Perempuan memiliki hubungan langsung dengan negara karena perempuan orang pertama yang terkena imbas hukum dan kebijakan di bidang apa pun.
Setiap manusia lahir dari rahim ibunya. Itu sebabnya perempuan adalah pemangku pengetahuan di dapur, suluh pelita bagi pendidikan anak-anaknya, penjaga nilai dan standar moral dalam keluarga.
Di ranah publik, ada peribahasa kuno,”air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga”, tingkah laku seseorang mencerminkan nilai keadaban publik yang di sosialisasi dalam keluarganya, terkait keadilan sosial dan kebaikan bersama.
Umumnya di negeri ini perempuan, separuh dari jumlah penduduk, jarang diajak bicara soal kebangsaan dan ketatanegaraan di ruang publik. Mereka diposisikan di ranah domestik mengurusi kebutuhan dasar anak dan keluarganya. Mereka warga negara biasa, bahkan sekadar angka bagi kepentingan pemilu.
Namun, bukankah demokrasi esensinya adalah warga negara? Mereka adalah orang yang harus ditanya tentang bagaimana pemerintahan semestinya dijalankan di negara hukum (rule of law).
Begitulah pernyataan Presiden Barack Obama di Hamilton College, mendukung gerakan ”Hands Off” (jangan campuri) rakyat Amerika memprotes kebijakan tarif dan berbagai kebijakan lain Presiden Donald Trump.
Bernie Sanders, politisi senior menggarisbawahi bahwa pemerintahan adalah milik rakyat, dijalankan oleh rakyat dan untuk rakyat; bukan pemerintahan milik triliuner, dijalankan untuk kepentingan mereka. Menurut dia, yang harus dilawan adalah oligarki, otoritarianisme, kleptokrasi, segala bentuk ketidaksetaraan, dan pemerintah yang bisa memecat hakim ketika putusannya tidak berpihak kepada penguasa.
Negara berkeadaban seperti Indonesia seharusnya juga dikelola berdasarkan prinsip negara hukum beserta perangkatnya, yaitu demokrasi, peradilan independen, kebebasan berbicara, kebebasan pers, dan kebebasan akademik. Tujuan utama negara hukum adalah menjaga warga negara dari penyalagunaan kewenangan para penyelenggara negara.
Negara tanpa rule of law akan berakhir dengan kebangkrutan ekonomi dan kehancuran tatanan sosial. Survei Commission on Legal Empowerment menunjukkan, empat miliar orang di seluruh dunia, sebagian besar adalah perempuan, hidup dalam kemiskinan karena terlempar dari akses keadilan.
Akibatnya, tak tersedia hukum dan kebijakan yang mengakomodasi kebutuhan dan pengalaman rakyat miskin dan kelompok rentan. Poverty is man made (CLEP, 2008-9)
Gerakan para ibu
Tampaknya terdapat jurang yang dalam antara elite kekuasaan dan rakyat. Para elite sibuk sendiri membuat berbagai kebijakan, yang umumnya tidak didasarkan pada scientific thinking, dan data berbasis bukti. Kebijakan untuk siapa? Rakyat, perempuan?
Ibu Kartini kehilangan nyawa saat melahirkan bayi tahun 1904. Ia juga korban kawin paksa. Hari ini masih ada 300 ibu Indonesia mati dalam setiap 100.000 kelahiran bayi. Praktik kawin paksa tetap terjadi. Belum lagi angka kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual, bahkan femisida pada perempuan.
Padahal, sesudah era Kartini, organisasi perempuan Suara Mahardika mengirim mosi kepada pemerintah Belanda minta persamaan di muka hukum (1915), Perhimpunan Istri Indonesia mengirim mosi menuntut hak politik dalam pemilu Dewan Kota Batavia (1930).
Gerakan perempuan terus terlibat dalam setiap peristiwa penting seputar kemerdekaan dan sesudahnya, sampai era reformasi sekarang. Artinya, perempuan adalah aset bangsa, bukan sekadar angka. Tujuan mereka jelas, memperjuangkan negara hukum.
Perempuan menolak berbagai kebijakan yang tidak dibutuhkan rakyat, yang dimulai dari pemerintahan Joko Widodo dan diteruskan pemerintahan hari ini. Sebagai ibu, mereka menolak kebijakan pembangunan ekstraktif yang merusak bumi dengan cara menggunduli hutan, merusak sungai, danau, dan laut.
Keragaman hayati di ruang hidup mereka adalah sumber makanan, obat-obatan, sumber pengetahuan dan kebudayaan. Kerusakan ruang hidup bisa berdampak pada kepunahan manusianya dalam bentuk ekosida, biosida.
Mengapa tak memilih pembangunan manusia?
Dari manusia yang sehat dan pintar akan lahir produk sains, teknologi, dan kultural di berbagai bidang kehidupan yang dibutuhkan masyarakat. Banyak negara tak memiliki sumber daya alam (SDA), tetapi berhasil menjadi negara maju melalui pembangunan manusia karena negara dikelola secara transparan, akuntabel dan berbasis studi ilmiah.
Para ibu mendukung kaum muda dan mahasiswa memperjuangkan negara hukum yang diingkari. Belum lama ini Suara Ibu Indonesia menyerukan tuntutan, antara lain terlihat dari poster yang ditujukan ke aparat kepolisian: ”Ibumu tidak mengajarimu memukuli sesama rakyat”. Perempuan bereaksi atas tindak kekerasan aparat ke anak-anak mereka.
Perempuan juga menyoal mengapa tidak memprioritaskan program pemberantasan korupsi agar uang yang dicuri dari rakyat dalam jumlah yang fantastis dapat digunakan untuk membangun industri, menyediakan lapangan kerja, sekolah dan kuliah gratis bagi anak Indonesia, dari Sabang sampai Merauke.
Kebijakan yang dipilih justru menaikkan pajak, pengetatan anggaran tanpa terkecuali, termasuk bidang kesehatan dan pendidikan yang vital bagi rakyat, juga pendirian lembaga keuangan yang diragukan akuntabilitas publiknya.
Buruknya berbagai kebijakan itu direspons negatif oleh pasar yang ditandai dengan merosotnya harga saham (IHSG) sampai ke level yang amat rendah; turunnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, larinya investor dengan membawa asetnya ke luar negeri, dan semakin banyaknya pabrik yang tutup.
Masyarakat juga merespons negatif karena semakin banyak yang kehilangan pekerjaan, turun daya belinya, dan jatuh ke dalam proses pemiskinan.
Proses legislasi
Ketika eksekutif dan parlemen berkolaborasi menggunakan sebesar-besarnya kekuasaan untuk menguasai masyarakat serta akses SDA dan finansial melalui perumusan hukum; salah satu pilar negara hukum, yaitu demokrasi, sudah goyah. Secara prosedural formal dipersyaratkan bahwa perumusan hukum harus mendapat consent dari rakyat yang didelegasikan kepada parlemen.
Hukum harus ditulis secara jelas, dapat diterapkan secara umum, diakses dan dapat diprediksi. Namun justru suara rakyat dan kritik para ilmuwan tidak dihiraukan. Parlemen yang seharusnya mewakili rakyat, penyeimbang kekuasaan Trias Politika, justru berseberangan dengan rakyat.
Ada logika terbalik, hukum direvisi untuk melegalisasi kebijakan yang sudah diterapkan. Tidak heran, pembuatannya dilakukan secara tergesa, sembunyi, dan tanpa partisipasi publik bermakna. Otokratik legalisme dan rekayasa hukum dilakukan untuk kepentingan kekuasaan dengan mengatasnamakan rakyat.
Inilah yang menggerakkan masyarakat sipil, anak muda dalam tagar ”Indonesia Darurat” dan ”Indonesia Gelap”.
Patut dipertanyakan seperti apa naskah akademiknya? Umumnya naskah akademik dibuat hanya proforma, tidak lebih dari sekadar narasi opini, mendukung dibuatnya suatu hukum asal memenuhi persyaratan filosofis, yuridis, dan sosiologis.
Apa pun undang-undang (UU)-nya, rata-rata begitulah pola naskah akademik yang digunakan oleh kebanyakan UU yang dibuat di parlemen kita. Kualitasnya rendah, copy paste! Tanpa referensi teoretik hukum yang memadai, tanpa data dokumen atau data lapangan yang dapat dipertanggungjawabkan sebagai studi ilmiah.
Hampir tak ditemukan naskah akademik yang menggunakan regulatory impact analysis, misalnya dengan menggunakan ROCCIPI (Rule, Opportunity, Capacity, Communication, Interest, Process, dan Ideology), sebagai suatu metode yang biasa digunakan untuk mengidentifikasi problem hukum dan solusinya, (Seidman, 2001)
Epilog
Indonesia memang negara besar, tetapi bukan milik generasi kita, melainkan milik generasi muda yang akan datang silih berganti. Kita berutang besar untuk mewarisinya dalam keadaan gemah ripah loh jinawi.
Bukan hutan gundul atau tanah gersang; sungai, danau dan laut tercemar yang tidak lagi menyediakan sumber makanan, obat-obatan dan pengetahuan, bahkan tidak layak didiami.
Kepemimpinan yang punya kompetensi, visioner, dan berintegritas sangat dibutuhkan. Bukan yang lahir dari produk hukum cacat dan melukai rasa keadilan rakyat. Administrasi bertata kelola bersih, terdiri dari para birokrat yang kompeten dan mampu menjaga ketatanegaraan dengan legalitas sekaligus legitimasi sosial, adalah keniscayaan.
Bukan administrasi ”gemuk” dengan orang-orang yang direkrut secara transaksional atau balas budi. Birokrasi yang melahirkan berbagai kebijakan berdasarkan studi, cara berpikir ilmiah, dan data berbasis bukti, bukan intuisi dan ambisi. Kepemimpinan amanah akan melahirkan Indonesia yang bermartabat, tangguh, dan mandiri. Bangsa terhormat!
Sulistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Sumber: https://www.kompas.id/artikel/perempuan-negara-negara-hukum

