In Memoriam Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki, S.H., M.H.

Fakultas Hukum Universitas Indonesia > Berita > In Memoriam Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki, S.H., M.H.

“Apakah tepat untuk mempidanakan seorang anak balita dan menghukum penjara si ibu karena memberi makan dan melindungi anak kandungnya sendiri yang kebetulan berstatus asing, di negaranya sendiri?” Sekian lama pertanyaan ini merasuk hati seorang Zulfa Djoko Basuki. Sebagai perempuan/ibu, ia tidak bisa menerima kondisi tersebut, karena tidak manusiawi. Sebagai intelektual, ia pun menolak kondisi itu, karena tidak adil. Namun sebagai advokat, ia harus menerimanya sebagai das Sein, karena demikianlah hukum positif yang ada. Tetapi sebagai seorang sarjana, ia berjuang untuk terwujudnya das Sollen, pengaturan ideal yang manusiawi lagi berwibawa secara hukum.

Hasilnya ada dua. Pertama, disertasi berjudul Dampak Putusnya Perkawinan Campuran terhadap Pemeliharaan Anak (Child Custody) dan Permasalahannya Dewasa Ini (Tinjauan dari Segi Hukum Perdata Internasional), dengan Prof. Sri Setianingsih Suwardi dan Prof. Tapi Omas Ihromi sebagai promotor dan ko-promotor (Universitas Indonesia, 2003). Kedua, penelitiannya berkontribusi pada perubahan politik hukum Indonesia terkait kewarganegaraan. Dari secara eksklusif memberikan hak kepada pria menurunkan kewarganegaraan (1958) menjadi inklusif memberikan hak kepada pria dan wanita menurunkan kewarganegaraan Indonesia kepada anak-anak mereka (2006). Sekarang UU Kewarganegaraan Republik Indonesia tetap menganut prinsip ius sanguinis, namun dengan kesetaraan gender yang menjunjung tinggi hak asasi manusia sehingga kepentingan terbaik anak (best interest of the child) terjaga. Dengan demikian, kondisi yang dipertanyakan di atas mustahil terjadi, karena tertutuplah kemungkinan lahirnya anak berstatus apatride dari perkawinan pria warga negara asing dengan wanita Indonesia.

Pilihan topik tersebut merupakan pilihan intelektual yang berani. Meski sebagai akademisi-cum-advokat ia mempunyai pengalaman dan pengetahuan mendalam a.l. di bidang hukum perdata internasional, hukum acara, pengangkutan laut, dan hak kekayaan intelektual, justru topik hukum yang mendatangkan ke-baper-an yang menjadi pilihannya. Saya tidak pernah bertanya alasannya, tapi saya selalu menyaksikan semangat yang menggelora setiap kali ia membahas tentang topik tersebut termasuk isu-isu terkait. Demikianlah Dr. Zulfa menggapai idaman setiap akademisi – karya penelitian yang mengubah politik hukum nasional ke arah ideal yang berdampak langsung bagi generasi penerus bangsa!

Zulfa Nur Idris meraih gelar SH pada tahun 1967 dari Universitas Indonesia. Empat tahun kemudian ia memulai karier sebagai akademisi di almamaternya untuk bidang hukum perdata internasional sebagai asisten Sudargo Gautama, Guru Besar Luar Biasa Hukum Antartata Hukum. Di tahun yang sama ia membina rumah tangga dengan sang kekasih Djoko Basuki, dan namanya pun berubah. Sebagai istri, ia mengikuti penugasan Departemen Keuangan kepada Pak Djoko. Oleh karena itu, Bu Zulfa menjadi dosen di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, atau melanjutkan studi magister ilmu hukum di Universitas Padjadjaran. Mengajar juga ia lakukan di Universitas Tarumanegara, Univeritas Trisakti, Universitas Katolik Atmajaya, semuanya mata kuliah Hukum Perdata Internasional; Sekolah Tinggi Hukum Militer untuk mata kuliah Hukum Antar Tata Hukum; dan Universitas Pelita Harapan untuk Hukum Perkawinan.

Ia menandemkan dunia akademis dan praktik diawali dengan bergabung sebagai advokat di Kantor Hukum Prof. Mr. Dr. Sudargo Gautama. Dunia praktik tidak hanya melengkapi wawasannya tentang bagaimana hukum bekerja, tapi juga menuntutnya untuk aktual dengan zaman. Ia mengalami langsung bagaimana hukum harus beradaptasi dengan revolusi dunia transportasi ketika kontainer menjadi perangkat pengangkutan antarmoda pada awal dekade 1970an. Perubahan signifikan juga terjadi di bidang hukum hak kekayaan intelektual, dan ia menjadi advokat yang dipercayakan mengurus jasa layanan hukum terkait kepada para klien.

Seperti Sang Profesor/Pendiri kantor hukum, Zulfa Djoko Basuki menjadi akademisi-cum-advokat. “Gue mau jadi asistennya dan advokat di kantor Pak Gouw karena gue mau serap ilmunya!” demikian ceritanya dalam berbagai kesempatan kepada para asisten. Pada 30 April 2005, Zulfa Djoko Basuki mengikuti jejak Sang Guru dengan menjadi seorang profesor.

Selepas dari Kantor Hukum Prof. Gautama, Bu Zulfa menjadi Wakil Direktur, lalu Direktur Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia sepanjang dekade 1980an. Secara kreatif, Bu Zulfa mengajak Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk berkolaborasi dalam memberikan bantuan hukum kepada publik. Hasilnya, LKBH FHUI mendapatkan ruang khusus di PN Jakarta Selatan untuk memberikan bantuan hukum pro bono. Selain itu kolaborasi apik tersebut dan kerjasama tim yang terjalin secara internal di LKBH membuatnya puas. Raut wajahnya penuh dengan kebanggaan ketika bercerita tentang masa itu. Bukan hanya karena ia berhasil menjawab keraguan sejumlah pihak, tapi juga LKBH berkontribusi bagi penegakan hukum sambil menjadi sarana belajar yang efektif bagi mahasiwa FHUI.

Di Jurusan Hukum Internasional FHUI, Bu Zulfa adalah seorang senior yang selalu mendorong para junior untuk berkembang dalam karier akademisnya. Di satu sisi, ia memberikan kebebasan akademik, sehingga kami bisa mengembangkan bakat, minat, dan melit masing-masing; tapi di sisi lain ia menuntut kualitas tinggi. Ada standar dan gengsi akademis Tim Hukum Perdata Internasional yang ia mewarisi dari Prof. Gautama, S. J. Hanifa, P. H. Sidarta, dan Sri Astuti Basuki, dan ia pun mewariskannya kepada para junior. Tongkat estafet telah berpindah.

Bu Zulfa maklum dengan latar belakang dan sifat yang berbeda dari tiap orang. “Anak saya banyak, masing-masing pun karakternya sendiri.” Yang ia maksud bukan hanya Anto, Jusuf, Ari, dan Safril di rumah, tapi juga para junior/anaknya di LKBH, dan Bidang Studi Hukum Internasional FHUI. Ia merangkul sebanyak mungkin anak-anaknya, sambil mendorong kami untuk maju sesuai dengan trajektori masing-masing.

Kemampuannya mengambil peran dan menempatkan diri terhadap orang lain nyata antara lain dalam pemilihan kata panggilan. “Kamu” ia gunakan dalam kondisi normal. Ketika ingin menempatkan diri sebagai yang lebih tua, ia memanggil lawan bicara dengan nama. Ada kehangatan dalam suaranya, dan pembicaraan jadi personal. Jika hendak iseng, lawan bicara ia sapa dengan ‘lo“ dengan logat Betawi yang kental. Tetapi ia tahu kapan harus mengaktifkan “professor-mode”. Terlontarlah panggilan “Anda” dengan nada berwibawa dan sorot mata yang tajam.

Pengalamannya berhadap-hadapan langsung dengan beragam perubahan membuatnya tidak lalai untuk mengikuti perkembangan teknologi. Dari mesin tik yang berganti dengan komputer, papan tulis dengan overhead projector, atau hadirnya internet yang mengubah pelbagai segi kehidupan, ia tidak gugup apalagi gaptek. Perkembangan teknologi ia memanfaatkan untuk memberikan yang terbaik sesuai dengan tuntutan profesi.

Beberapa waktu setelah Pandemi COVID-19 kesehatannya menurun dan harus non-aktif dari kampus. Suatu kondisi yang tidak mudah bagi pribadi yang penuh dengan vitalitas. Dan akhirnya menjelang senja pada Selasa, 15 April 2025 sang profesor berpulang ke Khalik. Terima kasih, Bu untuk telah menjadi teladan yang penuh kasih!

 

Jakarta/Depok, 16 April 2025

Yu Un Oppusunggu

About the author

➖ Kampus UI Depok Jl. Prof. Mr. Djokosoetono, Kampus FHUI Gedung A Depok 16424, Jawa Barat Telepon (021) 7270003, 7863288 Faks (021) 7270052. E-mail: humas-fh@ui.ac.id & lawschool@ui.ac.id ... ➖ Kampus UI Salemba Gedung IASTH Lt. 2, Jl. Salemba Raya No.4, Jakarta 10430 Tel : (021) 31909008 Faks : (021) 39899148