Depok, 4 Oktober 2024 – Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), dan Fakultas Hukum Universitas Indonesia menggelar seminar internasional bertajuk “Tantangan Hukum Atasi Krisis Bumi di Era Antroposen.”
Seminar berfokus pada urgensi pembaruan paradigma hukum dalam menghadapi tiga krisis planet di era antroposen. Ketua Kamar Perdata Mahkamah Agung RI, YM I Gusti Agung Sumanatha, dalam sambutannya menekankan pentingnya peran lembaga peradilan dalam menghadapi tiga krisis planet, serta mendorong judicial activism untuk mendukung keberlanjutan lingkungan.
Direktur Jenderal Pengelolaan Limbah, Sampah, dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Rosa Vivien Ratnawati, juga menyampaikan bahwa kolaborasi antara pihak menjadi elemen kunci dalam mengatasi permasalahan lingkungan yang semakin kompleks dan dalam menegakkan hukum lingkungan. Sementara itu, CEO IOJI, Mas Achmad Santosa, mengkritisi posisi lingkungan yang sering kali diposisikan untuk menunjang pertumbuhan ekonomi, padahal hakikat interdependensi manusia dan alam harus menjadi dasar pendekatan hukum lingkungan.
Seminar ini juga menghadirkan Prof. Dr. Louis Kotzé dari North-West University, Afrika Selatan. Ia menyerukan perlunya pergeseran paradigma hukum lingkungan konvensional menuju tata hukum yang lebih adaptif terhadap era Antroposen, terutama dari perspektif Global-South.Selain itu, Kotzé juga menambahkan akademisi memiliki peran penting dalam mereformasi hukum guna menangani tiga krisis planet dalam era Antroposen.
Pandangan Kotzé ini sejalan dengan berbagai gagasan yang disampaikan oleh akademisi lainnya dalam seminar tersebut. Prof. Ben Boer dari University of Sydney menggarisbawahi pentingnya kolaborasi interdisipliner untuk memperluas pendekatan hukum lingkungan. “Kerja-kerja lintas ilmu dapat mempromosikan rekonseptualisasi hukum lingkungan, terutama dalam menghadapi krisis yang semakin kompleks di era Antroposen” ujar Prof. Ben Boer.
Prof. Dr. M. R. Andri Gunawan Wibisana, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia menekankan bahwa konstitusi Indonesia, khususnya Pasal 28H dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945, sudah memiliki modalitas sebagai dasar untuk mendorong perlindungan lingkungan hidup yang lebih kuat. “Pasal 28H dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 perlu selalu dijadikan sebagai acuan. Namun, tantangan yang dihadapi justru muncul dari regulasi yang menunjukkan regresi dalam hukum lingkungan”, ujarnya.
Selanjutnya, Prof. Dr. Rizaldi Boer, Centre for Climate Risk and Opportunity Management in Southeast Asia and Pacific di Institut Pertanian Bogor, memperingatkan dampak nyata dari tiga krisis planet, termasuk penipisan salju di Puncak Jayawijaya dan ancaman kepunahan jutaan spesies. “Krisis ini menuntut respons hukum yang lebih progresif dan adaptif,” ucapnya.
Terakhir, Dr. Alin Halimatussadiah, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia menegaskan pentingnya mengintegrasikan konsep green economy dalam pembangunan, yang mampu menyeimbangkan antara pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan.
Berdasarkan paparan yang disampaikan oleh para narasumber, dipahami bahwa pembaruan hukum di era antroposen membutuhkan pendekatan multidisipliner dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk perumus kebijakan, aparat penegak hukum, masyarakat, dan akademisi.
Sejalan dengan semangat tersebut, pada seminar, perwakilan fakultas hukum di sejumlah universitas di Indonesia dan organisasi masyarakat sipil turut menandatangani Perjanjian Kerja Sama (PKS) bertajuk “Pengembangan Law in the Anthropocene.” PKS ditandatangani oleh perwakilan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Sekolah Pascasarjana Universitas Diponegoro, Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, IOJI, dan ICEL.
PKS bertujuan untuk memperkuat kerja sama dalam rangka pengembangan hukum di era antroposen guna mengatasi triple planetary crisis.