Pemilu serentak 2024 bukan hanya sebuah peristiwa politik lima tahunan, melainkan juga cermin yang memperlihatkan seluruh kelemahan mendasar dalam desain demokrasi elektoral Indonesia. Kompleksitas teknis, problem substansial pengaturan, dan beragam kontroversi yang mengiringi proses Pemilu dan Pilkada 2024 menjadi catatan penting bahwa tata kelola pemilu kita masih jauh dari kualitas demokratis.
Pemilu dan Pilkada 2024 menunjukkan betapa rentannya sistem demokrasi ketika dihadapkan pada kombinasi agenda elektoral yang terlalu padat, regulasi yang tumpang tindih, serta penyelenggara pemilu yang kerap gagal menunjukkan profesionalitas dan independensinya. Semua itu memberi sinyal bahwa revisi atas Undang-Undang Pemilu merupakan agenda krusial dan mendesak dalam praktik demokrasi konstitusional Indonesia.
Revisi UU Pemilu saat ini tercatat sebagai RUU prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025, usulan Baleg DPR. Serta prioritas Prolegnas 2026, usulan Komisi II DPR. Hal itu harus dimaknai sebagai upaya transformasi menyeluruh, bukan sekadar tambal sulam aturan. Setiap ketentuan baru yang dirumuskan tidak boleh berhenti pada kompromi pragmatis, melainkan harus diarahkan untuk memperkuat integritas dan kualitas demokrasi.
Ada tiga pijakan utama yang seharusnya menjadi landasan dalam penyusunan RUU Pemilu. Pertama, harus dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap semua tantangan dan persoalan dalam penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada 2024. Kedua, karena tidak ada lagi pembedaan rezim pemilu dan pilkada berdasarkan Putusan MK No.85/PUU-XX/2022 dan Putusan MK No.135/PUU-XXII/2024, maka penyusunan UU Pemilu dan Pilkada seharusnya dilakukan dengan model kodifikasi dalam satu naskah. Materi muatannya mencakup pengaturan pemilu presiden dan wakil presiden, pemilu legislatif, pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah, serta penyelenggara pemilu.
Ketiga, RUU Pemilu harus mengakomodir sepenuhnya seluruh Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah mengoreksi atau merekonstruksi aturan elektoral baik untuk pemilu legislatif, pemilu presiden, maupun pemilu kepala daerah. Khususnya, terkait lanskap dan rancang bangun pemilu Indonesia sebagai konsekuensi pemisahan pemilu serentak nasional dan pemilu serentak daerah sebagaimana diputuskan MK dalam Putusan No.135/PUU-XXII/2024. Dengan mengintegrasikan pelajaran praktis dan koreksi konstitusional, maka revisi UU Pemilu akan memiliki legitimasi hukum yang kokoh sekaligus relevansi politik yang nyata.
Enam Agenda
Demi terwujudnya UU Pemilu yang berkualitas dan demokratis, setidaknya ada enam substansi yang harus menjadi agenda prioritas untuk dirumuskan secara serius dan menyeluruh oleh pembentuk undang-undang. Rumusan agenda tersebut merupakan hasil evaluasi atas penyelenggaraan pemilu dan pilkada terdahulu, serta rangkuman usulan dari sejumlah pihak. Misalnya, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kodifikasi RUU Pemilu maupun sumbangan pemikiran dari akademisi dan peneliti yang peduli reformasi elektoral di Indonesia.
Agenda prioritas dimaksud meliputi, pertama, rekonstruksi sistem pemilu dan variabel teknisnya. Hal itu mengingat sistem proporsional daftar terbuka yang digunakan saat ini terbukti gagal menekan praktik politik uang dan belum optimal dalam menghadirkan representasi yang berkualitas. Banyak penelitian dan pengalaman empiris menunjukkan bahwa sistem ini membuka ruang luas bagi politik transaksional, memelihara oligarki partai, dan mengurangi akuntabilitas wakil rakyat terhadap konstituennya. Dalam konteks ini, sistem campuran atau mixed system layak dipertimbangkan sebagai jalan tengah. Dengan menggabungkan keunggulan sistem proporsional dan sistem distrik, kita dapat menjaga proporsionalitas representasi sekaligus menghadirkan kedekatan wakil rakyat dengan pemilihnya.
Selain itu, variabel sistem pemilu berupa pembentukan daerah pemilihan (dapil) harus dilakukan dengan data kependudukan yang akurat, berlandaskan prinsip keadilan, dan bebas dari manipulasi politik. Penataan dapil yang adil adalah prasyarat agar setiap suara warga benar-benar memiliki bobot yang setara. Tak kalah penting, revisi ini harus mengakomodasi kursi khusus bagi warga negara Indonesia (WNI) di luar negeri. Jutaan WNI yang tersebar di berbagai belahan dunia berkontribusi besar terhadap bangsa ini, tetapi hak representasi mereka kerap diabaikan. Menghadirkan alokasi kursi untuk diaspora adalah bentuk keadilan elektoral yang mendesak untuk diwujudkan.
Kedua, demokratisasi partai politik tidak bisa lagi ditawar. Partai politik adalah pintu utama bagi rekrutmen pejabat publik. Buruknya kualitas partai akan langsung berdampak pada kualitas pejabat yang duduk di legislatif maupun eksekutif. Karena itu, proses pencalonan legislatif dan eksekutif harus dibangun secara terbuka, partisipatif, dan berbasis meritokrasi. Persyaratan sebagai anggota partai politik minimal tiga tahun bagi calon anggota DPR dan DPRD adalah instrumen penting untuk memastikan komitmen dan pemahaman ideologi partai.
Selain itu, kewajiban afirmasi keterwakilan perempuan minimal 30 persen harus benar-benar diperkuat, bukan sekadar formalitas. Selain penempatan minimal satu perempuan di antara tiga calon anggota DPR/DPRD, memastikan perempuan ditempatkan pada nomor urut satu di paling sedikit 30 persen dapil adalah langkah konkret untuk memastikan kebijakan afirmasi benar-benar efektif membuka jalan keterpilihan bagi perempuan. Transparansi rekam jejak calon dan audit independen terhadap keuangan partai politik juga harus diwajibkan agar publik memiliki dasar yang jelas dalam menilai kualitas partai dan kandidat, sekaligus mencegah praktik korupsi politik yang kian mengakar.
Ketiga, revisi UU Pemilu harus memperluas inklusi politik. Selama ini, persyaratan administratif untuk partai politik peserta pemilu seringkali terlalu rumit dan berbiaya tinggi. Padahal, beban administratif tidak selalu berbanding lurus dengan akuntabilitas. Fokus revisi seharusnya dialihkan pada transparansi dan akuntabilitas keuangan partai, bukan sekadar formalitas administratif. Isu ambang batas parlemen (parliamentary threshold) harus dikaji ulang secara serius.
Selama ini, ambang batas justru mengakibatkan jutaan suara rakyat terbuang percuma, bertentangan dengan esensi sistem proporsional yang seharusnya menghargai setiap suara dan menjaga proporsionalitas kursi dengan persentase perolehan suara. Dalam hal ini, penyederhanaan sistem kepartaian tetap bisa dicapai melalui mekanisme ambang batas pembentukan fraksi, sebagaimana yang berlaku di DPRD. Dengan begitu, sistem tetap efisien tanpa mengorbankan prinsip representasi rakyat.
Keempat, perlu ada konsistensi dalam aturan pencalonan, khususnya untuk pemilu presiden dan wakil presiden serta kepala daerah dan wakil kepala daerah. Adalah paradoks ketika Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK No. 62/PUU-XXII/2024 meniadakan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden, tetapi tetap mempertahankan ambang batas pencalonan kepala daerah. Ketidakkonsistenan itu melanggar prinsip konstitusional yang seharusnya berlaku setara.
Ambang batas pencalonan kepala daerah sudah semestinya dihapus agar setiap partai peserta pemilu DPRD memiliki hak yang sama untuk mencalonkan. Konsekuensinya, keberadaan calon tunggal harus dinyatakan inkonstitusional karena akses pencalonan telah diberikan kepada semua partai politik peserta pemilu DPRD. Sebaliknya, untuk mencegah praktik borong partai oleh satu kandidat atau kekuatan politik tertentu, perlu diberlakukan ambang batas maksimal pencalonan, misalnya 40–50 persen. Aturan ini akan mencegah dominasi tunggal dan memastikan kompetisi tetap sehat sehingga publik memiliki lebih banyak pilihan politik.
Kelima, reformasi penyelenggara pemilu. Kualitas pemilu pada akhirnya ditentukan oleh integritas dan profesionalitas lembaga penyelenggara. Proses seleksi KPU dan Bawaslu yang selama ini kental nuansa politik harus direkonstruksi. DPR seharusnya hanya memiliki fungsi konfirmasi terhadap hasil seleksi yang dilakukan tim independen dan profesional, bukan mengendalikan proses melalui uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) yang sarat politisasi. Mekanisme ini akan memastikan penyelenggara yang terpilih adalah figur terbaik dengan rekam jejak yang kredibel.
Di samping itu, afirmasi keterwakilan perempuan minimal 30 persen di seluruh tingkatan penyelenggara harus diwajibkan untuk dipenuhi, sehingga gender balance bisa terwujud dalam proses pengambilan keputusan di lembaga penyelenggara pemilu. Tidak kalah penting, mantan penyelenggara harus dikenai masa jeda lima tahun sebelum dapat terlibat dalam partai politik atau mencalonkan diri di pemilu, guna menjaga independensi institusi dari konflik kepentingan.
Keenam, penyelenggaraan tahapan pemilu harus dibuat lebih sederhana, efektif, efisien, dan akuntabel. Selama ini, tahapan yang berlangsung lebih dari dua tahun membebani penyelenggara dan peserta. Idealnya, durasi tahapan pemilu tidak boleh lebih dari satu tahun, sehingga konsentrasi aktor pemilu lebih fokus dan efektif. Pemanfaatan teknologi berbasis open data harus menjadi prinsip utama agar publik dapat mengawasi seluruh tahapan secara transparan.
Rekapitulasi elektronik secara real-time sudah menjadi kebutuhan mendesak untuk diformalisasi sebagai prosedur resmi dalam tabulasi suara. Bukan lagi wacana yang tak digawangi serius oleh para pihak, khususnya penyelenggara pemilu. Langkah ini akan memperkuat integritas hasil pemilu dan mencegah manipulasi. Selain itu, sanksi diskualifikasi tegas harus diterapkan bagi peserta yang tidak jujur dalam laporan dana kampanye, karena transparansi keuangan adalah pilar utama bagi pemilu yang bersih dan antikorupsi.
Usulan Pemerintah
Pada akhirnya, di balik semua agenda normatif tersebut, ada satu tantangan besar yang tidak boleh diabaikan, yakni kuatnya kepentingan politik praktis di DPR. Pengalaman menunjukkan bahwa pembahasan RUU Pemilu hampir selalu molor akibat tersandera oleh tarik-menarik kepentingan fraksi. Perbedaan pandangan terkait desain sistem pemilu sering membuat proses legislasi berlarut-larut. Apalagi karena RUU Pemilu ini menjadi usulan DPR, maka setelah draf usulan DPR rampung, masih ada tahap pembahasan bersama Pemerintah yang kerap kali tidak mudah.
Karena itu, strategi yang lebih realistis dan efektif adalah mendorong Pemerintah untuk menjadi pengusul RUU Pemilu. Dengan kewenangan dan kapasitas birokrasi yang dimiliki, Pemerintah bisa lebih cepat menyiapkan naskah akademik dan rancangan RUU, sehingga proses pembahasan dengan DPR dapat dimulai lebih awal. Melalui cara ini, revisi UU Pemilu lebih punya harapan untuk dapat terealisasi sesuai tenggat waktu dan menghindari terjebak dalam tarik-ulur politik yang melelahkan.
Revisi UU Pemilu adalah ujian serius bagi kredibilitas demokrasi Indonesia. Apakah pembentuk undang-undang akan memilih jalan aman dengan tambal sulam pragmatis, atau berani mengambil langkah bersejarah dengan rekonstruksi menyeluruh. Pilihan yang akan menentukan kualitas demokrasi Indonesia dalam jangka panjang.
Jika pembentuk undang-undang gagal memanfaatkan momentum revisi UU Pemilu saat ini, maka Pemilu 2029 hanya akan mengulang problem-problem lama dengan biaya politik yang semakin mahal. Tetapi jika berhasil menjadikan revisi UU Pemilu sebagai lompatan fundamental, maka Indonesia akan punya harapan untuk bisa menata demokrasi Indonesia yang lebih stabil, representatif, dan berintegritas.
Mari kita pantau dan awasi bersama.
Sumber: https://www.hukumonline.com/berita/a/agenda-prioritas-revisi-uu-pemilu-lt68e4c530b5da7/

