenjata di sekolah AS Dari ribuan kasus kejahatan bersenjata di lingkungan kampus dan sekolah di AS, paling tidak ada 5 (lima) kasus yang paling diingat.

  1. Penembakan massal Columbine (1999): Dua remaja membunuh 13 orang dan melukai lebih dari 20 lainnya di Columbine High School Colorado sebelum bunuh diri;
  2. Penyerangan Virginia Tech (2007): Penyerangan paling mematikan dalam sejarah AS, dengan 32 korban jiwa dan 23 luka-luka;
  3. Penembakan Sandy Hook Elementary School, Connecticut (2012) menyebabkan 27 kematian, termasuk 20 siswa kelas satu dan 6 orang dewasa;
  4. Penembakan Marjory Stoneman Douglas High School (2018): Seorang mantan siswa menewaskan 17 orang di sekolah Parkland, Florida;
  5. Penembakan massal Robb Elementary School di Uvalde, Texas (2022): Penembakan massal yang menewaskan 19 siswa dan 2 guru.

Banyaknya kasus penembakan di sekolah di Amerika disebabkan berbagai faktor yang kompleks dan saling terkait. Beberapa penyebab utama yang disebutkan dalam berbagai sumber meliputi:

Pertama, kepemilikan senjata api yang meluas. Amerika Serikat memiliki tingkat kepemilikan senjata api yang tinggi. Individu mudah memperoleh senjata secara legal maupun ilegal.

Lemahnya regulasi terkait kepemilikan senjata menjadi salah satu faktor utama yang meningkatkan risiko terjadinya penembakan massal (Kompas.com, 28/03/ 2023).

Kedua, peraturan yang lemah. Peraturan terkait kepemilikan dan penggunaan senjata di banyak negara bagian di AS relatif longgar, sehingga memungkinkan individu dengan niat buruk atau masalah kejiwaan untuk memperoleh senjata dengan mudah (Kompas.com, 28/03/ 2023).

Ketiga, masalah kejiwaan dan sosial. Berbagai kasus menunjukkan bahwa faktor psikologis, seperti gangguan kejiwaan, serta tekanan sosial seperti bullying dan perundungan, menjadi motif yang sering dikaitkan dengan pelaku penembakan di sekolah. Ada juga yang mengalami masalah keluarga atau lingkungan yang tidak stabil;  Keempat, pengaruh budaya dan media.

Pengaruh media, termasuk film, permainan video kekerasan, dan budaya kekerasan secara umum, turut serta dalam membentuk perilaku tertentu, meskipun pengaruh ini masih menjadi perdebatan. Kelima, faktor ekonomi dan gender. Masalah ekonomi dan faktor gender juga diidentifikasi sebagai faktor yang dapat memperburuk risiko kekerasan di sekolah, termasuk penembakan massal.

Selain faktor-faktor di atas, kondisi tertentu seperti pengalaman bullying, isolasi sosial, dan motif pribadi yang kompleks juga sering dilaporkan sebagai pemicu pelaku melakukan penembakan (Voaindonesia.com, 18/12/2024). Khususnya terkait masalah kejiwaan dan sosial, pengalaman bullying serta isolasi sosial menjadi catatan khusus dari semua pelaku penembakan di lembaga pendidikan.

Eric Harris dan Dylan Klebold melakukan serangan massal di Columbine (1999) karena faktor kompleks psikologis dan sosial, yang memengaruhi masing-masing secara berbeda, tetapi pada akhirnya mengarah pada aksi kekerasan massal bersama.

Eric Harris dinyatakan oleh psikolog FBI sebagai seorang psikopat yang menunjukkan sifat narsis, agresi, dan kurangnya empati. Ia adalah dalang dan penggerak di balik serangan tersebut, merencanakannya selama sekitar satu tahun dengan keinginan untuk menciptakan teror.

Sebaliknya, Dylan Klebold digambarkan sebagai individu yang pemarah dan depresif dengan sikap dendam terhadap orang-orang yang ia rasa telah memperlakukannya dengan buruk, lebih labil secara emosional, dan memiliki kecenderungan bunuh diri.

Motifnya adalah kombinasi kemarahan yang mendalam, depresi, dan keinginan yang terencana untuk melakukan aksi teroris domestik terhadap negara dengan menggunakan SMA sebagai target simbolis. Harris menginginkan ketenaran dan kehancuran dalam skala yang lebih besar, sementara keterlibatan Klebold melengkapi perhitungan dingin Harris dengan amarah emosional. Seung-Hui Cho, pelaku penembakan di Virginia Tech (2007) menewaskan 32 orang akibat kombinasi masalah kesehatan mental yang parah dan keluhan pribadi. Didiagnosis depresi berat dan mutisme selektif, Cho berjuang secara sosial dan emosional sepanjang hidupnya.

Ia digambarkan sebagai sosok yang terisolasi dan bermasalah, dengan perilaku dan tulisan-tulisannya yang kasar menimbulkan kekhawatiran di kalangan guru dan teman sekelas sebelum serangan.

Cho meninggalkan catatan yang menyalahkan orang lain, dengan tulisan “Kalian yang menyebabkan saya melakukan ini,” yang menunjukkan perasaan terpojok dan menjadi korban. Motifnya kompleks, melibatkan rasa sakit psikologis yang mendalam, perasaan penolakan dan isolasi, serta keinginan untuk membalas dendam atas perlakuan buruk. Pembantaian itu merupakan akibat tragis dari penyakit mental yang tidak diobati, keterasingan sosial, dan rencana yang terencana untuk menyebabkan kerusakan massal sebelum ia bunuh diri.

Nikolas Cruz membunuh siswa siswi di SMA Marjory Stoneman Douglas di Parkland, Florida (2018), terutama karena rasa sakit emosional yang mendalam, isolasi sosial, dan keinginan untuk balas dendam serta pengakuan. Ia sengaja memilih Hari Valentine untuk melakukan serangan tersebut karena ia merasa “tidak punya siapa pun untuk dicintai dan dicintai.” Kondisi mental Cruz memburuk secara signifikan setelah putus dengan pacarnya sekitar enam bulan sebelum penembakan. Serangan itu direncanakan dengan cermat selama beberapa bulan, alih-alih impulsif.

Ia meneliti pembunuh massal lainnya dan mempersiapkan diri dengan cermat untuk memaksimalkan kerugian. Cruz mengakui ia berhenti menembak ketika ia merasa tidak punya orang lain lagi untuk dibunuh. Tindakannya didorong oleh campuran perasaan penolakan, kesepian, kemarahan, dan gangguan mental yang sebagian disebabkan oleh kerusakan otak prenatal akibat konsumsi alkohol ibunya selama kehamilan.

Adam Lanza, pelaku penembakan di Sekolah Dasar Sandy Hook, Connecticut (2012) menewaskan 26 orang, termasuk 20 anak-anak. Lanza menderita masalah kesehatan mental yang serius, termasuk gangguan Asperger, kecemasan ekstrem, kecenderungan obsesif-kompulsif, dan gangguan sosial yang sangat memengaruhi kehidupan sehari-hari dan hubungan sosialnya.

Ia juga terisolasi secara sosial dan memiliki hubungan renggang dengan ibunya, yang ia bunuh sebelum penembakan. Lanza terobsesi dengan penembakan massal, khususnya pembantaian Columbine 1999, dan mengumpulkan banyak informasi tentang insiden kekerasan massal sebelumnya. Salvador Ramos, pelaku penembakan massal di Robb Elementary School, Uvalde Texas (2022), menewaskan 19 anak dan dua guru akibat kombinasi isolasi sosial, perundungan, masalah keluarga, dan trauma yang belum terselesaikan.

Ia adalah seorang siswa sekolah setempat berusia 18 tahun yang hanya memiliki sedikit teman dan mengalami perundungan, serta kehidupan rumah tangga bermasalah yang ditandai oleh ketidakteraturan keluarga dan dugaan penyalahgunaan zat terlarang oleh ibunya.

Ramos membeli dua senapan serbu secara legal sesaat sebelum ulang tahunnya yang ke-18 dan dengan cermat merencanakan serangan tersebut.

Laporan menunjukkan bahwa ia mencari ketenaran dan pengakuan, seperti halnya penembak massal lainnya, yang mencerminkan pola pikir yang terganggu akibat penolakan dan agresi sosial selama bertahun-tahun.

Tindakannya berdarah dingin dan disengaja, dengan bukti yang menunjukkan keinginan untuk menyebabkan kerusakan massal tanpa motif tunggal yang jelas di luar riwayat pribadi dan masalah psikologisnya yang bermasalah. Dari ke-lima kasus kekerasan bersenjata di sekolah di atas, benang merahnya adalah longgarnya kontrol pemerintah AS dan masyarakat terhadap kepemilikan senjata api, masalah kejiwaan, isolasi sosial, perundungan, emosi yang labil, depresi, kemarahan, pola asuh dalam keluarga, faktor ekonomi, serta budaya kekerasan dan ekspos media (terutama media online yang dipelajari dan merasuki para pelaku.

Dalam kasus di SMAN 72 Jakarta Utara, kendati hasil investigasi belum final dan belum ada kesimpulan akhir, tapi dari penelusuran sementara terdapat kesamaan kondisi dari terduga pelaku dengan para pelaku serangan bersenjata di AS, yaitu: memiliki masalah kesehatan mental, isolasi sosial, senang menyendiri, emosi yang labil, kemarahan terpendam, menjadi korban perundungan, dan mempelajari kekerasan dari kasus-kasus sebelumnya melalui media online.

Satu hal yang masih positif dari Indonesia adalah adanya larangan kepemilikan senjata api untuk keperluan pribadi dan oleh pihak yang tak punya otoritas.

Namun, ternyata untuk membuat bom-bom rakitan tetap bisa dipelajari dan dibuat sendiri dengan arahan dari media internet, serta bahan baku-nya pun masih bisa diperoleh di tempat-tempat tertentu. Menuju sekolah aman Pelajaran dari kasus SMAN 72 di Jakarta Utara, sekolah di Indonesia tidak cukup sekadar tempat belajar yang nyaman dan mencerdaskan, tapi juga harus aman. Konsep sekolah aman melibatkan penciptaan lingkungan di mana siswa, staf, dan pengunjung merasa aman, dihormati, dan didukung untuk belajar dan berkembang tanpa rasa takut akan bahaya atau kekerasan. Pendekatan komprehensif terhadap keamanan sekolah menyeimbangkan tiga komponen utama, yaitu iklim sekolah (school climate), perilaku siswa (student behavior) dan keamanan fisik (physical security) (CSPV UC Boulder, January 2025).

Iklim sekolah mencakup kualitas hubungan interpersonal, lingkungan belajar mengajar, norma, nilai, dan struktur organisasi. Iklim yang positif menumbuhkan rasa hormat, inklusi, keadilan dalam disiplin, dan keamanan emosional bagi seluruh anggota komunitas sekolah. Perilaku siswa mencakup strategi proaktif dan konsisten digunakan untuk mendorong perilaku positif, mencegah perundungan, dan menangani perilaku bermasalah secara efektif. Ini juga melibatkan penilaian ancaman perilaku dan praktik keadilan restoratif.

Keamanan fisik mencakup langkah-langkah seperti akses terkendali, kesiapsiagaan darurat, pemantauan, dan infrastruktur keamanan membantu melindungi dari ancaman fisik sekaligus memastikan kesiapan untuk merespons keadaan darurat. Kerangka kerja sekolah aman mengintegrasikan komponen-komponen ini berdasarkan kebutuhan dan sumber daya sekolah yang unik, menggunakan data dan kolaborasi antar tim multidisiplin untuk menerapkan intervensi berbasis bukti.

Tujuannya adalah menyeimbangkan keselamatan dengan lingkungan belajar yang suportif dan inklusif, memitigasi risiko mulai dari perilaku buruk ringan hingga situasi yang mengancam jiwa (CSPV UC Boulder, January 2025). Penciptaan lingkungan belajar yang aman adalah fondasi dari pendidikan yang sukses dan berkualitas. Selain itu, pemerintah dan lembaga pendidikan harus menempatkan kesehatan mental dan sosial siswa sebagai sesuatu yang prioritas. Ikhtiar-ikhtiar untuk merawat kesehatan mental harus dilakukan.

Praktisi kesehatan mental harus dilibatkan dan mengikutsertakan semua pemangku kepentingan, termasuk para orangtua/keluarga siswa, tenaga pendidik dan tenaga kependidikan. Awasi dan kendalikan akses siswa pada konten-konten kekerasan. Cegah dan tolak budaya kekerasan di sekolah seperti perundungan, diskriminasi, intoleransi, xenophobia, kekerasan seksual, pemalakan, serta toxic seniority, baik secara luring maupun daring.

Sumber: https://nasional.kompas.com/read/2025/11/11/15220161/pelajaran-dari-rentetan-penembakan-massal-di-as-untuk-sekolah-aman-di?source=kolom

About the author

➖ Kampus UI Depok Jl. Prof. Mr. Djokosoetono, Kampus FHUI Gedung A Depok 16424, Jawa Barat Telepon (021) 7270003, 7863288 Faks (021) 7270052. E-mail: humas-fh@ui.ac.id & lawschool@ui.ac.id ... ➖ Kampus UI Salemba Gedung IASTH Lt. 2, Jl. Salemba Raya No.4, Jakarta 10430 Tel : (021) 31909008 Faks : (021) 39899148