Misi Indonesia untuk Gaza: Mulia, tapi Harus Tepat dan Cermat Oleh Prof. Heru Susetyo, Ph.D

Fakultas Hukum Universitas Indonesia > Berita > Misi Indonesia untuk Gaza: Mulia, tapi Harus Tepat dan Cermat Oleh Prof. Heru Susetyo, Ph.D

DI USIA 80 tahun kemerdekaan Indonesia pada Agustus 2025, pemerintah Indonesia patut diacungi jempol. Pemerintah akan ataupun sedang melaksanakan misi-misi teramat mulia untuk Gaza (Palestina) yang tengah dilanda perang dan dihancurkan Israel. Pemerintah seperti tengah melaksanakan mandat dari pembukaan UUD 1945 untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Apalagi, Alinea pertama pembukaan UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Selama ini, pemerintah Indonesia, terutama pascaperang Oktober 2023, telah memiliki peran dan misi penting dalam mendukung Gaza, terutama dalam konteks kemanusiaan dan perdamaian.

Indonesia mengirimkan bantuan kemanusiaan langsung ke Gaza, melibatkan TNI dengan metode penerjunan bantuan melalui udara (airdrop) menggunakan pesawat Hercules C130 bekerja sama dengan Yordania. Bantuan ini berupa paket obat-obatan, peralatan kesehatan, dan kebutuhan esensial lainnya. Misi kemanusiaan ini diperintahkan langsung oleh Presiden Prabowo Subianto sebagai bentuk dukungan aktif terhadap krisis kemanusiaan di Gaza.

Kemudian, Indonesia secara konsisten mengupayakan perdamaian di Gaza melalui jalur diplomasi internasional, seperti PBB, Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), dan berbagai forum multilateral. Indonesia menyerukan gencatan senjata permanen untuk membuka ruang bagi bantuan kemanusiaan dan proses solusi dua negara antara Israel dan Palestina. Pemerintah Indonesia juga melakukan diplomasi aktif dengan negara-negara anggota Dewan Keamanan PBB, termasuk kunjungan ke China dan Rusia, untuk mendorong dukungan terhadap gencatan senjata dan penghentian perang serta memfasilitasi bantuan kemanusiaan ke Gaza. Indonesia menegaskan dukungannya atas kemerdekaan Palestina dan menolak agresi militer Israel yang melanggar hukum humaniter internasional. Terakhir Indonesia aktif berpartisipasi dalam lahirnya Deklarasi New York untuk melahirkan perdamaian di Gaza yang digagas Saudi Arabia dan Perancis pada akhir Juli 2025.

Isi Deklarasi New York adalah peta jalan menuju negara Palestina Merdeka dan berdaulat, prinsip two state solutions (Solusi Dua Negara), gencatan senjata (ceasefire), pembebasan sandera, penghentian pemukiman ilegal di West Bank (Tepi Barat), penarikan Israel dari Gaza, penguatan Otoritas Palestina dan kecaman terhadap kekerasan oleh semua pihak. Artikel ini hendak menyoroti tiga peran pemerintah Indonesia dalam Perang Gaza, yaitu dalam Deklarasi New York, rencana air drop bantuan kemanusiaan ke Gaza, dan pembukaan Pulau Galang sebagai tempat perawatan korban sakit dan luka-luka, berikut rambu-rambu apa saja yang harus diperhatikan dalam ikhtiar tersebut.

Plus minus Deklarasi New York

Secara normatif, Deklarasi New York masih menunjukkan adanya nurani global dalam isu kemanusiaan, khususnya Perang Gaza. Meskipun meninggalkan banyak catatan dalam poin-poin yang disepakati antarnegara co-chairs, Deklarasi New York setidaknya menunjukkan masih adanya harapan akan upaya penghormatan nilai kemanusiaan universal dan pentingnya penghargaan terhadap norma dan hukum internasional. Deklarasi New York menunjukkan gejala “forward to the past” dalam isu Palestina sebagai isu sentral internasional yang terus membutuhkan solusi. Isu sentral seputar solusi dua negara, keberadaan batas Palestina dan Israel kembali ke batas tahun 1967, isu pengungsi, Yerusalem Timur sebagai Ibu Kota Palestina dan mengenai status Masjid Al Aqsa serta status wilayah pendudukan Israel menjadi di antara poin integral dalam Deklarasi New York.

Komunitas internasional masih meyakini bahwa solusi paling mungkin dalam penyelesaian Perang Gaza dan konflik Palestina-Israel adalah Solusi Dua Negara (Two States Solution). Deklarasi ini memuat resonansi solusi dua negara sebagai fondasi utamanya dan upaya penyelesaian yang sifatnya menyeluruh, tidak hanya aspek kemanusiaan, tapi juga aspek politik, keamanan dan ekonomi. Ide “temporary internationalization stabilisation mission” adalah salah satu breakthrough. Selama ini, big-hole dalam ide solusi dua negara adalah ketiadaan aktor di lapangan yang bisa mencegah ekskalasi dari konflik (mindaorganization.id, 11/08/ 2025). Namun, deklarasi ini memiliki sisi negatif.

Deklarasi New York tidak sepenuhnya berpihak terhadap keadilan bagi masyarakat Gaza, Palestina. Catatan panjang pelanggaran hukum internasional tidak menjadi poin utama dari Deklarasi New York. Deklarasi New York tidak memberikan catatan terbuka terkait kejahatan dan kekejian, utamanya Israel sebagai negara penjajah, khususnya terhadap pelanggaran-pelanggaran hukum dan norma internasional. Pengabaian ini memberikan stigma bahwa Israel sebagai aktor yang terus mendapatkan international previledge (mindaorganization.id, 11/08/ 2025). Deklarasi New York memiliki bobot yang lebih besar kepada pernyataan moral dibandingkan dengan suatu gerakan yang mengikat. Tantangan besar dari deklarasi ini adalah dalam bentuk realisasi.

Semangat untuk ‘perdamaian dan kemanusiaan’ tampak lebih mengemuka daripada semangat untuk mewujudkan keadilan. Padahal, tak ada perdamaian dan kemanusiaan tanpa keadilan. Azril Mhd Amin, Direktur CENTHRA Malaysia (nst.com.my, 3/8/ 2025), menganalisis bahwa deklarasi tersebut secara gamblang menuntut Hamas untuk melepaskan kekuasaan di Gaza dan melucuti senjata, menyerahkan kekuasaan kepada Otoritas Palestina (PA). Namun, ketika menyangkut pendudukan Israel selama puluhan tahun, blokade ilegal, dan serangan militer yang telah menewaskan lebih dari 60.000 warga Palestina — kebanyakan dari mereka perempuan dan anak-anak — Israel justru mundur ke dalam eufemisme. Ada kesan bahwa kenyamanan politik lebih diutamakan daripada kewajiban hukum.

Padahal, berdasarkan Konvensi Jenewa Keempat (1949) Israel, sebagai negara agressor, berkewajiban melindungi penduduk sipil.

Penghancuran rumah, rumah sakit, sekolah, dan sistem air; kelaparan warga sipil; dan pengungsian hampir dua juta orang bukanlah “kerusakan tambahan” (collateral damages) melainkan pelanggaran berat berdasarkan Pasal 53 dan 147, yang dapat menimbulkan tanggung jawab pidana individu. Azril Mhd Amin (nst.com.my, 3/8/2025) selanjutnya mengungkapkan bahwa deklarasi tersebut dengan tepat mengutuk serangan Hamas pada 7 Oktober, sebagai kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Namun, keadilan tidak bisa tebang pilih. Statuta Roma 1998 tentang Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) berlaku sama untuk kelompok bersenjata dan negara. Jika para penyusunnya benar-benar percaya pada supremasi hukum, maka mereka harus menerapkannya tanpa rasa takut atau pilih kasih. Visi deklarasi tersebut untuk masa depan Gaza juga sama meresahkannya. Dengan mengusulkan pengalihan wewenang kepada Otoritas Palestina yang didukung oleh misi stabilisasi internasional, deklarasi tersebut berisiko menjadikan Otoritas Palestina sebagai subkontraktor pendudukan yang tidak dipilih — karena mengelola Gaza tanpa kedaulatan yang nyata. Padahal, sejarah menunjukkan bahwa pemerintahan transisi, dari Timor-Leste hingga Kosovo, hanya berhasil jika dipadukan dengan pemilihan umum yang kredibel, jadwal yang jelas untuk pemerintahan sendiri, dan penghormatan terhadap penentuan nasib sendiri.

Deklarasi tersebut tidak menawarkan jaminan apa pun. Yang paling mencolok, hal itu mengabaikan akar penyebab perlawanan Palestina: pendudukan Israel itu sendiri. Maka, pemerintah Indonesia perlu memberikan penjelasan kepada publik berbagai hal yang ada di dalam Deklarasi New York.  Indonesia perlu memainkan peranan seperti mendorong upaya rekonsiliasi Hamas dan Fatah atau persatuan Palestina melalui proses penentuan nasib sendiri dan pemilu yang adil dan kredibel, tentunya setelah gencatan senjata terjadi dan perang berakhir. Kontribusi Indonesia dalam ‘temporary international stabilization mission’ dan rekonstruksi Gaza bisa dimainkan dan dilakukan oleh Indonesia.

Air drop bantuan kemanusiaan

 Rencana air drop bantuan Indonesia untuk Gaza merupakan operasi kemanusiaan besar yang melibatkan pengiriman logistik via udara, dipimpin langsung oleh TNI atas perintah Presiden Prabowo Subianto. Indonesia menyiapkan 800 ton bantuan kemanusiaan untuk Gaza, meliputi makanan, obat-obatan, pakaian, selimut, dan perlengkapan darurat lain. Pengiriman menggunakan dua pesawat Super Hercules C-130J TNI AU dengan nama misi Satgas Garuda Merah Putih II. Misi ini berlangsung sekitar 12 hari dan dilakukan dalam beberapa gelombang, utama pada 17–18 Agustus dan gelombang cadangan pada 19–20 Agustus 2025 (Kompas, 13/08/ 2025). Air drop dilakukan pada 10 titik di Gaza yang telah diverifikasi keamanannya oleh Yordania dan dinyatakan steril agar tidak membahayakan warga setempat saat bantuan dijatuhkan. Metode yang dipilih adalah low-cost, low-altitude, dinilai lebih aman untuk mengurangi risiko kecelakaan karena benda berat jatuh.

Pihak Israel telah membuka “koridor kemanusiaan” khusus pada 1–24 Agustus, sehingga pengiriman bantuan dapat berjalan tanpa halangan berarti dari militer Israel. Proses pengiriman ini melibatkan koordinasi lintas negara, khususnya Yordania, yang membantu memetakan drop zone aman dan mengatur logistik di wilayah konflik (rctiplus.com, 08/08/ 2025). Indonesia bergabung dalam operasi kemanusiaan bersama sembilan negara lain atas undangan Yordania.

Meski metode air drop banyak digunakan di zona konflik, kapasitasnya dianggap jauh dari cukup untuk mengatasi krisis besar di Gaza yang menimpa jutaan penduduk. Ada kekhawatiran juga apabila bantuan tersebut tidak tepat sasaran. Karena titik penerjunan bantuan dari udara bisa jadi berbeda dengan kenyataan di lapangan. Namun, metode ini terpaksa dipilih karena jalur darat dan laut sangat terbatas dan berpotensi membahayakan. Israel masih menutup akses bantuan kemanusiaan dan Mesir-pun, negeri tetangga terdekat ke Gaza tidak sangat kooperatif dalam membuka pintu perbatasan di Rafah sebagai jalan penyaluran bantuan kemanusiaan dan kesehatan.

Pulau Galang untuk perawatan korban

Selanjutnya, Presiden Prabowo memberi arahan agar Indonesia membantu pengobatan sekitar 2.000 warga Gaza yang menjadi korban luka perang. Mereka akan dirawat di fasilitas yang disiapkan di Pulau Galang, Kepulauan Riau (BBC.com, 7/8/2025). Pulau Galang dipilih karena sudah memiliki rumah sakit dan fasilitas pendukung, yang dahulu pernah dipakai sebagai kamp pengungsi Vietnam dan rumah sakit darurat COVID-19. Fasilitas ini memadai untuk penanganan medis. Bukan hanya korban luka, anggota keluarga korban juga dapat mendampingi selama perawatan di Pulau Galang. Pemerintah juga menegaskan bahwa ini bukan upaya relokasi atau pemindahan warga Gaza secara permanen. Setelah sembuh dan selesai perawatan, korban akan dikembalikan ke Gaza (Republika.id, 16/8/2025).

Ikhtiar mulia ini masih dalam tahap awal mematangkan rencana, masih mencermati kesiapan infrastruktur, logistik, dan persetujuan dari pihak terkait, termasuk pemerintah Palestina. Opsi lokasi lain juga dipertimbangkan. Namun, Pulau Galang menjadi kandidat utama karena pengalaman dan fasilitas yang sudah ada. Rencana mulia ini memicu pro dan kontra. Sebagian pihak mendukung atas dasar kemanusiaan. Namun, ada juga yang khawatir rencana ini sejalan dengan agenda relokasi paksa Israel untuk mengosongkan Gaza dari warga Palestina. Aktivis HAM Haris Azhar termasuk yang keberatan. Ia berpandangan bahwa rencana ini sebagai langkah yang justru menguntungkan agenda politik Israel. Meskipun terlihat sah secara hukum dan dibungkus sebagai misi kemanusiaan, kebijakan tersebut secara substansi berpotensi menjauhkan warga Palestina dari tanah kelahirannya. Haris menekankan, setiap kebijakan yang berhubungan dengan Palestina harus dilihat dari perspektif perjuangan mempertahankan tanah dan kedaulatan rakyatnya.

Pemindahan korban perang ke wilayah jauh dari Palestina, apalagi ke luar kawasan Timur Tengah yang berpotensi melemahkan posisi mereka di mata dunia (Hukumonline.com, 14/08/2025). Sementara, seorang pejabat Palestina (Republika.id, 16/08/ 2025), menyampaikan soal rawannya upaya pemerintah menerima pengungsi Gaza. Sekilas, langkah ini tampak sebagai tindakan kemanusiaan yang mendesak. Namun, di baliknya tersimpan pertanyaan mendasar tentang efektivitas, dampak, dan konsekuensi politik, sosial, serta kemanusiaan yang ditimbulkan.

Menurutnya, ini bukan pertama kali inisiatif serupa dijalankan. Sebelumnya, Turkiye, Qatar, Malaysia, Yordania, dan Irak, juga menerima ratusan korban luka dari Gaza di negara mereka. Namun, mayoritas dari mereka tidak pernah kembali ke Gaza, terjebak di negeri asing, tanpa masa depan yang pasti, dan terputus dari Tanah Air. Selain itu, rencana pemindahan korban luka ke pulau terpencil, yang menimbulkan kekhawatiran serius. Isolasi geografis dan psikologis diyakini dapat memperburuk trauma, bukan menyembuhkannya. Sementara ketidakmampuan beradaptasi secara sosial-budaya, diperparah oleh jarak dari keluarga dan Tanah Air. Korban luka yang datang tidak mungkin datang sendiri.

Pemindahan 2.000 korban luka berarti setidaknya 10.000 orang akan datang: terdiri dari keluarga, pendamping, anak-anak, dan tim medis. Ini berpotensi menjadi gelombang pengungsian terselubung yang disamarkan sebagai ‘pengobatan kemanusiaan’. Yang paling berbahaya, proyek ini, meski berbalut niat baik dan mulia, secara objektif sejalan dengan strategi pendudukan, yakni mengosongkan Gaza dan memindahkan krisis ke luar secara bertahap. Setiap korban luka yang dipindahkan tanpa jaminan kembali adalah bagian dari proyek pengusiran paksa yang telah lama dijalankan, melalui penutupan jalur kepulangan, penghancuran sistem kesehatan, dan penghalangan rekonstruksi (Republika.id, 16/08/ 2025).

Harus tepat dan cermat

Momentum 80 tahun Indonesia Merdeka adalah momen terbaik untuk merefleksikan dan mewujudkan komitmen Indonesia sebagai negara yang cinta perdamaian, kemanusiaan dan anti penjajahan. Misi-misi pemerintah Indonesia untuk perdamaian dan kemanusiaan di Gaza (Palestina) sebagai bagian dari politik bebas dan aktif telah merefleksikan komitmen mulia tersebut. Namun demikian, misi dan komitmen mulia saja tidak cukup, tapi juga harus tepat dan cermat. Dalam hal Deklarasi New York Juli 2025, misalnya, Indonesia tidak cukup fokus pada penghentian kekerasan dan perdamaian, tapi juga pada tegaknya keadilan, hukum perang (humaniter), hukum HAM, dan hukum pidana internasional.

Harus ada akuntabilitas terhadap genosida, kejahatan kepada kemanusiaan, kejahatan apartheid, kejahatan perang dan pelanggaran hukum humaniter di sana. Agresi dan penjajahan serta pengusiran paksa harus dihentikan dan mereka yang bersalah harus dihukum. Indonesia harus mendukung penegakan keadilan oleh Mahkamah Internasional (International Court of Justice) dan Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) dalam penjajahan Palestina dan penghancuran Gaza. Lalu, dalam hal dukungan terhadap korban sakit dan luka-luka.

Alih-alih merawat korban luka Gaza di Pulau Galang, Indonesia dan masyarakat internasional dapat menekan Israel untuk memberikan akses mendirikan rumah sakit lapangan internasional di Gaza atau Rafah, Mesir, dan tetap mengirim tim medis internasional ke Gaza. Upaya lain adalah Indonesia juga bisa berikhtiar bekerjasama dengan Mesir untuk mengobati korban luka di rumah sakit Mesir dekat perbatasan Gaza dengan jaminan kepulangan serta mendorong upaya global membangun kembali sistem kesehatan di Gaza. Kedua, solidaritas kemanusiaan yang melampaui batas teritorial politik. Indonesia perlu mendorong mobilisasi bantuan medis, pangan, tenaga, serta mendesak negara-negara tetangga Palestina untuk memfasilitasi bantuan kemanusiaan termasuk dukungan kesehatan dari tanah air (Heru Susetyo, opini Kompas.com, 10/04/2025).

Dalam pemberian bantuan melalui udara, yang harus dijamin adalah agar bantuan tersebut tepat saran dan barang-barang yang diberikan memang dibutuhkan oleh penduduk Gaza. Volume dan kontinuitas bantuan harus termonitor dengan baik sehingga dapat menjangkau seluruh penduduk dan korban perang yang membutuhkan. Last but not least, diplomasi internasional Indonesia harus tetap bergelora dan bertenaga dalam kasus Gaza dan Palestina. Seperti diungkapkan Haris Azhar (Hukumonline.com, 14/8/2025), pemerintah Indonesia memiliki hak bersuara dan bertindak di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) serta Lembaga-lembaga internasional lainnya, serta memiliki komitmen dagang dengan Eropa, Timur Tengah, dan Amerika Utara.

Seharusnya, dua hal ini menjadi senjata Indonesia menghentikan genosida dan kejahatan kemanusiaan di Gaza.

Selamat 80 tahun Indonesia Merdeka, peace and justice for all.

 

Sumber: https://nasional.kompas.com/read/2025/08/18/07111671/misi-indonesia-untuk-gaza-mulia-tapi-harus-tepat-dan-cermat

About the author

➖ Kampus UI Depok Jl. Prof. Mr. Djokosoetono, Kampus FHUI Gedung A Depok 16424, Jawa Barat Telepon (021) 7270003, 7863288 Faks (021) 7270052. E-mail: humas-fh@ui.ac.id & lawschool@ui.ac.id ... ➖ Kampus UI Salemba Gedung IASTH Lt. 2, Jl. Salemba Raya No.4, Jakarta 10430 Tel : (021) 31909008 Faks : (021) 39899148