"VOX POPULI VOX DEI" Suara Rakyat adalah Suara Tuhan.

Ketika Istri Membakar Suami: Perspektif Viktimologi Oleh Heru Susetyo, S.H., LL.M., M.Ag., Ph.D.

Fakultas Hukum Universitas Indonesia > Berita > Ketika Istri Membakar Suami: Perspektif Viktimologi Oleh Heru Susetyo, S.H., LL.M., M.Ag., Ph.D.

INDONESIA dibuat geger dengan kejahatan yang terjadi di Mojokerto, Jawa Timur, pada Sabtu, 8 Juni 2024. Seorang istri yang berprofesi sama dengan suaminya, anggota polisi di Jawa Timur, membakar suaminya hingga tewas. Sang istri, Briptu FN masih berusia 28 tahun dan suaminya Briptu RDW masih berusia 27 tahun. Mereka meninggalkan tiga anak yang masih balita. Anak sulung masih berusia 2 tahun dan adiknya adalah kembar berusia empat bulan. Maka, selain disebut kejahatan, ini juga tragedi keluarga. Sulit membayangkan bagaimana nasib sang anak ketika ayahnya tewas dengan cara tragis di tangan ibunya dan sang ibu akan dipidana penjara dalam waktu lama. Suami melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terhadap istri adalah hal yang relatif sering terjadi di Indonesia. Apakah kekerasan fisik, psikis, seksual, sampai penelantaran ekonomi.

Namun apabila sebaliknya, istri yang melakukan kekerasan terhadap suami, seperti yang belakangan terjadi, menimbulkan pertanyaan: apakah sang istri dapat disebut sebagai pelaku murni, atau dapat dikategorikan sebagai korban yang kemudian jadi pelaku?

Bagamaina teori victim precipitation dalam viktimologi berlaku dalam hal ini?

Rentetan kasus

Rentetan kasus Kekerasan di Mojokerto tentunya bukan satu-satunya kasus kekerasan istri terhadap suami di Indonesia. Di Kuningan Jawa Barat, seorang istri (Y) bersama selingkuhannya membunuh suaminya (I) , seorang hansip, pada 24 Mei 2024 (Kompas.com, 28/05/2024). Di Karawang, seorang istri (OC) merekayasa pembunuhan suaminya (AS) pada 9 Januari 2024, dengan bantuan tiga eksekutor. Motifnya karena sakit hati, persoalan ekonomi, percekcokan dan diduga sang istri memiliki selingkuhan (Kompas.com, 17/01/ 2024).

Kasus yang juga monumental adalah seorang istri bernama Aulia Kesuma yang membunuh suaminya Edi Chandra alias Pupung dan anak tirinya bernama Dana pada 23 Agustus 2019 di Jakarta Selatan. Motifnya, karena sang suami tak mau menjual rumah mereka. Padahal Aulia terlilit hutang miliaran rupiah kepada bank. Aulia hilang akal dan menyewa jasa eksekutor untuk menghabisi nyawa suaminya dan anak tirinya. Walhasil Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mem-vonis mati Aulia dan anaknya Kelvin dengan pidana mati pada 15 Juni 2020 (Kompas.com, 16/06/2020).

Ingatan publik juga belum hilang dengan kasus Hakim PN Medan bernama Jamaludin yang dihabisi istrinya dan orang suruhan istrinya bernama Zuraida Hanum pada 29 November 2019, di Medan. Motif utamanya karena sang istri sakit hati dan cemburu setelah sang suami diduga selingkuh. ZH juga tidak setuju dengan rencana pembagian harta apabila keduanya bercerai. Namun ZH juga selingkuh dengan J, supir lepas dari Hakim Jamal, dan melakukan pembunuhan sang Hakim bersama dengan selingkuhannya tersebut. Walhasil ZH juga divonis mati oleh PN Medan pada 1 Juli 2020 (Kompas.com, 01/07/ 2020).

Di Musi Banyuaasin, Sumatera Selatan, seorang istri berinisial LY (33) memotong alat kelamin suaminya, RH (35) pada Jumat (23/2/2024). Pelaku mengaku memotong alat kelamin suaminya karena merasa kesal setelah korban menikah lagi secara diam-diam. Setelah melakukan kekerasan tersebut, LY lalu menyerahkan diri ke Markas Kepolisian Sektor Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, (Kompas.com, 06/03/ 2024).

Perspektif viktimologi

Tentunya niat (sikap batin atau mens rea) dari setiap istri yang melakukan kekerasan terhadap para suami di atas adalah berbeda. Ada yang karena terlebih dahulu menjadi korban KDRT dari suami, ada yang karena motif pemilikan harta, ada karena sang istri (ataupun sang suami) memiliki selingkuhan, ada yang karena terjadi percekcokan berat terus menerus, dan sebagainya.

Apakah pihak istri adalah pelaku murni alias dapat dipersalahkan sepenuhnya atas kekerasan yang terjadi pada pasangannya, atau tak dapat sepenuhnya dipersalahkan karena sang korban (suami) juga berkontribusi terhadap kekerasan tersebut (victim precipitation)? Tentunya setiap kasus berbeda motif dan modus operandi. Tak dapat digeneralisasi. Namun, dalam perspektif viktimologi, aspek victim precipitation (level kontribusi korban), victim vulnerability (level kerentanan korban) dan victim culpability (level kelalaian korban) sedikit banyak berperan dalam terjadinya suatu viktimisasi.

Terkait victim precipitation, Angkasa, Yulia dan Juanda (2021) menyebutkan bahwa keadaan pada waktu dilakukan tindak pidana dapat diartikan sebagai interaksi antara pelaku dengan korban pada waktu terjadinya tindak pidana. Perbuatan korban dapat saja menjadi keadaan yang menyebabkan pelaku melakukan perbuatan pidana. Tentu saja hal ini harus menjadi salah satu aspek pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan.

Proyeksi aspek victim precipitation sesungguhnya urgen untuk dipertimbangkan pula dalam putusan hakim saat memeriksa dan membuat putusan untuk perkara pidana sebagai dasar menentukan besaran pidana restitusi yang dibebankan kepada terdakwa sebagaimana yang dimintakan oleh korban. Hal ini akan menjadikan putusan hakim pengadilan lebih memenuhi rasa keadilan bagi para pihak. Angkasa, Yulia dan Juanda (2021) selanjutnya menegaskan bahwa victim precipitation dalam praktik cenderung tidak dipertimbangkan oleh hakim ketika menjatuhkan putusan.

Hakim cenderung fokus pada pembuktian unsur-unsur pasal yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum (JPU) kepada pelaku. Padahal, victim precipitation urgen dan seharusnya dipertimbangkan oleh hakim saat menjatuhkan putusan dan dipakai sebagai aspek yang meringankan bagi pemidanaan terdakwa. Hal ini demi mendapatkan putusan yang lebih memenuhi rasa keadilan.

Terkait victim precipation, Shanell Sanchez (2019) menyebutkan tipologi korban kejahaan menurut Mendelsohn antara lain :

  1. Korban yang tidak bersalah (innocent victims): Seseorang yang tidak berkontribusi terhadap viktimisasi dan berada di tempat dan waktu yang salah.
  2. Korban dengan rasa bersalah ringan (victims with minor guilt): Korban yang tidak secara aktif berpartisipasi dalam viktimisasi, tetapi mereka memberikan kontribusi pada tingkat kecil.
  3. Korban yang bersalah, pelaku yang bersalah (victims as guilty as the offenders): Korban dan pelaku mungkin terlibat dalam aktivitas kriminal bersama-sama. Ini bisa berupa dua orang yang mencoba mencuri mobil, merampok toko, menjual narkoba, dll.
  4. Pelaku yang bersalah, korban yang lebih bersalah (victims are more guilty than the offenders): Korban mungkin adalah penyerang utama, namun pelaku memenangkan pertarungan.
  5. Korban yang bersalah (victims are the most guilty): Misalnya, korban memicu konflik terlebih dahulu, tetapi dibunuh untuk membela diri.
  6. Korban khayalan (imaginary victims): Beberapa orang berpura-pura menjadi korban, padahal sebenarnya bukan.

IGN Parwata (2017) menyebutkan bahwa jenis-jenis viktimisasi menurut Marvin Wolfgang ialah: Pertama, unrelated victims, yaitu korban yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan terjadinya korban, misalnya pada kasus kecelakaan pesawat. Dalam hal ini tanggungjawab sepenuhnya terletak pada pelaku.

Kedua, provocative victims, yaitu seseorang yang secara aktif mendorong dirinya menjadi korban. Misalnya kasus selingkuh, di mana korban juga sebagai pelaku.

Ketiga, participating victims, yaitu seseorang yang tidak berbuat, tetapi dengan sikapnya justru mendorong dirinya menjadi korban.

Keempat, biologically weak victims, yaitu mereka yang secara fisik memiliki kelemahan atau potensi untuk menjadi korban. Misalnya orang tua renta, anak-anak dan orang yang tidak mampu berbuat apa-apa.

Kelima, socially weak victims, yaitu mereka yang memiliki kedudukan sosial lemah yang menyebabkan mereka menjadi korban. Misalnya, korban perdagangan perempuan, dan sebagainya.

Keenam, self victimizing victims, yaitu mereka menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri, pengguna obat bius, judi, aborsi dan prostitusi.

Dalam kasus Briptu FN yang (diduga) membakar suaminya Briptu RDW, pemeriksaan dari penyidik sementara ini memang menyebutkan Briptu FN membakar suaminya. Motifnya karena percekcokan dan emosi tak terkontrol karena sang suami (diduga) menggunakan gaji ke -13 untuk berjudi online. Padahal mereka tengah memilki dua bayi kembar berusia empat bulan dan anak sulungnya baru berusia dua tahun.

Beberapa pengamat menengarai bahwa tindakan fatal Briptu FN terjadi antara lain karena ia tengah mengalami baby blues. Apakah Briptu FN dapat dipersalahkan (memiliki pertanggungjawaban pidana)? Tentunya dapat. Apalagi korban kemudian tewas akibat kobaran api yang disiramnya ke tubuh korban. Namun, untuk menyebutnya sebagai pembunuhan berencana (yang memenuhi Pasal 340 KUHP) atau pembunuhan tidak berencana (Pasal 338 KUHP), ataupun penganiayaan yang mengakibatkan kematian (Pasal 351 ayat 3 KUHP) tentunya harus dikaji dan diperdalam lagi oleh penyidik. Sementara ini, penyidik menerapkan Pasal 44 UU PKDRT No. 23 tahun 2004: Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud pada Pasal 5a yang mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000.

Terkait dengan victim precipitation dalam kasus KDRT, Vinita Susanti, Kriminologi FISIP UI (2018) menyebutkan bahwa tidak tepat penghukumannya dengan menggunakan hukuman yang sama untuk setiap kasus pembunuhan (KUHP). Harus ada alternatif penyelesaian masalah, bisa dalam bentuk penghukuman yang berbeda. Yang diperlukan adalah bentuk penghukuman berbeda yang disesuaikan dengan konteksnya. Misalnya, ketika pelakunya (terlebih dahulu) adalah korban KDRT. Susanti (2018) menegaskan bahwa UU PKDRT ini belum mengakomodasi kepentingan perempuan, atau belum berperspektif korban. Disebabkan bahwa Sistem Peradilan Pidana bergantung pada tekanan normatif untuk mengendalikan kejahatan. Mekanisme normatif dari pengawasan kejahatan bekerja melalui jalan resmi untuk membawa pelaku dari perilaku yang dilarang sebagai seseorang yang tidak konsisten dengan norma-norma hukum. Sehingga apapun alasannya pelaku tersebut harus dihukum.

Briptu FN bisa jadi bersalah atas tewasnya sang suami. Apalagi ia mengakuinya. Namun sang korban juga memiliki kontribusi, sekalipun minimal, yang memprovokasi tindakan sang istri. Korban diduga terlibat perjudian online yang memicu emosi sang istri. Di sini sang suami bisa disebut victim with minor guilt (dalam klasifikasi Beniamin Mendelsohn) atau provocative victim dan participating victim (dalam klasifikasi Marvin Wolfgang). Terlepas bagaimanapun posisinya, anak-anak dari mereka berdua juga korban nyata dari tragedi kekerasan ini. Ketiganya menjadi anak yatim di usia balita dengan kondisi sang ibu terancam dipenjara karena (dugaan) membunuh ayah mereka.

 

Heru Susetyo – Associate Professor @Fakultas Hukum Universitas Indonesia/ Sekjen Asosiasi Pengajar Viktimologi Indonesia/ Pendiri Masyarakat Viktimologi Indonesia/ Anggota Dewan Riset Daerah DKI Jaya 2018 – 2022

Sumber : https://www.kompas.com/tren/read/2024/06/12/154013565/ketika-istri-membakar-suami-perspektif-viktimologi

About the author

➖ Kampus UI Depok Jl. Prof. Mr. Djokosoetono, Kampus FHUI Gedung A Depok 16424, Jawa Barat Telepon (021) 7270003, 7863288 Faks (021) 7270052. E-mail: humas-fh@ui.ac.id & lawschool@ui.ac.id ... ➖ Kampus UI Salemba Gedung IASTH Lt. 2, Jl. Salemba Raya No.4, Jakarta 10430 Tel : (021) 31909008 Faks : (021) 39899148
Humas FH UI