"VOX POPULI VOX DEI" Suara Rakyat adalah Suara Tuhan.

“Gang Rape” dan Urgensi Melawan “Toxic Group Masculinity” Oleh Heru Susetyo, S.H., LL.M., M.Ag., Ph.D.

Fakultas Hukum Universitas Indonesia > Berita > “Gang Rape” dan Urgensi Melawan “Toxic Group Masculinity” Oleh Heru Susetyo, S.H., LL.M., M.Ag., Ph.D.

FENOMENA gang rape (pemerkosaan berkelompok) semakin mengerikan di Indonesia. Memang dari segi jumlah belum separah negeri India, namun sudah makin mengkhawatirkan. Gang rape melahirkan teror dan horor, utamanya bagi kaum wanita Indonesia, yang lazimnya menjadi korban. Apalagi targetnya seringkali tidak pandang bulu. Dari anak perempuan hingga perempuan dewasa, bahkan lanjut usia. Dari perempuan berbusana biasa hingga yang berjilbab dan menutup aurat-pun dapat menjadi korban. Di Kabupaten Labuhanbatu, Sumatera Utara, misalnya, seorang remaja putri inisial RCV (17) diduga diperkosa 12 orang di kebun sawit dan kamar kos. Menurut Polres Labuhanbatu, awalnya korban dijemput oleh salah satu tersangka pelaku pada Jumat (6/9/2024) malam. Lalu, dua tersangka pelaku, salah satunya mantan pacar korban, membawa korban ke kebun sawit di daerah tersebut dan langsung memerkosanya.

Namun, karena salah satu tersangka ketakutan aksi tersebut diketahui warga, mereka memutuskan untuk membawa korban ke kamar kos. Di sana, korban kembali digilir bersama dengan 10 pelaku lainnya (detik.com, 9/9/2024). Di provinsi yang sama, tepatnya di Kabupaten Dairi, tiga pelajar ditangkap usai menyetubuhi mantan pacar mereka yang masih duduk di bangku SMP, yakni L (14). Perbuatan bejat itu dilakukan para tersangka di rumah korban. Kapolres Dairi AKBP Agus Bahari Parama Artha merinci, ketiga tersangka pelaku masih berstatus sebagai pelajar, yakni GS (17), JRG (17), dan RS (16). Mereka sama-sama pernah menjadi pacar dari korban. Ketiganya ditangkap pada Sabtu (7/9/2024) (detik.com, 10/09/ 2024). Masih di Pulau Sumatera, Polrestabes Palembang, Sumatera Selatan, menetapkan empat orang tersangka atas pembunuhan dan pemerkosaan siswi SMP berinisial AA (13) yang mayatnya ditemukan di TPU Talang Kerikil pada Minggu (1/9/2024). Mirisnya, keempat tersangka pembunuhan tersebut ternyata masih berstatus anak-anak. Mereka adalah IS (16), MZ (13), MS (12), dan AS (12). Para tersangka ditangkap pada Selasa (3/9/2024), setelah polisi melakukan serangkaian pemeriksaan dan mendapatkan bukti petunjuk. Kapolrestabes Palembang mengatakan, aksi pembunuhan tersebut bermula saat IS bersama tiga rekannya bertemu dengan korban untuk menonton hiburan tradisional Kuda Lumping yang berada di sekitar kawasan Pipa Reja (Kompas, 4/9/2024). Dalam pertemuan itu, korban AA diajak oleh pelaku IS ke TPU Talang Kerikil untuk jalan-jalan. Korban yang tak curiga kemudian menuruti ajakan dari pelaku. Ketika berada di lokasi, IS yang menyukai korban berupaya memerkosa AA. Saat itu gadis penjual balon itu langsung dibekap oleh IS bersama tiga rekannya yang lain hingga akhirnya tewas kehabisan napas. Setelah tewas, korban kemudian diperkosa secara bergantian oleh pelaku. Usai korban tewas, pelaku ini kemudian membopong tubuh AA ke lokasi lain yang berjarak sekitar 30 menit berjalan kaki untuk memindahkan jasadnya. Di sana, korban yang sudah dalam kondisi meninggal kembali diperkosa oleh ketiga tersangka pelaku (Kompas, 04/09/ 2024). Tiga kasus di atas yang terjadi pada awal September 2024, adalah kasus perkosaan berkelompok (gang rape) yang dilakukan secara bersama-sama oleh tersangka usia anak maupun pemuda. Bukan kebetulan ketiga korban adalah gadis di bawah umur dan antara para korban dan (sebagian) pelaku saling mengenal.

 Kasus Yuyun 2016

Kasus-kasus di atas bukan kasus pertama di Indonesia. Satu kasus gang rape fenomenal yang menjadi perhatian publik dan amat mengusik nurani masyarakat Indonesia adalah kasus perkosaan dan pembunuhan terhadap Yuyun, seorang siswi SMP berusia 14 tahun di Padang Ulak Tanding, Kabupaten Rejang Lebong Bengkulu pada awal April 2016. Yuyun menjadi korban kekejaman 14 remaja yang memerkosanya secara bergantian di kebun karet. Beberapa di antara pemerkosa tersebut adalah teman Yuyun sendiri. Setelah tindakan biadab itu, Yuyun ditemukan dalam kondisi meninggal dunia. Kejadian ini terjadi di lingkungan yang seharusnya aman, yaitu di sekitar tempat tinggal korban.

Kasus Yuyun menjadi titik balik bagi masyarakat Indonesia untuk lebih peduli dan terbuka dalam membahas isu kekerasan seksual dan meningkatkan upaya pencegahan kekerasan seksual. Ketika itu muncul gerakan sosial dari berbagai organisasi dan individu yang berinisiatif untuk memberikan edukasi, dukungan, dan perlindungan bagi anak-anak korban kekerasan. Pemerintah Indonesia merespons aktif dengan dengan merevisi UU Perlindungan Anak tahun 2002 melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1 tahun 2016 yang ditandatangani Presiden pada Mei 2016 (Perppu No. 1/ 2016). Isinya antara lain memperberat sanksi pidana untuk pelaku kekerasan seksual terhadap anak, berupa kebiri atau penghilangan fungsi testis secara kimia dan memperberat ancaman pemenjaraan. Perppu ini kemudian menjadi UU No. 17 tahun 2016 dan populer dengan nama “Perppu Kebiri.”

Sayangnya, baru setahun Perppu Kebiri tersebut dilahirkan, pemerkosaan massal kembali terjadi di Luwu, Sulawesi Selatan pada 2017. Sebanyak 21 pria di Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan memerkosa seorang gadis berusia (13) yang masih duduk di bangku SMP. Korban diperkosa secara bergiliran selama dua hari di tepi sungai di wilayah Kecamatan Walenrang, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan pada bulan Ramadhan. Namun, peristiwa ini baru dilaporkan korban ditemani keluarganya pada 11 Oktober 2017. Menurut Kapolres Luwu, pada saat bulan Ramadhan, korban sedang melintas pada malam hari di depan kerumunan pemuda yang tengah berpesta minuman keras (miras). Awalnya korban dipanggil dan diajak jalan oleh salah satu tersangka DK.

 Korban mengikuti ajakan DK yang merupakan pria idamannya. Kemudian DK memerkosa korban di tepi sungai. Setelah itu, DK menelepon teman-teman untuk memerkosa korban. Ada yang memegang tangan dan kaki korban. Aksi bejat ini dilakukan 21 tersangka itu selama dua malam berturut-turut. (Kompas.com, 24/10/2017).

“Gang Rape”

Chauhan & Garg (2023) menyebutkan bahwa gang rape (pemerkosaan berkelompok) merupakan kejahatan mengerikan dan menyedihkan yang menyerang inti martabat dan kesejahteraan manusia. Pemerkosaan berkelompok melibatkan banyak pelaku yang bekerja sama untuk melakukan tindakan seksual tanpa persetujuan terhadap satu korban. Para pelaku dapat menggunakan kekerasan, ancaman, intimidasi, atau zat untuk melumpuhkan korban dan melakukan penyerangan. Kejahatan keji ini merupakan pelanggaran HAM dan sering kali menyebabkan trauma fisik, emosional, dan psikologis yang parah bagi korban.

Luka emosional dan psikologis ini dapat berlangsung seumur hidup. Konsep pemerkosaan berkelompok menimbulkan pertanyaan kompleks tentang dinamika kekuasaan, norma sosial, keadilan, dan urgensi perubahan di masyarakat. Chauhan & Garg (2023) selanjutnya mengklaim bahwa gang rape berbeda secara signifikan dari serangan seksual perorangan karena sifatnya beragam. Pemerkosaan berkelompok tidak hanya melibatkan tindakan penyerangan fisik, tetapi juga trauma psikologis yang ditimbulkan melalui pemaksaan, intimidasi, dan penurunan hak asasi korban. Para pelaku, yang sering kali didorong keinginan untuk mendominasi dan mengendalikan, bekerja sama dalam menunjukkan ketidakseimbangan kekuasaan yang mengkhawatirkan. Pemerkosaan berkelompok dapat terjadi dalam berbagai konteks, mulai dari pertemuan sosial hingga kegiatan kriminal, masing-masing didorong oleh serangkaian motivasi yang unik. Baik terjadi secara spontan atau atau direncanakan sebelumnya, kejahatan ini mengungkap situasi masyarakat “kelas bawah” yang tersingkir dari arus kekuasaan, budaya kekerasan, dan maskulinitas yang menyimpang (distorted masculinity) yang dapat merasuki masyarakat.

Faktor-faktor seperti tekanan teman sebaya (peer pressure), maskulinitas yang beracun (toxic masculinity), dan norma-norma masyarakat dapat berkontribusi terhadap terjadinya pemerkosaan berkelompok. Amat penting untuk memahami akarnya untuk secara efektif mengatasi dan mencegahnya. Bagi korban gang rape, konsekuensi pemerkosaan massal berdampak amat serius. Korban bergulat dengan cedera fisik, tekanan emosional, dan trauma psikologis yang kompleks. Pengalaman tersebut dapat menyebabkan kondisi seperti gangguan stres pascatrauma (PTSD), depresi, kecemasan, dan masalah kepercayaan, yang mengganggu rasa percaya diri dan kemampuan mereka untuk terlibat dalam hubungan yang sehat (Chauhan & Garg, 2023).

Studi Vetten & Hafejee (2005) di Afrika Selatan memaparkan bahwa pelaku pemerkosaan berkelompok jarang berusaha menyembunyikan identitas mereka. Hanya dalam sembilan kasus mata korban ditutup; dalam empat kasus pakaiannya dilepas atau dihancurkan (meskipun tidak jelas apakah ini dilakukan untuk menghindari deteksi atau untuk merampok korban); dan dalam tujuh kasus pelaku menggunakan kondom (dengan demikian memastikan tidak ada air mani yang tersedia untuk dianalisis sebagai bukti DNA). Dalam sembilan kasus korban disumpal untuk mencegahnya meminta bantuan. Empat belas dari 162 kasus pemerkosaan berkelompok (9 persen) dibawa ke pengadilan. Hanya satu yang menghasilkan hukuman, sementara yang lain dibatalkan oleh pengadilan atau dibebaskan.

Sepuluh kasus lainnya dibatalkan oleh polisi atau korban. Tidak ada pelaku yang pernah ditangkap dalam kasus-kasus lainnya. Penelitian ini menyoroti bagaimana pemerkosaan berkelompok secara signifikan mengurangi kebebasan bergerak wanita. Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa laki-laki yang memerkosa secara berpasangan atau berkelompok juga sering kali merupakan orang asing bagi korbannya, biasanya menyerang korbannya di tempat umum, dan juga paling mungkin menggunakan kekerasan dan senjata terhadap mereka.

Hak istimewa maskulin (masculine entitlement) juga tampak jelas dalam beberapa kasus, dengan beberapa laki-laki menyerang dan memerkosa korbannya sebagai tanggapan atas penolakan korban terhadap tuntutan seksual mereka.

 “Toxic Group Masculinity”

Nur Aisyah (dalam Serambinews.com, 21/07/ 2022) mengkonfirmasi bahwa sebab dari gang rape antara lain adalah kesalahan dalam pola asuh dan dukungan terhadap proses perkembangan yang diberikan, baik oleh keluarga, lembaga pendidikan, dan komunitas (dalam lingkup yang lebih luas) yang cenderung individualistis dan jauh dari nilai-nilai damai, berkeadilan dan kesetaraan.

Karakteristik lainnya, menurut NG Berrill, sebagaimana dikutip Nur Aisyah, adalah pada awalnya kekerasan yang dilakukan tidak terencana, tapi didorong oleh rasa solidaritas yang tumbuh antaranggota kelompok untuk melakukan hal-hal yang tidak mereka rencanakan, termasuk untuk melakukan tindak kekerasan. Apabila salah seorang anggota kelompok mundur dari rencana kelompok yang telah disepakati, maka konsekuensinya ia akan dianggap sebagai seorang ‘pengecut’. Adanya label ‘pengecut’ yang akan disematkan pada diri pelaku sangat ditakuti, karena itu akan meruntuhkan dignitas dan harga dirinya. Karena dalam masyarakat di mana ia tumbuh dan dibesarkan, laki-laki dikonstruksikan secara sosial untuk selalu menjadi ‘pemenang’ dalam semua hal, sehingga perannya harus dominan dan sentral.

Jati diri sebagai ‘pemenang’ dan ‘bersikap harus dominan’ yang tumbuh di masing-masing diri anggota kelompok ini bersatu menjadi harga diri kelompok yang tinggi. Tingginya harga diri kelompok terindikasi pada fakta yang menunjukkan bila pelaku yang terlibat dalam pemerkosaan berkelompok akan lebih mengkhawatirkan reputasi mereka satu sama lain (sebagai laki-laki dominan) akan jatuh, daripada hak hidup korban yang mereka serang.

Pandangan ini diperkuat oleh sosiolog Beth Quinn dari University Colorado yang berpendapat bahwa gang rape merupakan bentuk nyata dari maskulinitas hegemonik untuk mengontrol atau mendominasi korban (toxic grop masculinity). Hal ini didorong oleh adanya nilai-nilai yang berkembang di dalam masyarakat yang memandang perempuan dan anak perempuan sebagai warga masyarakat kelas dua, yang secara sosial politik tidak memiliki kontrol kuasa. Sehingga pelaku, dengan privilese yang mereka miliki sebagai warga masyarakat kelas pertama, berhak untuk mengontrol atau mendominasi korban, melalui tindak pemerkosaan yang mereka lakukan Ciri khas lain dari tindakan kekerasan ini adalah para pelaku pada umumnya melakukan kejahatan seksual secara bergilir dan mengamati pelaku lain yang sedang melakukan aksinya tanpa ada rasa bersalah. Perilaku ini dikenal dengan “bystander effect” atau adanya sikap apatis akut dari pelaku yang tidak berperikemanusiaan.

 Hal ini disebabkan oleh, pertama, kurangnya rasa empati dalam suatu masyarakat terhadap tindak perkosaan yang terjadi. Ini merupakan bentuk pembiaran terhadap perilaku negatif yang dilakukan. Pembiaran ini merupakan budaya permisif yang terbangun dalam masyarakat yang mengarah pada pelangggengan terhadap kekerasan (Nur Aisyah, 2023).

Melawan Gang Rape Chauhan dan Garg (2023) meyakini bahwa penanganan pemerkosaan berkelompok memerlukan pendekatan holistik yang tidak hanya melibatkan langkah-langkah hukum, tetapi juga transformasi sikap dan norma masyarakat. Juga sangat perlu untuk mendorong dialog terbuka, menantang maskulinitas beracun (toxic masculinity), dan membina lingkungan yang lebih menghargai dan menghormati kemanusiaan. Sistem hukum juga memainkan peran penting dalam memastikan bahwa pelaku wajib dimintai pertanggungjawaban dan bahwa korban harus menerima dukungan yang mereka butuhkan untuk pulih.

Kemudian upaya lain yang dapat dilakukan adalah :

  • memperkuat ketahanan dan ikatan keluarga (family resilience & family bonding);
  • melakukan peningkatan penyadaran publik terkait kekerasan seksual;
  • mensosialisasikan pendidikan seks yang sehat, komprehensif dan sesuai dengan nilai-nilai keIndonesiaan;
  • menciptakan lingkungan yang mendukung dan konstruktif (supportive & constructive environment);
  • mendukung korban, atau keluarganya atau orang-orang terdekatnya untuk berani melapor;
  • memberikan dukungan moral dan psikologis kepada korban kekerasan seksual atau keluarganya;
  • pemerintah dan masyarakat harus turut menjamin berjalannya sistem dukungan kepada korban-korban kejahatan seksual sesuai dengan amanat dari UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual No. 12 tahun 2022;
  • melibatkan diri dalam kegiatan pencegahan: masyarakat dapat bergabung dengan organisasi atau komunitas yang fokus pada perlindungan dan advokasi korban-korban kejahatan seksual.

 “The world suffers a lot. Not because of the violence of bad people. But because of the silence of the good people.” – Napoleon

 

Sumber:https://www.kompas.com/tren/read/2024/09/17/091106265/gang-rape-dan-urgensi-melawan-toxic-group-masculinity

About the author

➖ Kampus UI Depok Jl. Prof. Mr. Djokosoetono, Kampus FHUI Gedung A Depok 16424, Jawa Barat Telepon (021) 7270003, 7863288 Faks (021) 7270052. E-mail: humas-fh@ui.ac.id & lawschool@ui.ac.id ... ➖ Kampus UI Salemba Gedung IASTH Lt. 2, Jl. Salemba Raya No.4, Jakarta 10430 Tel : (021) 31909008 Faks : (021) 39899148
Humas FH UI