Penulis ingin menyampaikan pondasi tindakan medis agar dapat dikategorikan sebagai lege artis meliputi 3 hal yaitu: informed consent; Standar (baik Standar Pelayanan Medis, Standar Profesi, maupun SOP); tujuan konkrit dari tindakan medis yang selaras dengan ilmu pengetahuan dan pengalaman dalam bidang medis. Kegagalan tindakan medis tidak identik dengan malpraktik medis.
Pertengahan tahun 2024, media massa memberitakan mengenai keluhan seorang suami yang menyatakan bahwa istrinya merupakan korban malpraktik setelah operasi caesar anak keempat yang dilakukan oleh Dokter Spesialis Kandungan pada sebuah rumah sakit di Makassar, Sulawesi Selatan. Kasus ini semakin viral karena sang suami mengunggah keluhannya di media sosial. Beberapa kali, media massa juga memberitakan mengenai malpraktik terkait dengan hasil tindakan dokter yang tidak sesuai dengan harapan pasien dan/atau keluarga pasien.
Hingga saat ini, media massa selalu mengkategorikan kegagalan tindakan medis sebagai malpraktik. Ada 2 hal yang dapat disimpulkan dari hal ini. Pertama, istilah malpraktik identik dengan profesi dokter. Padahal, malpraktik merupakan kegagalan dari profesi menerapkan standar dalam tindakan profesinya. Seharusnya, malpraktik tidak identik dengan profesi dokter, tetapi dapat juga menimpa profesi lainnya, misalnya lawyer, notaris, dosen, dan sebagainya.
Kedua, kegagalan tindakan medis identik dengan malpraktik. Padahal, seharusnya tidak karena tindakan medis bersifat inspanningsverbintennis, dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: perkembangan ilmu pengetahuan dan pengalaman dalam bidang medis, faktor dan kondisi pasien, faktor risiko medis, faktor kecelakaan medis, dan sumbangsih contributory of negligence (kontribusi kesalahan) dari pihak pasien.
Inspanningsverbintennis merupakan perikatan yang prestasinya berupa upaya maksimal. Hubungan hukum antara pasien dengan dokter, sifatnya adalah inspanningsverbintennis. Artinya, dalam hubungan ini yang dititikberatkan adalah upaya maksimal dari dokter berdasarkan keilmuan dan pengalaman dalam bidang medis. Upaya maksimal yang selaras dengan Standar (Standar Profesi, Standar Pelayanan Medis, dan Standar Operasional Prosedur – SOP). Oleh karena itu, penjaminan mutu bagi profesi dokter sejak saat menuntut ilmu di fakultas kedokteran hingga proses kredensial di rumah sakit, menjadi titik berat dalam hal ini. Beberapa putusan pengadilan memperkuat karateristik inspanningsverbintennis ini, misalnya dalam Putusan Pengadilan Nomor 325/Pdt.G/2017/PN.Sby dan Putusan Pengadilan Nomor 329/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Tim.
Bahkan dalam Putusan Pengadilan Nomor 225/PDT.G/2014/PN.BDG, ahli yang dihadirkan dalam persidangan menyampaikan beberapa hal yaitu: ilmu kedokteran meskipun ilmu yang eksak, tapi nisbi yang tujuannya yaitu berupaya semaksimal mungkin untuk menyembuhkan pasien; perjanjian antara dokter dengan pasien bukan merupakan perjanjian hasil, melainkan perjanjian ikhtiar untuk mengupayakan semaksimal mungkin kesembuhan pasien; tindakan medis seperti operasi yang memiliki risiko tinggi termasuk bedah diperlukan persetujuan tertulis dari pasien atau walinya begitu juga apabila pasien menolak, maka penolakan harus secara tertulis yang formulirnya telah disediakan oleh rumah sakit; suatu kegagalan tindakan operasi tidak bisa dinilai oleh pasien itu sendiri, melainkan harus dinilai oleh ahli dari pihak lain yang berbeda dengan tim dokter yang telah melakukan operasi.
Standar (Standar Profesi, Standar Pelayanan Medis, dan Standar Operasional Prosedur – SOP) merupakan parameter dari inspanningsverbintennis. Penyimpangan dari Standar, atau tindakan dokter yang tidak memenuhi Standar, berpotensi untuk menimbulkan malpraktik medis. Artinya, malpraktik medis merupakan tindakan medis yang menyimpang atau tidak memenuhi Standar. Beberapa putusan pengadilan menyatakan bahwa dokter dalam melakukan tindakan medis telah sesuai dengan Standar yaitu: Putusan Pengadilan Nomor 102/PDT.G/2016/PN.Jkt.Brt; Putusan Pengadilan Nomor 577/PDT/2017/PT.DKI; Putusan Pengadilan Nomor 146/Pdt.G/2019/PN.Ptk; Putusan Pengadilan Nomor 182/Pdt.G/2016/PN.JKT.TIM; Putusan Pengadilan Nomor 312/Pdt.G/2014/PN.JKT.Sel; Putusan Pengadilan Nomor 240/PDT/2016/PT.DKI; Putusan Pengadilan Nomor 5/Pdt.G/2015/PN Mad; Putusan Pengadilan Nomor 38/Pdt.G/2016/PN Bna; Putusan Pengadilan Nomor 111/PDT/2010/PT BNA; Putusan Pengadilan Nomor 569/Pdt.G/2013/PN.Jkt.Pst; Putusan Pengadilan Nomor 22/PDT/2020/PT PTK; Putusan Pengadilan Nomor 72/Pdt.G/2021/PN Pms; Putusan Pengadilan Nomor 63/Pdt.G/2021/PN Kpn; dan Putusan Pengadilan Nomor 609/PDT/2021/PT SBY. Namun, beberapa Putusan Pengadilan menyatakan bahwa dokter dalam melakukan tindakan medis tidak sesuai dengan Standar, yaitu: Putusan Kasasi Nomor 779 K/Pdt/2014 dan Putusan Kasasi Nomor 1001 K/Pdt/2017.
Risiko medis merupakan salah satu penyebab kegagalan tindakan medis. Risiko medis adalah faktor internal yang berasal dalam diri atau tubuh pasien yang menyebabkan tindakan medis mengalami kegagalan. Meskipun tindakan medis telah sesuai dengan Standar, potensi munculnya risiko medis tetap ada. Dalam setiap tindakan medis, selalu terkandung risiko medis. Risiko medis tidak dapat dihilangkan. Namun, risiko medis dapat diupayakan untuk diminimalisir dan diupayakan pertolongan darurat untuk mengatasi risiko medis.
Beberapa risiko medis yang pernah terjadi dalam tindakan medis adalah sebagai berikut: Steven Jhonson Syndrome – SJS (Putusan Pengadilan Nomor 23/PDT/2018/PT.DKI); pendarahan batang otak (Putusan Pengadilan Nomor 146/Pdt.G/2019/PN.Ptk jo. Putusan Pengadilan Nomor 22/PDT/2020/PT.Ptk); pengangkatan rahim akibat kondisi kanker yang telah menyebarluas (Putusan Pengadilan Nomor 864/Pdt.G/2019/PN Jkt.Brt); risiko medis saat tindakan anestesi spinal (Putusan Pengadilan Nomor 1324/Pdt.G/2021/PN Tng); pendarahan dan komplikasi (Putusan Pengadilan Nomor 176/Pdt.G/2021/PN Blb); risiko medis terkait pemasangan infus (Putusan Pengadilan Nomor 13/Pdt.G/2020/PN Mrt); risiko medis terkait usia pasien yang terlalu tua (Putusan Pengadilan Nomor 415/Pdt.G/2019/PN Sby jo. Putusan Pengadilan Nomor 277/PDT/2020/PT.SBY).
Penyebab kegagalan tindakan medis lainnya adalah karena kontribusi kesalahan pasien, atau dikenal dengan istilah contributory of negligence. Beberapa Putusan Pengadilan membuktikan adanya kontribusi kesalahan pasien (contributory of negligence) yang menyebabkan kegagalan dalam tindakan medis yaitu: Putusan Pengadilan Nomor 23/PDT/2018/PT.DKI (pasien tidak mematuhi konsultasi medis); Putusan Pengadilan Nomor 225/PDT.G/2014/PN.BDG (pasien berobat ke tempat lain); Putusan Pengadilan Nomor 369/Pdt/2015/PT Bdg (pasien tidak mengikuti fisioterapi); Putusan Pengadilan Nomor 5/Pdt.G/2015/PN Mad (pasien telah ditangani oleh banyak pihak, termasuk pengobat tradisional); Putusan Pengadilan Nomor 511/Pdt.G/2019/PN Sgt, Putusan Pengadilan Nomor 145/Pdt.G/2021/PN.Jmb (pasien tidak melakukan kontrol medis); Putusan Pengadilan Nomor 152/PDT/2019/PT SMR (pasien tidak melakukan kontrol medis dan tidak menjaga kebersihan); Putusan Pengadilan Nomor 514/Pdt.G/2013/PN.Bdg jo. Putusan Kasasi Nomor 3571 K/Pdt/2015 (pasien berobat di beberapa tempat lain dan melakukan pengobatan herbal).
Kecelakaan medis juga dapat menjadi salah satu penyebab kegagalan tindakan medis. Biasanya, kecelakaan medis disebabkan karena sarana prasarana rumah sakit tidak berfungsi sebagaimana mestinya sesuai dengan standar. Salah satu kasus kecelakaan medis, pernah terjadi di Amerika Serikat pada tahun 1982 yaitu Kasus Wooten vs US., 574. Supp. 200 (DC Tenn, 1982). Dalam kasus ini, rumah sakit dianggap lalai karena tidak memasang penghalang ranjang dari seorang pasien manula yang berumur 83 tahun, sehingga pasien terjatuh dari ranjang. Akibatnya, pasien harus menjalani bedah otak karena fraktur batok kepala, subdural dan kontusio serebral. Pasien menderita cacat menetap termasuk afasia bicara, sebelah kanan badan lumpuh. Pengadilan memutuskan bahwa rumah sakit mengganti kerugian sejumlah US$80.000.
Di Indonesia, beberapa kali terjadi kasus kecelakaan medis yang menyebabkan kegagalan tindakan medis. Tahun 2001, terjadi kasus tertukarnya Gas O2 dengan Gas CO2 saat dilakukannya tindakan operasi pada sebuah rumah sakit di Bengkulu. Dalam kasus ini, tim dokter akan melakukan operasi terhadap korban kecelakaan lalu lintas. Selang pernapasan dihubungkan dengan saluran yang tertempel di tembok kamar operasi, dimana saluran tersebut tertuliskan O2. Setelah dilakukan tindakan anastesi, dokter melihat ada yang janggal dalam tubuh pasien karena warna darahnya berubah menjadi ungu (indikasi keracunan). Tim dokter kemudian langsung melakukan tindakan gawat darurat untuk menyelamatkan nyawa pasien.
Namun, tindakan ini tidak berhasil dan pasien kemudian meninggal dunia. Tahun 2017, terjadi kasus yang menimpa seorang bayi di sebuah rumah sakit di Jakarta. Pada kasus ini, dokter jaga yang ada di unit gawat darurat rumah sakit bergegas melakukan tindakan penanganan gawat darurat terhadap pasien. Tetapi, tindakan ini tidak ditunjang dengan alat yang memadai karena ventilator yang terdapat di unit gawat darurat rumah sakit tidak berfungsi. Akibat dari alat yang tidak berfungsi itu, dokter jaga di unit gawat darurat rumah sakit melakukan penanganan gawat darurat secara manual. Sang bayi kemudian meninggal dunia.
Sebagai penutup, Penulis ingin menyampaikan bahwa pondasi dari tindakan medis agar dapat dikategorikan sebagai lege artis meliputi 3 hal yaitu: informed consent; Standar (baik Standar Pelayanan Medis, Standar Profesi, maupun Standar Operasional Prosedur – SOP); tujuan konkrit dari tindakan medis yang selaras dengan ilmu pengetahuan dan pengalaman dalam bidang medis. Sekali lagi, kegagalan tindakan medis tidak identik dengan malpraktik medis!
Oleh Wahyu Andrianto, Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Sumber: https://www.hukumonline.com/berita/a/mispersepsi-terhadap-malpraktik-medis-lt676a815de3690/